Cemburu, Masa Lalu dan Masa Kini

Rabu, 10 Januari 2018 | 08:08 WIB
0
553
Cemburu, Masa Lalu dan Masa Kini

Menjelang tengah malam, aku terbangun dari tidur yang gelisah dan berjinjit ke laptopku dan menyalakannya.

Desiran suara kipas yang akrab menenangkanku, dan aku tahu bahwa saatku untuk menghubungi mantan kekasih suamiku semakin dekat. Aku ingin menelepon kantornya setelah jam kerja dan mendengarkan ucapan kotak suara, hanya untuk tahu suaranya seperti apa. Nada suara bisa menjadi petunjuk. Intonasi, resonansi, nada yang suamiku dengarkan selama lima tahun saat mereka masih menjadi sepasang kekasih.

Apakah dari suaranya aku bisa mengetahui bahwa dia pernah tidur dengan suamiku? Aku ingin tahu. Ada sisi jiwaku yang tak henti-henti menyoal.

Begitu internet tersambung, aku mencari namanya. Veronica Chan. Muncul sejumlah tautan ke artikel dengan namanya terantum di dalamnya, dan aku membukanya satu per satu sampai menemukan sebuah situs yang memberikan nomor teleponnya. Dia bekerja di sebuah firma hukum terkemuka di ibukota sebuah provinsi kepulauan. Nomor teleponnya tertera tepat di bawah namanya. Aku menghubungi nomor itu dengan nomor prabayar yang baru kubeli tadi siang. Sementara telepon berdering, aku menyambar tetikus dan memindai situs-situs lain untuk melihat foto fotonya.

Tut ... tut ... tuuut ...

Ah, itu dia—potret jarak jauh dari sekelompok orang. Dia hampir tak terlihat, tapi aku mengenalnya dalam sekejap,bahkan jika  seandainya dia ada di tengah gerombolan ratusan orang yang berkumpul di Monas merayakan malam tahun baru.

Aku pernah mengintip album foto lama suamiku di laman media sosialnya sampai mampu mengingat setiap cacat, setiap bintik, setiap lembar bulu mata dan alis yang dimilikinya. Bayangannya terpatri dalam pikiranku, dan aku memusatkan perhatianku padanya melebih hal lain yang terjadi dalam hidupku. Sudah bosan aku melihat fotonya di album facebook suamiku. Aku ingin melihat foto dirinya yang baru.

Foto di internet itu sedikit buram, tapi tampak jernih dan tajam bagiku. Cahaya menyinari tubuhnya, melemparkan bayangan aneh ke wajahnya bagai aura, menonjolkan hidung mancung dan tulang pipinya yang keras. Berbalut pakaian formal yang sesuai dengan untuk seorang pengacara, dia berdiri dengan bahu lebar dan sikap tubuh yang tegak. Dia menatap kamera dengan senyuman klasik yang biasa diberikan mitra kerja saat dipotret untuk pajangan di ruang rapat. Tapi aku mengenalnya. Aku memikirkannya lebih daripada aku memikirkan diriku sendiri.

Aku menyipitkan mata untuk melihat apakah aku bisa melihat sesuatu yang tidak kuketahui sebelumnya. Dia sedikit bongkok udang, alisnya melengkung kesannya terkejut seolah-olah tertangkap basah sedang mengambil sesuatu dari laci meja. Rambutnya yang hitam tergerai lepas di bahu, melengkung seperti tulang daun kering terjemur  di hari yang panas dan lembab.

Mesin penjawabnya menerima panggilanku, dan jantungku berdegup kencang. Aku mendengar suaranya untuk pertama kalinya. Mataku tetap terpaku pada fotonya sementara suaranya memenuhi liang telingaku.

"Di sini Veronica Chan," katanya, "saat ini saya belum bisa menjawab telepon Anda. Silakan tinggalkan pesan."

Tidak lebih dan tidak kurang biasa dari pesan suara lain, hanya saja aku hampir tak bernapas. Aku mendengarkan dan menatap fotonya, dan aku nyaris tak bernapas.

Aku membayangkan suara yang lembut itu merintih di leher suamiku, dekat cuping telinga, mendesah-desah menghembuskan udara hangat. Keduanya saling melekat satu sama lain, kulit menggesek kulit. Aroma parfumnya yang lembut membuat suamiku lebih menginginkannya.

Parfum apa yang dia kenakan? Aku mendengarkan intonasi suaranya dan bertanya-tanya nada yang mana yang akan ditekannya saat dia membawa suamiku ke puncak gunung. Aku mendengarkan suaranya dan mendengar apa yang didengar suamiku selama bertahun-tahun. Suara yang lembut namun berwibawa, dan sekarang aku mendengarkannya seperti yang pernah didengar oleh suamiku, dan berharap itu milikku.

Aku sudah merasakannya sekarang, di tengah malam, pada saat pikiran membuatku terbelenggu.

"Jika Anda memerlukan seseorang segera, silakan hubungi—" Saya memutuskan panggilan dan menatap gawaiku. Mataku terasa perih. Aku tak bisa memastikan apakah akibat kurang tidur atau reaksi terhadap momen yang baru saja berlangsung.

Foto dirinya dan teman kerjanya menarikku kembali. Dan sekarang aku memelototinya dengan cermat agar aku bisa tidur nyenyak, bermimpi dan memikirkan hal-hal lain.

Dia tidak begitu cantik, aku tahu itu. Tapi tak masalah apa yang aku pikirkan, yang penting apa yang dia pikirkan bertahun-tahun yang lalu saat suamiku mencintainya.

Aku mematikan laptop dan meluncur ke bawah selimut di sisi suamiku yang tidur nyenyak. Wajahnya begitu damai, seperti yang dilakukan semua orang yang tak punya masalah.

Aku bertanya-tanya apakah dia masih memimpikannya. Tangannya bergerak untuk menyentuhku, dan dia menggumamkan sesuatu. Aku menunggu apakah dia akan memanggil nama Veronica. Mungkin saja alam bawah sadarnya membuatnya melupakanku dalam mimpinya, dan dia mengulurkan tangan kepada perempuan itu. Namun suaranya berupa gumaman yang teredam, sehingga aku tak mengerti apa yang dikatakannya.

Dia meremas lenganku dengan lembut, dan dalam benakku aku membayangkan diriku sebagai perempuan itu. Veronica. Apa begitu rasanya dicintai oleh seseorang?

Tidur akhirnya tiba juga padaku.

Beberapa jam kemudian, saat pagi datang suamiku bangun tanpa tahu tentang kejadian tadi malam.

"Tidurmu nyenyak, sayangku?" tanyanya sambil mengayunkan kakinyadan merengkuhku kembali ke dalam pelukannya.

"Ya," jawabku.

"Baik."

Aku mencoba santai dalam pelukannya, tapi mataku menolak dipejamkan kembali. Aku menggeser lengannya dan menuju kamar mandi untuk menyikat gigi.

Bandung, 9 Januari 2018

***