Perang Jawa, Bukan Sulap Bukan Sihir

Rabu, 10 Januari 2018 | 19:25 WIB
0
467
Perang Jawa, Bukan Sulap Bukan Sihir

Perang Jawa dalam Pilkada Serentak 2018, mungkin hasilnya sudah dituliskan. Dan jika Jakarta dimenangkan oleh KMP (Kelompok Mas Prabowo, bersama PKS dan PAN), di Jabar, Jateng dan Jatim tetaplah milik All Jokowian Men.

Apa boleh buat. Kita tak bisa menyalahkan PDI Perjuangan di Jawa Barat, yang tak mendukung Ridwan Kamil. Buat apa, wong Ridwan Kamil yang bakal menang. Kalau Tubagus Hasanuddin dicalonkan bersama Anton Carliyan, mungkin itu gertakan Megawati pada Prabowo, untuk jangan sembarangan. Fungsi Hasanuddin hanya mengganggu Sudrajat saja. Biar (mantan) militer perang dengan (mantan) militer.

Tubagus Hasanuddin sendiri, meski berpangkat kolonel (waktu itu 1998), orang yang berani meminta Prabowo, sebagai Pangkostrad, agar melepaskan pestolnya sebelum diizinkannya menghadap Presiden BJ Habibie dalam situasi kritis 1998. Lagian, Tubagus ini kader PDIP yang matang, jadi dia tahu dan takkan kecewa. Toh nggak keluar duit banyak. Soal Anton? Ya, salah dia, sudah enakan jadi Kapolda kok mau berjudi yang kemungkinannya menang nihil.

Di Jawa Tengah, Ganjar Pranowo masih akan leading, dan PDIP meyakini itu. Meski pun kita tidak tahu, bagaimana nasib Ganjar ini kelak, berhadapan dengan KPK dalam kasus e-KTP. Sedangkan Jawa Timur, siapapun pemenangnya, sama dengan pertimbangan PDIP di Jabar, siapapun yang menang adalah bagian dari spirit Jokowi.

Apa itu spirit Jokowi? Bukan Jokowi-nya yang penting, tetapi tren kepemimpinan akan mengarah ke karakter baru pemimpin masa depan.

Termasuk seperti Anies dan Sandi? Tidak. Mereka pengecualian, karena lahir dari model kontestasi demokrasi yang brutal, khas pilkada zaman Ken Arok. Pilkada model DKI Jakarta 2017, contoh pertama dan terakhir, sebagaimana Gerindra kali ini, jatuh sial di Jabar dan Jatim, tinggal ngarep pada Sudirman Said. Kalau Jateng juga los? Sudah ghalibnya.

Di Jawa Barat, benarkah Gerindra (baca: Prabowo) mau ngusung Sudrajat? Itu pertanyaan. Meski strategi Prabowo terasa klasik, misal menggandeng PPP kubu Jan Fariz, untuk menggerogoti dukungan PPP pada cawagubnya Ganjar Pranowo, tidak akan berarti. Sama halnya misal Yenny Wahid bersedia menerima ajakan Prabowo, apakah bisa merusak suara Gus Ipul dan Kofifah? PD banget.

[irp posts="6866" name="Melihat Kemungkinan Jenderal TNI vs Jenderal Polisi Bertarung di Jabar"]

Apalagi jika Prabowo akhirnya mengusung La Nyala siapa itu nama komplitnya, yang konon direstui Rizieq Shihab. Sementara mau Gus Ipul atau Khofifah yang menang, kagak beda-beda amat. Wong Sate Pak Amat di Alun-alun Lor Yogya tetap setia melayani (meskipun Pak Amat ini hoax juga, karena meski name-boardnya melegenda, “Sate Pak Amat”, yang disate adalah kambing, bukan Pak Amat).

Bahwa model pemenangan Anies-Sandi masih akan dipakai, tentu saja. Bukan hanya oleh kaum oposan, tetapi mereka yang memang menghalalkan segala cara, meski selalu funamik mengaku akan berkompetisi secara sehat. Itu sama persis alasan Rahwana, akan bertempur secara ksatria melawan Rama. Bahwa ia menculik Dewi Sita, itu soal lain lagi. Namanya juga imin. Iman sih, katanya kuat, atau setidaknya dikatakan kuat. Bukankah kata Anies, kata-kata itu penting?

Anies menyederhanakan masalah, seolah kata-kata itu selalu berkait gagasan, dan gagasan selalu baik. Padahal tidak. Kata-kata bohong dan culas, tidak baik, tidak mengandung gagasan apa-apa, kecuali gagasan keburukan. Jangan tersepona pada retorika. Tidak semua kata-kata baik dan penting, contohnya kata-kata dari Anies itu. Sinismenya soal kerja-kerja-kerja, seolah itu dimulai tanpa gagasan. Padahal kita tahu, staf dan pembantu seorang presiden, tentu beda kelas dan kriterianya.

Karena itu, untuk anggota TGUPP syarat professional dicoret oleh Anies, agar man-teman tim hore bisa masuk. Namanya juga balas jasa. Sandi sudah keluar duit banyak untuk kampanye, kini giliran Anies yang membalas budi, dengan APBD. Toh Jakarta kaya raya. Karena TGUPP (khususnya KPK DKI itu), bukannya yang akan “melapor” dalam konteks pencegahan (sesuai namanya), tapi Anies butuh lembaga untuk melegitimasi tindakannya. Makanya, justeru dia yang melapor ke KPK-TGUPP itu, bahwa Ahok ternyata korupsi.

Urusan gubernur ini toh hanya urusan orang pusat semua, sekiranya rakyat pemilik kedaulatan hanya monat-manut dan rubuh-rubuh gedang, seolah masa depan ditentukan oleh mereka. Kita yang menentukan masa depan kita, untuk menempatkan petugas rakyat yang baik dan benar. Bukan sekedar petugas partai. Ini bukan persoalan sulap dan sihir.

***