Seperti dalam Film

Rabu, 17 Januari 2018 | 21:40 WIB
0
653
Seperti dalam Film

Bagaikan dalam film, Raffi berlari melintasi kota menuju toko bunga yang menurut Google Map buka sampai pukul enam.

Dia berkelok di tikungan dan terburu-buru masuk ke dalam, nyaris menabrak penjaga toko yang berdiri di depan pintu. Bunyi lonceng pengunjung menggantung di udara.

"Fiuh," katanya, "aku senang kalian belum tutup."

"Selisih sedetik saja. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"

"Menyelamatkan hidupku, itu saja. Selusin mawar, warna apa pun yang kalian punya. Atau, Anda bisa mencampurnya, itu akan asangat bagus."

Tangan Florist yang terampil itu memetik empat mawar merah, empat kuning dan dua merah jambu, lalu membungkus tangkai-tangkai itu dengan plastik bening, dan membalut pita perak tipis di sekelilingnya.

"Dua ratus tiga puluh sembilan ribu, Bos. Semoga berhasil."

Raffi meraih cokelat berbentuk hati dari gelas mangkuk di meja kasir yang bertanda ‘7.000’, menyerahkan pria itu lima lembar uang lima puluh ribu.

"Ambil kembaliannya," dan sambil menempelkan jari telunjuk kanan di dahi sebagai tanda hormat dia kembali berlari ke trotoar.

Dia menyusuri lorong-lorong jalan pintas pulang ke rumah, yakin bahwa jika dia bergegas secepat mungkin dia akan duluan sampai sebelum istrinya. Dan itu harus, karena hari ini hari ulang tahun Leoni. Namun, dia tidak menyadarinya sampai sejam yang lalu. Hal ini menjelaskan ekspresi aneh di wajah istrinya saat dia pergi pagi hari tadi.

Leoni seorang yang keras kepala dengan sejumlah kekurangan lainnya, tapi dia juga memiliki sisi lembutnya, dan Raffi mencintainya sejak pertama kali mereka bertemu.

Harinya sendiri tidak begitu baik, dibebani oleh seorang arsitek baru yang gugup, inspektur yang cerewet, pengiriman material yang tidak tepat waktu dan tim tukang yang tidak terampil. Bukan hari yang istimewa untuk seorang mandor. Namun, yang membuatnya panik adalah ketika salah satu pekerja terbaiknya bertanya:

“Besok adalah hari ulang tahun kedua putri kembarnya, dan dunia mana kita harus bekerja pada hari seperti itu?“

“Dunia nyata,” jawab Raffi, dan mereka berdua tertawa.

Raffi tertawa lebih keras, sampai kemudian dia teringat: Ampun Gusti, ulang tahun Leoni!

Dia menelepon resto favorit mereka dan memesan ikan tenggiri masak saus inggris dan terong balado bawang putih untuk dikirim jam enam. Dia ingat di kulkas masih ada dua botol minuman bersoda, ditambah sekotak jus apel yang belum dibuka, jadi minuman tak bermasalah.

Sebagai hidangan penutup bisa salah satu batang cokelat kacang mete yang biasa mereka makan berdua. Itupun jika ada yang tersisa di rak paling atas. Jika tidak ada yang tersisa, maka cokelat kecil yang diambilnya tadi cukuplah sebagai penebus dosa.

Dua blok dari apartemen mereka, dia hampir bertabrakan dengan seorang pepempuan tua berambut kelabu pendek yang sedang mendorong kereta bayi. Suara tangis yang sangat nyaring berasal dari seorang bocah—mungkin umurnya dua tahun—di dalam kereta itu. Mukanya merah karena menangis, semerah matahari terbenam di ufuk barat bulan September.

Bertiga mereka berdiri canggung di sudut jalan.

“Hush...,” si nenek mendiamkan bayi itu, tapi jeritannya semakin nyaring. Raffi menawarkan apa yang dia harapkan sebagai senyum simpatik.

"Apakah dia sakit atau biasa menjerit?"

"Oh, dia hanya lapar dan capek. Aku membawanya jalan-jalan di luar karena ibu dan ayahnya sedang bertengkar. Yah, biasa kalau suami lupa ulang tahun istri. "

Lampu lalu lintas berubah dan Raffi hendak menyeberang jalan. Namun, nenek dan bayi itu tak bergerak.

"Nenek tidak menyeberang? Lampunya sudah hijau."

"Tidak. Kurasa kami akan mengitari blok ini saja lagi."

Nenek itu melilitkan syalnya di leher. Raffi menyadari bahwa suhu udara semakin dingin. Dia mendekati si nenek, menyerahkan setangkai mawar dan cokelat berbentuk hati kecil untuk si bocah sambil mencubit kecil pipinya yang montok dan bergegas tepat pada waktunya sebelum lampu tanda menyeberang berubah merah.

Beberapa menit kemudian dia telah berada di dalam apatemennya. Leoni sedang menyeruput minuman bersoda, memandang makan malam yang ditata di piring keramik yang bagus, memberikan ciuman ke bibir yang baru saja tersenyum untuk orang asing di perempatan jalan tak jauh dari gedung apartemen mereka..

"Kamu sungguh manis dan aku mencintaimu, tapi kamu ditipu penjual bunga. Bukannya aku mengeluh, tapi aku hitung ada sebelas bunga mawar dalam vas bunga. Secara tradisi, selusin sama dengan dua belas.”

Suaminya yang tampan itu sudah siap dengan kalimat paling spektakuler tahun ini.

"Karena kamu yang keduabelas, Sayang. Mawar tercantik di dunia."

Mereka saling bercium lagi, lagi, dan lagi.

Kemudian mereka pindah ke sofa. Makan malam bisa menunggu.

Lagi-lagi seperti dalam film.

Bandung, 17 Januari 2018

***