Kekuasan Partai Gerindra Terlalu Memusat di Prabowo Subianto

Kamis, 18 Januari 2018 | 06:47 WIB
0
787
Kekuasan Partai Gerindra Terlalu Memusat di Prabowo Subianto

Sulit dikatakan sebuah partai politik dikatakan modern dengan kaderisasi yang berjalan mulus jika di Partai Gerindra kekuasaan hanya memusat di tangan satu orang, yaitu Prabowo Subianto sendiri sebagai pendiri partai. Secara sederhana, jawab pertanyaan ini; "Siapa yang pantas disebut sebagai 'orang kedua' setelah Prabowo di Gerindra?" Hampir dipastikan, jawabannya, "Tidak ada!"

Fadli Zon? Oh No, dia bukan orang kedua Prabowo, atau setidak-tidaknya jika Prabowo lengser atau tidak menjabat lagi sebagai ketua dewan pembina sekaligus ketua umum partai, belum tentu kekuasaan Gerindra jatuh kepada Fadli Zon. Lagi pula, banyak pernyataan Fadli di berbagai media tentang berbagai hal yang dinilai justru "mengerdilkan" nama besar Prabowo itu sendiri.

Itu sebabnya ketika Prabowo dituding meminta mahar politik kepada La Nyalla Mattalitti sebesar Rp40 miliar, tidak ada sosok yang bisa "dikorbankan" atau setidak-tidaknya menjadi "bumper" Prabowo. Sosok lain yang maju tidak dianggap sama sekali. Semua serangan La Nyalla, media, dan opini publik akhirnya diarahkan kepada Prabowo yang kenyataannya belum tentu seperti yang digambarkan La Nyalla.

Mari bercermin pada Partai Demokrat dan PDI Perjuangan yang masing-masing didirikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri (dua-duanya mantan Presiden RI). "Sejelek-jeleknya" dua partai ini, para ketua umumnya sudah menyiapkan para penggantinya. Memang tidak jauh-jauh anak mereka sendiri.

SBY mempersiapkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), entah itu nanti sebagai ketua umum partai atau bahkan bakal calon presiden/wakil presiden. Sekarang ia diposkan di lembaga think tank Yudhoyono Institute untuk dimatangkan secara politis maupun taktis. Megawati Soekarnoputri sebagai "pemilik" PDIP, juga mempersiapkan Puan Maharani, meski ini pasti disangkal orang-orang partai berlambang banteng nyeruduk.

[irp posts="8291" name="Ketelanjangan Prabowo Dipandang dari Kultur Jawa"]

Memang nama Puan belum bisa dijual (atau mungkin sulit dijual) karena terkait kapasitas yang sangat senjang jika dibandingkan dengan ibunya. Makanya Megawati dengan berat hati menunjuk Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pilpres 2014 sebab nama lan tidak bisa dijual.

[caption id="attachment_4295" align="alignleft" width="464"] Puan Maharani dan Megawati (Foto: republika.co.id)[/caption]

Apakah Megawati akan menunjuk kembali Jokowi sebagai calon presiden petahana pada Pilpres 2019 mendatang? Belum tentu juga, sebab dalam palung hati terdalamnya ia ingin anaknya sendiri, dalam hal ini Puan, yang mestinya dimajukan, bukan orang lain. Bahkan saat elektabilitas PDIP naik berkat kinerja Jokowi, belum tentu juga PDIP menyatakan secara terburu-buru mendukung Jokowi.

Jokowi tentu saja membaca gelagat Megawati dengan PDIP-nya itu. Makanya ia bermesra-mesra membentuk"Koalisi Mandiri" yang terlepas dari bayang-bayang PDIP. Ia mengangkat Moeldoko untuk memperkuat sayap militer jika ada penantang di Pilpres 2019 dari kalangan militer (Gatot Nurmantyo).

Partai Golkar mau tidak mau harus disebut sebagai mainan baru Jokowi meski yang sering nyosor duluan adalah Surya Paloh dengan Nasdem-nya. Lihat saja bagaimana Jokowi memanjakan partai beringin ini saat dua kadernya di kabinet dibiarkan rangkap jabatan.

Siapa mereka? Tentu saja Airlangga Hartarto, menteri perindustrian yang merangkap ketua umum Partai Golkar dan Idrus Marham yang paling hangat yang didapuk sebagai menteri sosial yang juga merangkap sebagai sekjen partai.

Ada pertanyaan publik, mengapa Khofifah Indar Parawansa yang digantikan Idrus tidak diganti dari partai yang sama dengan Khofifah? Mengapa Jokowi memilih penggantinya dari Partai Golkar?

Jawaban yang pasti adalah "Itu hak prerogratif Presiden". Tetapi kemungkinan yang tidak terlihat adalah soal etis dan gaya Jokowi dalam berpolitik. Misalnya, mundur dari kabinet munjukkan ketidakloyalan individu sekaligus lemahnya pemimpin partai yang membawahi Khofifah. Atau Jokowi berpesan, "Beresin dulu tuh partai lo!"

[irp posts="8369" name="Prabowo Subianto Bukan Negarawan Kere"]

Di sisi lain, Golkar menunjukkan loyalitas yang luar biasa. Idrus Marham yang merupakan pembela gigih koruptor sekaliber Setya Novanto saja masih diangkatnya sebagai menteri! Bahkan pada Pilpres 2014 Idrus berada di kubu Prabowo Subianto yang merupakan rival Jokowi. Jadi, apa jasa terbesar Idrus Marham di mata Jokowi, ini masih misteri? Jangan-jangan karena Golkarnya, bukan karena Idrus Marham-nya!

[caption id="attachment_3880" align="alignright" width="488"]

SBY dan AHY (Foto: Merdeka.com)[/caption]

Kembali kepada Demokrat dan PDIP yang sudah mempersiapkan penggantinya di partai, atau juga Surya Paloh yang kini sedang mempromosikan Ananda, anaknya, untuk memimpin partai, Prabowo masih belum mau menurunkan kekuasaannya kepada siapapun, termasuk kepada anaknya sendiri yang lebih memilih berkarier di bidang lain, yaitu fashion. Tampak politik bukan dunia anaknya yang kini mukim di luar negeri itu.

Apakah aib jika partai politik diturunkan kepada anaknya? Tidak juga, wong dalam batas-batas tertentu partai politik adalah pemilik pendirinya kok. Ibarat mendirikan perusahaan, wajarlah jika direktur utama atau CEO dijabat oleh anak pendirinya sendiri. Lihatlah Golkar yang didirikan Soeharto, sekarang sulit bagi anak-anaknya untuk merebutnya kembali, bukan?

Jadi kalau SBY pada masa lalu kecolongan karena "memelihara anak macan" Anas Urbaningrum, maka kecerobohan itu niscaya tidak akan diulanginya. SBY akan menurunkan Demokrat kepada anak biologisnya sendiri. Jabatan kedua tertinggi di partai bolehlah orang lain. Hal yang sama terjadi pada Megawati dengan PDIP-nya di mana Puan-lah yang akan mengambil-alih ketua umum partai selengser Megawati.

Lha, Prabowo?

***

Editor: Pepih Nugraha