Kontestasi Pilkada serentak tahun 2018 ini telah sampai pada tahapan pendaftaran pasangan Kandidat, baik untuk di tingkat Kabupaten/Kota maupun tingkat provinsi. Khusus di Jawa Barat, yang menyedot perhatian luas kelihatannya adalah Pemilihan Gubernur/wakil Gubernurnya, karena aras media massa baik cetak maupun elektronik termasuk medsos lebih banyak dipenuhi dengan postingan dan viralan serta pemberitaan seputar Pilgub tersebut.
Proses pasang memasang antarkandidat dari masing-masing parpol menjadi semacam dramaturgi politik yang menegangkan dan melelahkan. Tentu saja karena satu alasan pokok yang menurut penulis bermuara pada pengamanan 33 juta pemilih Jabar untuk kontestasi Pilpres 2019 nanti. Jadi, asumsi yang mengatakan bahwa siapa yang akan mampu memenangkan suara Jawa Barat maka dia akan memenangkan Indonesia seolah menjadi mantra yang terus disebut oleh kalangan elit politik nasional. Dalam beberapa hal tertentu mungkin ada benarnya juga.
Salah satu kandidat yang menyedot perhatian publik adalah sosok Ridwan Kamil, arsitek yang terpilih menjadi Walikota Bandung dan dianggap selama kepemimpinannya di Kota Bandung telah memberika warna yang berbeda dan sukses dengan beragam program-program inovatifnya. Muhammad Ridwan Kamil atau dikenal dengan sebutan Kang Emil memang muncul menjadi sosok pemimpin muda, cerdas, dan kekinian (zaman now) dengan interaksi yang aktif secara social di masyarakat dan di dunia medsosnya.
Preferensi intelektial serta wawasan kebangsaan yang kuat dengan latar belakang keluarga pesantren Dari sang kakek (mama Pagelaran) yang tentu saja Tokoh Nahdlatul Ulama, telah menunjukan keberadaan Kang Emil sebagai sosok the rising star dalam jagat politik di republik ini.
Maka tidaklah heran ketika masuk suasana kontestasi pilgub, Kang Emil selalu menjuarai hasil survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey bonafide di Indonesia. Kang Emil di identifikasi sebagai pemimpin muda memiliki kapasitas, popularitas, likeabilitas dan elektabilitas yang tinggi untuk memimpin Jawa Barat.
Sisi kapasitas dan profesionalisme yang ditonjolkan oleh Kang Emil dalam menempatkan dirinya sebagai sosok figure dan pejabat publik yang notabene biasanya di endorse oleh kekuatan partai politik, tak membuat Kang Emil tergoda menjadi kader salah satu partai politik manapun. Hanya karena kiprah dan prestasi yang ditunjukannya membuat parpol-parpol kepincut untuk mengusungnya menjadi Kandidat Cagub di Jawa Barat, dan berlomba-lomba kader parpol pengusung berharap untuk dapat mendampinginya sebagai Cawagub.
Lalu mengapa pada akhirnya pilihan pasangan calon wakil gubernurnya jatuh kepada Bupati Tasikmalaya H. Uu Ruzhanul Ulum?
Mengapa harus Kang Uu?
Salah satu yang menjadi pertanyaan publik adalah, mengapa kang Emil mengambil pasangan calon wakil gubernurnya dengan Uu Ruzhanul Ulum atau dikenal dengan sebutan Kang Uu?
Dalam pandangan penulis, keberadaan sosok Kang Uu bagi kang Emil tentu saja ada rasionalismenya tersendiri. Dalam pandangan Kang Emil yang disampaikan ke publik, beliau menyatakan bahwa Kang Uu ini Bupati Tasikmalaya 2 periode, punya konsep Gerbang Desa. Jadi menurut Kang Emil perpaduan dirinya dengan Kang Uu itu merupakan perpaduan Kota dan desa, oleh karena itulah tagline pasangan ini memakai kalimat “Menata Kota, Membangun Desa”.
Dalam pandangan penulis, selain apa yang disampaikan oleh Kang Emil tadi, sebetulnya boleh jadi ada alasan dan argumentasi yang lainnya, di antaranya adalah: Pertama, secara bacaan politis yang terkait dengan keberadaan koalisi parpol yang mengusungnya. Empat partai politik yang mengusung Kang Emil yaitu PKB, Nasdem, PPP dan Hanura memiliki modal suara tersendiri yang terukur dari tidak semata perolehan jumlah kursi di DPRD Provinsi, akan tetapi juga jumlah perolehan suara yang didapatkannya.
Jika mengukur Kursi PPP 9 Kursi, PKB 7 Kursi, Nasdem 3 dan Hanura 2 kursi. Namun demikian secara perolehan suara, jumlah pemilih PKB lebih besar dibandingkan dengan PPP. Sejatinya memang cawagubnya diambil dari PKB, akan tetapi tentu saja di samping faktor modal kursi dari koalisi dimaksud boleh jadi ada pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Kedua, dalam bacaan penulis, Kang Emil membaca dari aspek sosiogeografis politis, membaca peta basis social politik masyarakat di setiap zona wilayah Jawa Barat. Kang Emil di persepsikan kuat di perkotaan apalagi ditunjang dengan kekuatan derasnya informasi melalui jejaring medsos dan media mainstream yang ada di tingkat lokal, regional maupun nasional, sementara Kang Uu di persepsikan sebagai sosok yang kuat di wilayah pedesaan, kuat di kalangan dunia pesantren dan kalangan Islam yang “khas” di wilayah priangan timur.
Kenapa kata khas saya beri tanda petik, karena fakta sejarah menunjukan bahwa secara sosiologis politis, wilayah priangan timur khususnya dan umumnya Jawa Barat terdapat ikatan geneologis dan historis dengan jejaring Islam Politik DI/TII.
Sosok Kang Uu bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari sosok sang Kakek Yaitu KH Choer Affandi atau dikenal dengan sebutan Uwa Khoer, sebagai pendiri ponpes Miftahul Huda Manonjaya yang pada masa DI/TII merupakan salah satu “Bupati” nya. Yang berjuang keluar masuk hutan, hingga akhirnya saat suasana damai dan tenang kembali bertafaqquh fiddin mengembangkan pesantren dan melahirkan ribuan alumninya yang menyebar di banyak kota di Jawa Barat umumnya di Indonesia, dan bernaung dalam organisasi alumni Hamida untuk santri laki-laki dan Hawamida untuk santri perempuannya.
Karakter sosiologis masyarakat Priangan Timur memang secara keagamaan cenderung kuat aspek Islam Politiknya, sentimen keagamaan begitu mudah menjadi pemantik dan isu politik. Meskipun terdapat juga kekuatan Islam lainnya yang bercirikan harakah washatiyah (gerakan Islam yang moderat) yaitu pesantren-pesantren besar selain Miftahul Huda, seperti Ponpes Cipasung, Sukamanah, Sukahideng, Suryalaya, Bahrul Ulum Awipari dan lainnya yang dekat dan menjadi central gerakan dakwah jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Secara politik kepartaian juga, kekuatan Islam Politik “Hijau” Tasikmalaya itu di dominasi oleh dua kutub politik yaitu kutub “Hijau Muda” PPP dan kutub “Hijau Tua” PKB.
Yang Ketiga, dari fenomena tersebut, maka linear dengan bacaan politik kekinian yang sering dimainkan oleh para buzzer dan para cyber army politik, yang euphoria dengan pola dan cara politik saat Pilkada di DKI Jakarta. Isu keagamaan, isu bela Islam menjada mantra-mantra yang diolah secara masif dan terstruktur, di ruang-ruang publik nyata maupun maya.
Maka jika melihat sisi ini, maka keberadaan Kang Uu menjadi ruang tembak yang tak lagi bisa dimainkan secara serampangan untuk menyerang Ridwan Kamil sebagai sosok yang kuat nilai-nilai Kebangsaan dan Pancasilanya, mengakui keberagaman, tak menyenangi jualan wacana agama demi kepentingan politik, tapi menunjukan keberpihakan yang betul-betul nyata dalam kebijakannya untuk kepentingan membela agama di Kota Bandung sebagai tanggungjawab kepemimpinannya.
Oleh karena itulah, Pilihan Kang Emil mengambil Kang Uu sebagai pasangan calonnya adalah cerminan rasional untuk menjaga keajegan dan keseimbangan politik di Jawa Barat antara kepemimpinan Kota dan Desa, kepemimpinan berbasis harokah washatiyah (Kekuatan NU) dengan harakah Islam politik yang diwakili oleh daulah para santri dan alumni jejaring Hamida dan Hawamida di Jawa Barat termasuk yang berada dan berafiliasi dengan kekuatan parpol diluar PPP baik itu PAN maupun PKS.
Dengan modal itu, diharapkan kontestasi Pilgub di Jawa Barat tidak terpapar virus Pilgub DKI Jakarta yang dalam beberapa fenomena di medsos kelihatannya mencoba di bawa ke Jawa Barat.
Warga Masyarakat Jawa Barat harus benar-benar ngajagaan lemburna dari pola politik yang menghancurkan sendi-sendi philosofi kasundaan seperti silih asah, silih asih, silih asuh. Apalagi sampai menggunakan isu SARA, menebar fitnah dan kebencian, kampanye hitam dan sebagainya. Warga Jawa Barat harus mengukur kandidat dari aspek kapasitas, pengalaman dan karakter kepemimpinannya yang mencerminkan urang Sunda anu Religius, Nyantri, Nyunda, Nyakola.
Dan penulis kira, hal itu ada di Kang Emil dan Kang Uu. Wallahu A’lam.
***
Usman Kusmana, Kader Nahdlatul Ulama Kabupaten Tasikmalaya, Anggota DPRD Kab Tasikmalaya Fraksi PKB, tulisan ini bersifat pribadi tak mewakili kelembagaan.
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews