Ketika Agama Dijadikan Dagelan

Kamis, 11 Januari 2018 | 20:54 WIB
0
400
Ketika Agama Dijadikan Dagelan

Belakangan ini semakin marak soal “kesakralan” agama yang tiba-tiba berubah menjadi candaan beberapa orang di muka publik. Agama yang semestinya sangat individualistik dan sakral, kerap kali menjadi “ruang akrobatik” sebagian orang, hilang kesuciannya akibat tercerabut “kesakralannya” karena agama hadir dalam sebuah realitas sosial.

Bahkan sulit untuk menarik batas antara hiburan dan agama, karena keduanya melebur ketika bersentuhan dan mewujud dalam ruang-ruang publik. Tidak hanya dalam ruang publik bersifat kajian keagamaan, dalam acara-acara santai, bahkan humor atau komedi, agama kerapkali menjadi objek kritikan, sindiran, bahkan seringkali dikemas menjadi entitas dagelan yang sukses menjadi bahan tertawaan banyak orang.

Saya jadi teringat sebuah film produksi Bollywood yang berjudul, “PK” dibintangi Aamir Khan dan Anushka Sharma. Film ini menggambarkan, betapa seluruh agama dikritik, bahkan dijadikan bahan lelucon yang relatif cukup menghibur, sekaligus dapat menggugah secara lebih jauh, bagaimana seharusnya sikap keberagamaan tidak sekadar dipandang menjadi bagian dari aspek ritualisasi saja, tetapi bagaimana seharusnya mampu menyerap nilai-nilai substantif di dalamnya.

Film “PK” ini merupakan kritik tajam terhadap intoleransi kehidupan beragama yang telah memecah belah persahabatan manusia, bahkan telah menimbulkan konflik berdarah-darah di berbagai belahan dunia. Jika anda menonton film ini, dipastikan hampir tak merasakan adanya “pelecehan” dalam agama, kecuali menyadarkan, betapa agama ketika telah memasuki ruang publik, justru hilang kesakralannya, yang ada hanya klaim demi klaim atas “kebenaran” kelompok-kelompok tertentu.

Inilah barangkali yang kemudian, membuat Joshua Suherman dilaporkan atas dugaan “pelecehan” terhadap agama Islam. Maksudnya hendak mengkritik cara keberagamaan suatu kelompok yang nyata-nyata seringkali bersikap intoleransi, karena menganggap bahwa kelompok merekalah yang merasa paling benar, justru dianggap melecehkan karena agama dijadikan lelucon dan bahan tertawaan orang banyak.

Bukan suatu kebetulan, bahwa belakangan ini, simbolisasi atas keagamaan tertentu tampak menguat di ranah publik, entah itu berupa bendera, busana, atau bahkan menonjolkan pribadi-pribadi yang lalu dianggap “suci”, bahkan seakan memproklamirkan dirinya sebagai “manajer Tuhan” berfungsi menjadi mandataris Tuhan di muka bumi. Walaupun harus diakui, ungkapan yang tampak “nyinyir” soal agama Islam yang lugas dinyatakan Joshua, sedikit banyak telah menyinggung sebagian kelompok umat Islam yang kemudian membawa kasus ini ke ranah hukum.

Berbicara soal agama—terlebih di Indonesia, dalam tahap-tahap tertentu bisa saja dipersalahkan, terlebih ketika kemudian agama dibawa-bawa dalam suasana humor atau dagelan. Sudah berapa banyak publik figur, selebritis, pelawak atau siapapun yang kemudian dilaporkan atas dugaan pelecehan agama, bahkan bisa jadi sudah ada juga yang dipenjara.

Hal ini dikarenakan, memang sulit menilai, sejauh manakah persepsi orang tentang pelecehan agama? Toh, dalam kajian-kajian publik soal keberagamaan, seringkali agama dikemas sedemikian rupa, lalu menjadi bahan tertawaan orang banyak. Bukankah para dai yang seringkali muncul di acara-acara keagamaan tertentu adalah mereka yang mampu mengemas dakwahnya dengan penuh canda-tawa?

Alangkah keringnya, jika dakwah keagamaan tak dibumbui candaan atau humor yang menghibur banyak orang, bisa-bisa dakwah tak lagi laku di tengah masyarakat.

[irp posts="7928" name="Negeri Yang Teramat Sensi", Melucu Pun Dianggap Menista Agama!"]

Di sinilah saya kira, sulit sekali kemudian membedakan, mana dagelan keagamaan yang dibolehkan dan mana yang dilarang. Apakah terkait konteks di saat kapan ungkapan nyinyir atau kritik terhadap agama itu dilarang atau dibolehkan? Ini saja perlu perdebatan yang panjang, bahkan dapat menguras energi dan belum tentu juga memperoleh kesepakatan.

Sampai sejauh inipun, agama dalam konteks sosiologis-demografis masih saja diperdebatkan, apakah ia “sakral” atau “profan”. Sebab, agama dalam perjalanannya justru berubah dari yang tadinya bersifat individual—terutama jika dikaitkan dengan pembawanya pertama kali—kini berubah bersifat sosial, terkait kelompok-kelompok yang mengikatkan diri dengan agama tertentu di dalamnya.

Ungkapan Joshua dalam konteks yang kurang tepat di saat sensitivitas keagamaan menguat, jelas akan menuai banyak masalah. Tidak saja karena ungkapannya yang terkesan “nyinyir” terhadap “klaim” mayoritas keagamaan tertentu yang dianggapnya tak menghargai minoritas, terlebih dengan gamblang menyebut “Islam” secara tersurat dalam ungkapannya tersebut.

Padahal, kenyataannya, soal mayoritas-minoritas keagamaan di Indonesia sejauh ini masih cukup kondusif, kecuali beberapa kasus tertentu pada 2013 silam menyoal minoritas Ahmadiyah yang mendapatkan tekanan serius, bahkan pengusiran dan pembunuhan, namun itu hanya dalam skala lokal tidak menasional.

Kita memang harus pandai menempatkan diri, kapan dan di mana ungkapan sensitivitas menyoal agama dipublikasikan, karena alih-alih kita bercanda dengan kritikan atau dagelan, malah kita sendiri yang pada akhirnya harus berurusan dengan hukum.

Walaupun sejauh yang saya pahami, konsep keberagamaan tentu saja terkait soal bagaimana kita mampu memberikan “kegembiraan” kepada pihak lain dan menghindari pertentangan dan menjauhnya orang lain karena sikap keberagamaan kita sendiri.

Bassyiruu wa laa tunaffiruu, yassiruu wa la tu’assiruu” (berikanlah kegembiraan kepada orang lain dan jangan buat mereka lari darimu, berikanlah kemudahan dan jangan membuat orang lain merasa sulit). Inilah salah satu penggalan hadis Nabi Muhammad yang cukup populer yang kemudian diambil sebagai metode dalam dakwah keagamaan.

Asumsi saya, memang terdapat suasana berbeda soal kapan agama menjadi “dagelan”, terkait oleh siapa, kapan, dan dalam konteks seperti apa diungkapkan. Jika dagelan keagamaan diungkap di ranah publik dalam suasana pengajian atau dakwah, umumnya cenderung tak pernah dipermasalahkan atau minimal dianggap wajar oleh masyarakat.

Akan lain halnya, ketika agama dibawa dalam konteks perdebatan, talkshow, pidato politik, atau acara komedi, sedikit saja mengungkit agama tetapi dikemas dalam suasana humor, apalagi membuat banyak orang tertawa, akan menjadi persoalan besar dan siap-siap saja ada yang memperkarakannya secara hukum.

[irp posts="7584" name=" Watawa Saubil Haq, Watawa Saubis Sobr" Lewat Humor"]

Saya sendiri beranggapan, dagelan menyoal agama yang dibawakan Joshua memang dalam konteks menggembirakan orang lain. Walaupun memang terkesan menohok dan nyinyir, tidaklah sampai menghina substansi ajaran Islam itu sendiri.

Kecuali dalam hal intonasi dan pemilahan kata yang tidak tepat disampaikan dalam acara humor tersebut. Setelah sebelumnya seorang komikus juga dilaporkan atas dugaan pelecehan agama dalam konteks acara yang sama, kini Joshua harus siap-siap menghadapi berbagai konsekuensi hukum.

Agama sepertinya hanya boleh dijadikan dagelan dalam ruang publik yang bermuatan dakwah keagamaan, di luar itu kritik dan nyinyir terhadap agama, siap-siap saja berhadapan dengan kelompok “sumbu pendek” yang gerah ketika agama yang “sakral” justru dijadikan “dagelan” segelintir orang.

***