Ketua DPR dan Wakilnya Diperoleh dari Hasil "Memperkosa" UU MD3

Sabtu, 20 Januari 2018 | 09:33 WIB
0
477
Ketua DPR dan Wakilnya Diperoleh dari Hasil "Memperkosa" UU MD3

Siapapun Ketua DPR dan wakil-wakilnya sekarang, mulai Setya Novanto, Ade Komarudin, sampai Bambang Soesatyo, juga para wakilnya seperti Fahri Hamzah, Fadli Zon, Agus Hermanto, Taufik Kurniawan, mereka adalah pejabat yang dilahirkan berkat "memperkosa" Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau MD3.

Dulu, semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, baik periode pertama dan kedua, pemenang pemilu otomatis menjadi ketua DPR. Semenetara wakil-wakilnya adalah pemenang kedua, ketiga dan seterusnya sesuai peringkat.

Jadi praktis tidak menimbulkan perselisihan atau perebutan posisi ketua DPR, lebih adil, dan tidak ada kubu-kubuan atau oposisi karena bisa jadi yang jadi wakil ketua DPR adalah  bukan partai penguasa atau partai penguasa, karena semua partai diakomodir.

Tetapi sebelum masa jabatan SBY habis pada periode kedua, Undang-undang itu diubah dengan cepat dan ketok palu langsung oleh para politikus rakus kekuasaan. Tujuan diubahnya UU tentang DPR ini rupanya berkaitan dengan pemilihan Presiden, di mana waktu itu ada dua calon yaitu Joko Widodo versus Prabowo Subianto. Mereka sudah tahu dan menghitung, PDIP menang pemilu pun tidak bisa oromatis jadi Ketua DPR.

[irp posts="8580" name="Mengapa 6 Golongan Ini Selalu Menuding Jokowi Anti Islam?"]

Dengan cara "memperkosa" UU MD3, mereka berhasil "merampok" kursi DPR dan wakil-wakilnya.

Jadi kelompok partai-partai yang mengubah undang-undang sudah pasang strategi jauh-jauh hari sebelum pilpres dimulai dengan maksud yaitu: Apabila dalam pemilihan presiden ternyata yang menang Prabowo, maka dengan Undang-undang DPR itu, DPR juga akan dikuasai oleh partai-partai pengusung Prabowo. Sehingga akan memudahkan dalam pengambilan kebijakan. Ga taunya yang menang Joko Widodo.

Karena pemenang pemilu tidak otomomatis jadi ketua DPR, padahal yang menang adalah PDIP, akhirnya PDIP gigit jari. Dan dalam UU-MD3, untuk mengusung jadi ketua DPR harus didukung minimal lima partai politik. Kubu Prabowo didukung lima partai politik dan memenuhi syarat minimal. Kubu presiden Joko Widodo hanya empat partai politik, jadi tidak memenuhi syarat minimal.

Memang dagelan politik yang telanjang saat itu, yang tidak bisa distop bahkan oleh seorang Presiden yang berkuasa, apalagi kekuasaannya lemah sekali. Sebaliknya jika yang menang Joko Widodo, maka kubu pengusung UU MD3 ini sudah yakin bakal memenangkan jabatan Ketua DPR karena UU-nya sudah dibikin keinginan selera mereka.

Dengan menguasai DPR, para "begundal politik" ini bisa merecoki setiap kebijakan Presiden, bahkan bisa menggalang kekuatan untuk pemakzulan yang hampir terjadi pada saat oknum wakil ketua DPR sempat mengizinkan Gedung DPR dikuasai  massa Aksi 212. Coba bayangkan kalau militer ikut saja omongan si begundal yang satu ini, cerita bisa lain.

[caption id="attachment_8146" align="alignleft" width="461"] Bambang Soesatyo (Foto: Beritasatu.com)[/caption]

Kembali ke "pemerkosaan" UU MD3 di mana akhirnya Jokowi memenangi  Pilpres dengan kekalahan menyakitkan pihak lawan (karena sempat sujud syukur mencium bumi), Ketua DPR "dirampok" oleh Golkar yang waktu itu masih sekubu dengan KMP-nya Prabowo Subianto.

Sekalipun kubu pengusung Joko Widodo menang, tapi mereka tidak bisa menguasai DPR atau partai pemenang pemilu otomatis jadi ketua DPR. PDIP yang kurang gigih dan lamban dalam bermain politik kedodoran melawan para "Brutus" pendatang baru di pentas poliik nasional. PDIP gigit jari.

Nah, sekarang dengan ketua DPR baru yaitu Bambang Soesatyo, wajar jika ia ingin "menebus dosa politik" lama dengan akan merevisi kembali UU MD3 dan akan dikembalikan ke sistem Proporsional seperti aturan lama. Artinya pemenang pemilu berhak menduduki kursi ketua DPR sedangkan urutan kedua, ketiga dan keempat, menjadi unsur pimpinan DPR dan MPR.

Dan aturan ini akan berlaku dalam pemilu 2019 mendatang.

Inilah kalau UU dibuat berdasarkan selera tidak bisa bertahan lama karena syarat kepentingan. Harusnya setiap UU dibuat dengan pikiran jernih dan UU yang bisa menjangkau beberapa tahun lamanya,tidak setiap lima tahun berubah atau berganti, yang akhirnya hanya buang-buang uang negara dan menimbulkan konflik di DPR atau parlemen.

***

Editor: Pepih Nugraha