"Watawa Saubil Haq, Watawa Saubis Sobr" Lewat Humor

Selasa, 9 Januari 2018 | 13:52 WIB
0
16211
"Watawa Saubil Haq, Watawa Saubis Sobr" Lewat Humor

Sesama hamba yang nista dan penuh dosa jangan saling menistakan.

Baru-baru ini di media sosial viral soal dugaan penistaan agama yang dilakukan Komika Ge Pamungkas dan Joshua. Mereka dinilai telah mengolok-olok agama dengan menjadikan agama bahan tertawaan. Sebagian ummat Islam yang kecewa menggulirkan ancaman boikot seperti biasanya.

"Orang yang ingin tahu tentang orang lain, harus memahami lelucon. Jangan gampang tersinggung dengan lelucon,” kata Gus Dur 28 tahun silam

Dari sekian kategorisasi disiplin ilmu Islam mungkin hanya kaum sufi yang mempunyai sensitifitas humor tinggi. Khazanah humor Islam banyak diisi para sufi, yang paling dikenal Abu Nawas, Nasrudin Hoja. Budaya Jawa punya punakawan Semar, Petruk, Gareng dan Bagong yang diadopsi sebagai hiburan rakyat pada masa Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

[irp posts="7582" name="Humor Itu Seni Menertawai Diri Sendiri"]Indonesia, punya Gus Dur yang bergelar Doktor Humoris Causa. Putra Menteri Agama pertama ini memiliki segudang kelakar tentang bangsanya dan juga agamanya. Islam. Gus Dur berpandangan, humor adalah bentuk kearifan jiwa di tengah kepahitan dan kesengsaraan, juga kekacauan hati manusia.

Lewat tulisannya, Melawan Melalui Lelucon pada tahun 2000, Gus Dur menyebutkan beberapa fungsi humor. Bentuk protes terselubung, ekspresi politis, sarana menggalang persatuan, dan kritik terhadap keadaan yang tidak menyenangkan di tempat sendiri.

Humor sebagai seni ekspresi semestinya jauh dari prasangka. Karena ia adalah hasil pergumulan batin manusia dengan keadaannya. Humor adalah hasil kontemplasi karunia Tuhan yang diakali sedemikian rupa-amanah yang dititipkan Tuhan kepada khalifahnya-guna menggembirakan sesama. Malaikat dan Jin tak dianugerahi kemampuan ini.

Dalam praktik beragama, humor menjadi semacam kritik atas tingkah tingkah laku ummat yang mulai tak sehat. Humor hadir sebagai penyambung ukhuwah ummat. Tak sekadar memproduksi tawa, tetapi juga sarana watawa saubil haq, watawa saubis sobr. Saling mengingatkan dalam kebaikan, kesabaran, dan kegembiraan.

[irp posts="2277" name="Saham Sari Roti, Humor, dan Religi yang Jatuh"]

Di sisi lain, ekspresi mengenai Tuhan dan agama masih bisa diperdebatkan, karena Islam memungkinkan tafsir sebagai salah satu jalan menuju kebenaran. Benar bagi A belum tentu benar bagi B. Salah bagi Front Pembela Islam (FPI), belum tentu salah di mata ummat Islam yang lain.

Setiap pemeluk memiliki cara pandang, jarak pandang, resolusi pandang, dan kejernihan pandang masing-masing. Jangan memaksakan cara pandang Alumni 212, misalnya, kepada ummat Islam sedunia. Nanti setan mau menggoda siapa? Bisa sepi neraka.

“Sebenarnya Tuhan itu Maha Rileks.”

“Ah, ngaco! Wah, penistaan ini.”

“Tunggu dong. Jangan apa-apa penistaan. Kita ini hamba yang nista jangan saling menistakan.”

“Jadi, maksudmu apa?”

“Kalau misalnya kamu mabuk-mabukan, malas sembhayang, kriminal, tidak beragama apa kamu langsung dimatikan?”

“Ya.. engga sih. Buktinya saya masih hidup.”

“Nah itu. Tuhan Maha Rileks. Kamu boleh berbuat semaumu. Asal kamu siap dengan pertanggungjawaban perbuatanmu. Tuhan enjoy-enjoy aja, asal kamu tahu regulasinya dan konsekuensinya. Barangkali Tuhan lagi menunggu istighfar-mu.”

Nampakya dunia komedi perlu terobosan untuk meminimalisir kegaduhan. Halal-haram komedi akan selalu memantik emosi jika tak ada yang menengahi. Apakah genre komedi syariah perlu diwujudkan demi terciptanya senyuman yang kaffah lagi berkah?

***