Dua aliran berpikir kuno ini, yakni Zen dan Stoa, hendak menemukan akar dari segala penderitaan manusia, dan mencabutnya. Amat menarik bukan? Tidak hanya menarik, namun hal ini juga amatlah penting. Jutaan, bahkan milyaran orang, didera penderitaan, tanpa bisa menemukan jalan keluar, sehingga berulang kali berpikir untuk menghabisi nyawa sendiri.
“Tidaklah mungkin mendamaikan kebahagiaan di satu sisi, dan keinginan untuk mendapatkan apa yang tidak ada sekarang ini di sisi lain,” begitu kata Epictetus, pemikir Stoa yang hidup sekitar 2.100 tahun yang lalu di Kekaisaran Romawi.
Aliran Stoa berkembang dari kumpulan pemikir yang sering berdiskusi di pasar kota Athena, atau Agora. Di sini, orang tidak hanya membeli dan berdagang, tetapi juga saling berdiskusi tentang beragam hal, mulai dari karya seni, politik sampai dengan filsafat. Para pemikir Stoa berkumpul di dekat pilar di Agora yang dikenal dengan nama pilar Stoa.
Fokus karya-karya mereka adalah logika dan etika. Namun, etikalah yang sungguh menjadi perhatian utama mereka. Bagi mereka, kebahagiaan tertinggi hanya dapat diperoleh dengan kehidupan yang berkeutamaan. Keutamaan ini hanya dapat diperoleh, jika orang bisa menyingkirkan semua kesalahpahaman tentang hidup, dan belajar untuk melatih pikiran serta emosi yang ada.
Di berbagai negara, aliran Stoa mulai kembali terkenal. Beragam buku ditulis. Bahkan, konsultasi manajemen bisnis, mulai dari sumber daya manusia sampai pemasaran, pun menggunakan banyak ide dari aliran ini. Beberapa buku mencoba melihat kaitan erat antara aliran Stoa dan ajaran-ajaran Zen Buddhis yang sudah lebih dahulu lahir dan tersebar.
Keduanya juga melahirkan banyak terapi kesehatan mental. Zen Buddhisme menjadi dasar bagi Mindfulness Based Stress Reduction(MBSR) yang sudah banyak membantu orang untuk melampaui beragam penyakit akut. Stoa juga sudah melahirkan Stoic Mind-Training and Cognitive Behavioral Therapy.
Dunia maya juga ramai dengan dua aliran ini yang bahkan berkembang menjadi Cyber-Zennist dan Cyberstoic.
Stoa menjadi amat terkenal sekarang ini, karena pendekatannya yang terbuka. Ia tidak terjebak pada ajaran mutlak apapun. Tidak ada aturan-aturan yang tidak masuk akal. Tidak ada pemujaan pada ajaran lama yang sudah tidak lagi cocok dengan perkembangan jaman.
Pijakan Stoa adalah akal budi, guna mengelola pikiran dan emosi. Jika diterapkan dengan seksama, ia bisa membantu orang melampaui segala bentuk penderitaan, dan mendorong hidup yang bermakna dalam hubungan dengan orang lain. Banyak kemiripan dengan pendekatan Zen Buddhis. Kedua aliran ini berpendapat, bahwa upaya melampaui penderitaan hidup manusia haruslah menjadi fokus utama kajian filsafat, agama dan ilmu pengetahuan.
Salah satu tokoh ternama di dalam aliran Stoa adalah Kaisar Romawi Markus Aurelius. Ia menulis buku yang berjudul Meditations. Sampai sekarang, buku ini terus dicetak ulang, karena masih menjadi inspirasi bagi banyak orang. Saya sempat membaca buku ini dengan seksama, sewaktu masa kuliah dulu.
Kebebasan dan kebijaksanaan
Inti utama pemikiran Stoa dapat dirangkum di dalam kalimat berikut. “Beberapa hal berada di dalam kuasa kita. Namun, beberapa hal lainnya tidak.” Hal-hal yang berada dalam kuasa kita adalah pendapat kita, keinginan kita serta kebencian-kebencian yang kita rasakan. Sementara, hal-hal yang di luar kuasa kita adalah pendapat orang lain, perilaku orang lain dan bencana alam.
Di dalam pemikiran Stoa, kita perlu untuk bersikap tenang terhadap hal-hal yang berada di luar kuasa kita. Jika kita memaksakan kehendak terhadap hal-hal yang berada di luar kuasa kita, kita akan jatuh ke dalam kegagalan. Kita akan marah dan kecewa. Oleh karena itu, kita hanya perlu untuk fokus pada hal-hal yang berada di dalam kuasa kita. Inilah inti dari kebijaksanaan.
Epictetus menulis, “Jika kamu menolak untuk ikut serta di dalam perlombaan, dimana kemungkinan besar kamu akan kalah, maka kamu tidak akan pernah kalah.” Zen Buddhis memiliki ajaran yang kurang lebih serupa.
Sang Buddha Gautama, pendiri ajaran Buddha, pernah berkata, “Keuntungan dan kerugian, mendapatkan dan kehilangan, kehormatan dan penghinaan, celaan dan pujian, kenikmatan dan rasa sakit: semua hal ini tidaklah tetap, dan akan terus berubah. Dengan memahami ini, orang yang bijak mengamati semua hal yang terus berubah ini. Akhirnya, hal-hal yang memikat tidak lagi menarik hatinya, dan hal-hal yang jelek tidak lagi menimbulkan penolakan dan penderitaan.”
Meditasi dan politik
Aliran Stoa dan Zen Buddhis sama-sama mengembangkan teknik bermeditasi. Salah satu yang paling banyak dikenal adalah meditasi dengan menyadari perubahan dari segala sesuatu. Karena semua berubah, tidak ada hal yang dapat sungguh kita kontrol. Kita lalu bisa menemukan kedamaian disini dan saat ini.
[caption id="attachment_9011" align="alignleft" width="506"] Marcus Aurelius (Foto: Dailystoic.com)[/caption]
Stoa dan Zen bukan hanya ajaran soal kebahagiaan, tetapi juga ajaran politis. Keduanya menekankan martabat kehidupan dan tanggung jawab terhadap kebaikan bersama. Keduanya sepakat dalam soal kosmopolitanisme, yakni pandangan yang melihat manusia tidak hanya sebagai warga kelompok tertentu, melainkan sebagai warga semesta.
Markus Aurelius pernah menulis, “Ketika kamu berpikir bahwa kamu sudah dilukai, terapkan cara berpikir ini: jika komunitas tidak dilukai karena hal ini, maka kamu juga tidak dilukai.”
Dalam banyak hal, ajaran Zen Buddhis jauh lebih kaya, daripada aliran Stoa. Berdasarkan sejarahnya, para pemikir Yunani Kuno setelah Kaisar Alexander memang banyak belajar dari filsafat India, terutama ajaran Hindu dan Buddhis klasik. Di masa sekarang, keduanya tetap bisa belajar dari satu sama lain, demi membantu banyak orang di jaman ini yang terjebak pada beragam penderitaan batin yang tak perlu.
Kutipan dan kerangka tulisan ini diinspirasikan dari Matthew Gindin, Do Buddhists Have Fellow Travelers in the Stoics? What an ancient group of ethicists can teach us about overcoming self-caused suffering, Tricycle.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews