Apa Jadinya Jokowi Bersanding dengan Prabowo?

Selasa, 9 Januari 2018 | 12:30 WIB
0
340
Apa Jadinya Jokowi Bersanding dengan Prabowo?

Masih mengenai polling SMRC (Saiful Mujani), soal ‘seandainya’ pilpres diselenggarakan sekarang (akhir 2017 itu). Dalam survei pendapat itu dimunculkan pertanyaan, apakah responden setuju atau tidak, Jokowi dan Prabowo bersatu dalam Pilpres 2019?

"Sebanyak 66,9 persen responden menyatakan setuju," ujar Direktur Utama SMRC Djayadi Hanan saat memaparkan hasil survei SMRC di Jakarta, sebagaimana dikutip Kompas.com, Selasa 2 Januari 2018. Sementara 28,4 persen responden menyatakan tidak setuju Jokowi dan Prabowo disandingkan. Adapun sisanya yakni 4,7 persen tidak tahu, atau tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Saat responden ditanya lebih lanjut, siapa sebaiknya menjadi calon presiden dan calon wakil presiden bila Jokowi dan Prabowo berpasangan di Pilpres 2019, sebanyak 66,9 persen menilai Jokowi layak jadi presiden dan Prabowo jadi wakilnya. Sementara 28,4 persen menyatakan Prabowo sebaiknya jadi presiden dan Jokowi wakil presiden. Adapun 4,7 persen responden tidak menjawab atau tidak tahu.

Demikian saya kutipkan berita di atas, sebagaimana ditulis media yang sama. Saya sungguh tidak tahu, itu berita tentang survei politik atau teks untuk stand-up comedy. Itu berbeda dengan hasil survei yang saya lakukan, bahwa kemenangan Jokowi (2014) adalah karena “kami tidak ingin Prabowo jadi presiden!”

Bahkan ada suara, siapa pun lawan Prabowo, akan kami pilih. Kami siapa? Kami; saya dan teman-teman yang gratisan membuat relawan Jokowi, Jokower, atau yang orang lain menyebut sebagai "Kecebong".

[irp posts="7613" name="Pilkada 2018, Jokowi Bukan Elemen Penting"]

Jokowi adalah antitesis yang setepatnya untuk melawan Prabowo. Bagaimana kemudian yang bersetuju disandingkan dengan yang menolak dipersatukan dalam pengandaian sebuah polling, sementara luka dan pedih masih dibawa-bawa sampai sekarang? Bahkan sampai dalam pertarungan DKI Jakarta 2017 lalu, di mana Jokowi masih disudutkan para pendukung cagub Anies (representasi para oposan yang dikalahkan Jokowi 2014), untuk menyingkirkan Ahok dengan berbagai tudingan rasis itu?

Siapa yang anomali? Rakyat atau SMRC? Kemenangan Jokowi, pada Pilpres 2014, menyiratkan pesan politik jelas. Jokowi yang anak bajang, bukan anak presiden, bukan anak Orde Baru, bukan anak orang kaya, bukan menantu Soeharto, bukan anak bangsawan, lebih kita percaya. Dan, sekali lagi, penting diketahui, pemilih Jokowi mampu menyingkirkan Prabowo.

Sesungguhnya dengan hasil polling SMRC kemarin, dan (yang pasti) hasil Pilpres 2014, tidak adil membandingkan Jokowi dengan Prabowo.

Bukan perbandingan seimbang. Jokowi mempunyai rekam jejak jelas, yang dibutuhkan publik atau masyarakat kini. Bisa dilihat dari dua periode menjadi Walikota Solo, dan dua tahun Gubernur DKI. Reputasi dan penghargaan international didapat pula atas kinerjanya.

Prabowo? Sejak diberhentikan dari dinas ketentaraan (itu bahasa halus dari dipecat, karena menurut Wiranto, istilah itu dipakai karena masih menghormati Soeharto, sebagai mertua dari Prabowo), Prabowo tak punya pekerjaan. Makanya perlu mengungsi ke Jordania. Jika pun menjadi ketua umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), juga tak mulus, karena kekisruhan organisasi dengan kepengurusan ganda.

Partai Gerindra, parpol yang didirikan untuk Prabowo, bukan ciri parpol modern, bahkan lebih buruk dari Golkar yang berubah menjadi parpol. Juga tak lebih baik dari Partai Demokrat, sebagai kendaraan pribadi politik SBY dan anak turunnya.

[irp posts="7227" name="Ditolak Yenny Wahid, Prabowo Subianto Tak Perlu Patah Hati"]

Lepas dari survei SMRC ilmiah atau tidak, akademik atau tidak, saya merasa mendapat lelucon tak lucu. Karena kalau pun dipaksa membandingkan Jokowi dengan Prabowo, apa yang diperbandingkan? Apalagi menyandingkannya. Kalau cakep, kaya, dan pinter, mungkin Prabowo menang (meski lebih "buntet" dari Jokowi). Tapi menjadi presiden, kenapa Jokowi dipilih lebih banyak suara, daripada perolehan suara lainnya, juga suara perolehan Prabowo?

Orang boleh menghina Jokowi. Tetapi, pada waktu (2014) itu, dan juga sekarang, dia memberi harapan, dan mendapat kepercayaan rakyat pemilik kedaulatan negara. Lebih besar dibanding kepercayaan yang didapat orang-orang pintar, yang suka menista diri-sendiri dengan kata-kata besar.

Untuk mengamini fakta ini saja, betapa tidak mudah bukan menjadi seorang demokrat? Karena mereka memang bukan demokrat, apalagi negarawan. Mereka hanya orang yang tak mau mengakui kekalahannya.

Makanya, dengan segenap permohonan maaf pada para kelelawar dan batman, mereka disebut kampret.

***