Mengapa kita begitu sering menyaksikan kebodohan di bidang politik? Seorang tokoh partai tertentu mengeluarkan pernyataan bodoh, tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Seorang wakil rakyat mengeluarkan pernyataan yang jauh dari nalar sehat dan hati nurani yang jernih. Seorang calon gubernur bersikap kasar terhadap rakyat sipil, tanpa alasan yang bisa diterima dengan akal sehat.
Hal yang sama juga terjadi dalam soal pembuatan kebijakan. Seorang gubernur yang tunduk pada tekanan preman-preman berbaju agama yang dulu mendukungnya dalam pilkada. Seorang wakil gubernur yang terus saja mengeluarkan pernyataan-pernyataan bodoh, layaknya badut politik tanpa pendidikan. Ini semua seolah menjadi hiburan-hiburan yang tak mendidik, layaknya sinetron murahan di televisi swasta.
Baru-baru ini, kita juga menerima kabar, bahwa ada persekongkolan pengacara, dokter dan wakil rakyat untuk menipu rakyat dalam soal korupsi. Racun kebodohan politik kini juga menyebar ke profesi-profesi luhur yang seharusnya melayani kepentingan masyarakat luas. Jika tak ada upaya perbaikan, racun politik ini akan terus menyebar ke beragam unsur kehidupan bersama. Apa yang sebenarnya terjadi?
Politik yang tercabut
Pertama, politik sudah tercabut dari keutamaan dan filsafat yang mendasarinya. Politik sudah lama berubah menjadi transaksi kekuasaan yang mengorbankan kepentingan rakyat luas. Padahal, politik sejatinya adalah profesi luhur untuk mewujudkan kebaikan bersama melalui kebijakan yang cerdas dan keteladanan hidup yang nyata. Kedalaman dan keluhuran profesi ini sudah lenyap digantikan kerakusan dan kedangkalan yang justru merupakan musuh-musuh kebaikan bersama.
Kedua, politik sudah tercabut dari ilmu pengetahuan. Beragam kebijakan dibuat, tanpa ada dasar rasionalitas dan penelitian ilmiah yang bermutu terlebih dahulu. Kebijakan politik dibuat atas dasar persekongkolan dengan pemilik modal yang korup, lalu merugikan kepentingan yang lebih luas. Tak heran, beragam kebijakan yang ada justru justru jauh dari nalar sehat, dan justru memperbesar masalah yang sudah ada.
Tiga, politik sudah tercabut dari spiritualitas. Spiritualitas adalah cara hidup yang mengedepankan unsur-unsur kemanusiaan universal di dalam segala keputusan dan perilaku. Di dalam politik busuk, spiritualitas disempitkan semata menjadi agama yang justru digunakan sebagai topeng untuk menutupi kebusukan-kebusukan dibaliknya. Maka dari itu, kita harus sadar, bahwa kampanye-kampanye politik dengan menggunakan agama biasanya tanda, bahwa tokoh di belakangnya itu korup dan busuk.
[irp posts="8246" name="Mahar Politik dan Deviasi Demokrasi"]
Empat, politik sudah tercabut dari budaya. Politik di Indonesia sudah dijajah secara mendalam dan berakar oleh nilai-nilai Barat dan Arab. Akibatnya, nilai-nilai luhur budaya setempat menjadi tergerus, dan bahkan hilang. Politik yang tercabut dari budaya justru menciptakan keterasingan yang melahirkan kemiskinan dan kebodohan lebih jauh di dalam masyarakat.
Menanam kembali politik
Politik yang tercabut dari keutamaan, spiritualitas, ilmu pengetahuan dan budaya justru akan berubah menjadi anti-politik. Artinya, politik akan menjadi mesin penghancur kehidupan bersama yang membawa petaka kemiskinan dan penderitaan. Banyak negara sudah terjebak pada anti-politik semacam ini. Indonesia pun sudah hampir terjebak sepenuhnya pada anti-politik yang merusak ini.
Yang diperlukan adalah gerakan bersama yang konsisten untuk menanam kembali politik ke dalam keutamaan, ilmu pengetahuan, spiritualitas dan budaya. Gerakan tersebut bisa memanfaatkan strategi kebudayaan abad 21, yakni kerja sama antara pelaku bisnis, ilmuwan dan filsuf di perguruan tinggi serta aparat pemerintah yang peduli, guna menanamkan kembali politik ke ranah yang sebenarnya. Ini tentu membutuhkan keterlibatan kita semua di dalam berbagai bidang yang mungkin.
Pertanyannya lalu, apa keterlibatanmu?
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews