Serius, Indonesia Perlu Pemimpin yang Visioner dan Karismatik

Selasa, 23 Januari 2018 | 09:45 WIB
0
672
Serius, Indonesia Perlu Pemimpin yang Visioner dan Karismatik

Kalau tak mungkin mendapatkan pemimpin yang visioner dan karismatik sekaligus, yang visioner saja pun sudah memadai bagi bangsa Indonesia yang sedang gonjang-ganjing ini. Visioner dan karismatik sangat penting. Dan teramat penting untuk memimpin Indonesia. Akhir-akhir ini kita kesulitan mencari figur yang memiliki dua sisi itu. Dalam situasi yang “belepotan” seperti sekarang ini, setidaknya pemimpin Indonesia harus visioner.

Sebab, seorang pemimpin yang visioner berpeluang untuk membangun pilar-pilar karisma yang akan membuat dia bisa sempurna untuk disebut sebagai pemimpin yang karismatik. Jadi, visioner adalah persyaratan minimal bagi seorang pemimpin untuk negara besar seperti Indonesia.

Sekadar mengulang kaji, visioner adalah orang yang mamiliki gambaran tentang arah yang seharusnya ditempuh oleh bangsa dan negara. Ia mempunyai pemikiran dan perencanaan tentang masa depan. Ia menggunakan imajinasi atau kearifannya. Visioner meliputi sangat banyak makna. Kamus-kamus Inggris menyamakan kata ini dengan 21 kata yang menggambarkan tentang kemampuan nalariah (aspek akal) dan naluriah (aspek bakat) seseorang.

Dari 21 makna sinonimis itu, ada beberapa yang sangat mendasar bagi seorang visioner. Yaitu cerdas (shrewd), inovatif, intuitif, pintar, bijak, banyak gagasan (resourceful), dan berpandangan jauh (far-sighted). Tanpa tujuh “modal dasar” ini, orang tersebut akan mengalami kesulitan untuk memproyeksikan dirinya sebagai seorang pemimpin. Tanpa tujuh hal itu, seorang yang telah dinobatkan sebagai pemimpin akan menghadapi masalah untuk mengendalikan lingkaran kekuasaannya.

Dia akan tenggelam oleh hiruk-pikuk orang-orang yang mengetahui kelemahan dirinya. Dia mencari seseorang atau beberapa orang yang dianggapnya memiliki kemampuan lebih dan bersedia dijadikan “tangan kanan”. Ini merupakan satu-satunya solusi yang tersisa. Orang model begini belum tentu “bodoh”. Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa dia tidak memiliki pandangan tentang bagaimana bentuk masyarakat yang cocok bagi Indonesia untuk satu-dua generasi mendatang.

Nah, mengapa seseorang yang tidak visioner bisa muncul menjadi pemegang kekuasaan penting? Biasanya, keberagaman masyarakat yang kemudian melahirkan kopetisi ideologi yang berlangsung sengit, membuat golongan yang kecil secara electoral tetapi besar dari segi kekayaan ekonomi-keuangan mampu melakukan rekayasa politik sehingga seseorang yang “bisa diatur”, naik ke tampuk kekuasaan.

Sekiranya ada sebutan “laboratorium politik”, maka Indonesia pantas dikatakan sedang bereksperimen dengan pemimpin yang tidak visioner. Seumpama eksperimen-eksperimen ilmiah, tentu saja uji coba pemunculan pemimpin yang tak visioner bisa sukses atau bisa gagal. Hanya saja, perlu diingat bahwa eksperimen ilmiah tidak sama dengan eksperimen politik.

Eksperimen ilmiah di laboratorium bisa diukur secara pasti keberhasilan atau kegagalannya, sedang eksperimen politik akan memunculkan perdebatan tentang keberhasilan dan kegagalan itu.

Artinya, gagal menurut satu pihak boleh jadi berhasil menurut pihak lain. Ini yang pertama. Yang kedua, “cost” (biaya) eksperimen ilmiah relatif kecil, sedangkan eksperimen politik bisa menelan biaya yang setara dengan kehancuran sebuah negara.

Lebih-kurang begitulah kemungkinan risiko proyek politik yang merekayasa kemunculan pemimpin yang tidak visioner.

Seterusnya, seorang pemimpin yang mengendalikan negara sebesar Indonesia ini, wajib hukumnya memiliki karisma. Dia harus karismatik. Ronald Riggio PhD mengatakan, lebih 30 tahun dia mempelajari tentang karisma, yaitu kemampuan (kualitas) personal yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Riggio menyimpulkan, ada enam (6) elemen karisma personal yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin yang karismatik.

Pertama, “emotional expressiveness”. Ia mampu berbicara dengan lancar secara spontan dan sangat natural. Apa yang dia katakan biasanya mampu mempengaruhi emosi atau suasana orang lain. Kedua, “emotional sensitivity”, yaitu mampu membaca emosi orang lain dan bisa tersambung dengan perasaan orang lain. Ketiga, “emotional control”. Yaitu, mampu mengendalikan emosi, tidak pernah lepas kontrol.

Keempat, “social expressiveness”. Pemimpin karismatik memiliki kemampuan komunikasi yang membuat audiens terkagum-kagum dan terhibur. Kata-kata yang diucapkannya selalu berisi –“powerful”, dalam istilah Riggio. Kelima, “social sensitivity”. Yakni, memiliki kepekaan sosial yang tinggi; mampu membaca dan menafsirkan situasi sosial; dan mau mendengarkan orang lain. Keenam, “social control”. Yaitu, canggih dalam memainkan peranan sosial; bisa menyesuaikan dengan semua jenis orang.

Itulah ramuan pemimpin yang karismatik. Ciri utama orang yang berkarisma adalah, kalau dia masuk ke sebuah ruangan maka serta-merta suasana di ruangan itu spontan hidup, bersemangat, dan tak jarang menjadi gemuruh.

Lantas, kapan kita bisa memiliki pemimpin yang visioner sekaligus karismatik? Kapan kita punya pemimpin yang memiliki konsep tentang tujuan yang pas bagi rakyatnya (visioner), dan kemudian selalu didengarkan serta bisa membuat orang terkagum dan rela dipimpin (karismatik)?

Jawabannya, wallahu a’lam. Rakyat harus terus optimis. Masih ada kesempatan. Dan pasti ada orang yang memiliki standar itu. Harus ada diantara 250 juta rakyat negara ini. Tidak boleh tidak. Karena itu, momen pemilihan pemimpin berikutnya jangan sampai tersia-siakan.

***

Editor: Pepih Nugraha