Tentang Abdi Dalem Keparakan

Selasa, 23 Januari 2018 | 07:19 WIB
0
525
Tentang Abdi Dalem Keparakan

Saya dicolek oleh cah ayu Semarang, Asrida Ulinuha, ia menyambungkan pertanyaan Scott Merillies (ia adalah pengarang Trilogi Jakarta Tempo Doeloe yang legendaris itu) tentang sebuah Post Card (PC) lama yang kebetulan diterbitkan Tan Bie Jie. Ini salah satu PC dari era puncak keemasan di tahun 1910-an, karena diproduksi dalam kualitas terbaik (karya foto, fotografer, kertas, percetakan, dll).

Warna aslinya tentu saja awalnya adalah hitam putih, lalu dengan proses colouring manual kemudian dicetak menjadi berwarna. Proses cetaknya berbasis collotype yang berbasis seperti cetak foto biasa, proses cetak lumayan rumit sebelum digantikan oleh offset printing yang lebih praktis. Hasil cetak collotype sama seperti foto, di dalam struktur pembentuk imagenya tidak ada pola titik dot (pixel), sehingga tingkat kehalusan dan kerapatannya jauh di atas kualitas cetak offset.

Sedangkan pada halaman belakangnya disebut divided back yaitu adanya garis pemisah antara kolom alamat dengan bidang catatan pesan atau berita pada bagian belakang postcard, sebuah pakem yang muncul setelah tahun 1907. Salah satu hal yang kemudian dipakai membantu menentukan usia postcard, kalau postcardnya tanpa garis pisah (undivided back) berarti usianya dibawah tahun 1907.

Penerbitnya adalah Tan Bie Jie adalah kakak dari Tan Gwat Bing (1884-1949 ) yang juga mempunyai nama samaran Tan Tjing Liang adalah peranakan Tionghoa pertama yang mengeluti dunia fotografi secara profesional di tanah Jawa. Ia mendirikan perusahaan fotografi di Djogja yang kepemilikannya pertama kalinya bukanlah orang Eropa. Seorang intelektual dan seniman multi talenta, ia menguasai enam bahasa: Cina, Jawa, Arab, Belanda, Inggris dan Melayu.

Beliau selain menyukai fotografi dan pengarang puisi, juga seorang model untuk foto. Perusahaan percetakan dan fotografi yang didirikan bersama adiknya, Tan Bie Je, adalah salah satu penerbit untuk karya-karya fotografer Jawa legendaris Kassian Chepas. Kemungkinan besar banyak sekali foto dan postcard keluaran Tan Gwat Bing dan Tan Bie Je adalah karya Chepas, hanya saja tidak bernama.

Begitu juga dengan postcard ini, ada kemungkinan adalah karya Chepas. Kassian Chepas sendiri juga menerbitkan postcard di bawah merek Photographer & Studio K. Chepas, yang kemudian diteruskan anaknya Sem Chepas.

Sayang pilihan serial yang diterbitkannya bukanlah yang terbaik dari karya-karya fotonya yang topografis, tetapi ia justru memilih serial berbagai jenis profesi (pekerja) tradisional Jawa. Misalnya tukang cari kayu bakar, pemeliharan perkutut, tukang pembuat keris, tukang pijet, dll.

Postcard ini sendiri menceritakan tentang Abdi Dalem Keparak, yang potretnya diambil di sebuah studio foto. Mereka umumnya (dilokalisir) di wilayah khusus dan tinggal di Kampung Keparakan yang saat ini berada di sisi Timur Luar Benteng (Jaban Benteng Kraton), di sebelah Barat Sungai Code. Orang Jogja sekarang menyebutnya Belakang THR (awalnya memang Taman Hiburan Rakyat, yang kemudian jadi Terminal, lalu jadi Purawisata sebelum akhirnya bubar dan konon sekarang akan dibangun hotel berbintang).

Tugasnya adalah membawa perangkat kebesaran Raja, putra raja, maupun kaum bangsawan. Pada umumnya yang dibawakan terutama payung, yang dari warnanya dapat dilihat apakah ia berstatus putra mahkota, putra biasa, bangsawan atau pejabat pemerintahan. Bila dilihat dari pakaian pembawa payung (blangkon dan lurik-nya), dapat dipastikan dia masih pejabat/bangsawan di lingkungan kraton Yogyakarta.

Sedangkan, dua abdi dalem lainnya, yang perempuan membawa perhiasan yang akan digunakan si bangsawan (bisa bros atau jam saku atau yang lainnya), bisa juga hadiah persembahan untuk raja. Sedangkan abdi dalem ketiga itu membawa tongkat dan kipas untuk memberikan kenyamanan dan simbol kebesaran dari pejabat atau bangsawan tersebut.

Seri ini terdiri dari beberapa postcard yang umumnya mengekspose potret kecantikan wanita Jawa trah Mataram Yogyakarta, yang aura kecantikan-nya menurut saya beda banget dengan Surakarta. Apa bedanya (inbox, wkwkw)?

PC ini selain dicetak full colour (FC) juga dicetak edisi Hitam Putih (BW). Konon harganya nyaris dua kali lipat lebih mahal. Saya yakin, serial ini adalah yang terindah, tercantik dengan kualitas cetak terbaik yang menunjukkan bahwa sejak masa tersebut, Jogjakarta adalah pelopor percetakan dan penerbitan yang terbaik yang ada di Indonesia. Jejaknya dapat dilihat dari postcard ini.

***

Postcard koleksi Indonesia Early Visual Documentary (IEVD)