Warna-warni “Ideologi Politik” di Pilkada Jawa Barat

Senin, 8 Januari 2018 | 15:57 WIB
0
496
Warna-warni “Ideologi Politik” di Pilkada Jawa Barat

Keputusan PDIP untuk mengusung calon sendiri dan tidak ikut koalisi manapun di Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat (Pilkada Jabar) menunjukkan kuatnya arus ideologi politik partai berlambang banteng ini. Kepemilikan 20 kursi di parlemen untuk dapat mengusung calonnya sendiri dan tak dipenuhinya keinginan mengajukan calon di parpol koalisi, membuat PDIP mempertegas ideologi politiknya, mengajukan pasangan yang selaras dengan ideologi politik partai besutan Megawati Soekarnoputri ini.

Nama TB Hasanuddin dan Anton Charliyan, paling tidak merupakan representasi dari ideologi politik PDIP, lepas dari kalkulasi keekonomian atau pragmatisme politik kepartaian yang biasanya mewujud dalam bentuk koalisi antarparpol dalam mengikuti ajang kontestasi.

[caption id="attachment_7569" align="alignleft" width="450"] TB Hasanuddin dan Anton Charliyan (Foto: Kompas.com)[/caption]

Melihat dari komposisi empat calon pasangan dalam Pilkada Jabar, hampir keseluruhannya adalah representasi dari kedekatan ideologi politik di antara parpol pengusungnya, tidak semata-mata berdasarkan perhitungan rasionalitas politik yang mengedepankan platform program kerja yang ditawarkan oleh para kandidat yang ada.

Walaupun disisi Ridwan Kamil, tampak menguat dalam aspek melanjutkan program kerja yang pernah berhasil dilakukan dirinya selama menjadi walikota Bandung, namun keberadaan calon pendampingnya Uu Ruzhanul Ulum, yang diusung PPP dan PKB, tampak lebih bernuansa “ideologis” karena Uu merupakan representasi kekuatan NU di Jabar, mengingat dirinya adalah cucu dari tokoh kharismatis NU, KH Khaer Affandi.

Khusus untuk Pilkada Jabar, PKB dan PPP nampak lebih memantapkan kedekatan ideologi partai yang lekat dengan warna ke-NU-an dan representasi dari kalangan “Islam tradisionalis”, berbeda dengan parpol lain yang lebih cenderung kepada warna “Islam modernis”.

Keengganan PKS dan PAN untuk berkoalisi dengan parpol pengusung Ridwan Kamil maupun Deddy Mizwar, setidaknya melihat pada kecenderungan idelogi politik yang mereka bawa, sehingga sulit untuk menerima kontestan berdasarkan ukuran rasionalitas politik. Apalagi, Ridwan Kamil juga merupakan representasi nahdliyin, karena dirinya masih cucu seorang ulama kharismatis NU dan pejuang kemerdekaan, KH Muhyiddin, pendiri Pesantren Pagelaran, Subang, Jabar.

[caption id="attachment_7571" align="alignright" width="438"]

Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum (Foto: Kompas.com)[/caption]

Koalisi reuni yang digagas Gerindra, PKS, dan PAN ternyata lebih nyaman mengusung calon sendiri, lagi-lagi berdasarkan kedekatan ideologi politik antarparpolnya. Gerindra yang memiliki 11 kursi di parlemen Jabar, tentu saja berhak menentukan kandidatnya sebagai cagub dan meloloskan nama Sudrajat, seorang purnawirawan jenderal TNI dengan rekam jejak karir, baik di militer dan pemerintahan cukup cemerlang.

Sebagai parpol kedua pemilik suara terbanyak setelah Gerindra, PKS kemudian mengajukan pendamping Sudrajat, Ahmad Syaikhu yang sebelumnya sempat hampir menjadi pendamping Deddy Mizwar sebelum PKS menarik dukungannya. PKS sepertinya tidak hanya kecewa atas sebuah Pakta Integritas yang “disembunyikan” Deddy yang main mata dengan Demokrat, tetapi lagi-lagi soal perbedaan ideologis sesama parpol pengusungnya.

Keberadaan Deddy Mizwar yang hampir terpasung di Pilkada Jabar, karena banyak parpol menarik dukungan, tiba-tiba mendapat angin segar dari Golkar, setelah gonjang-ganjing akibat ketua umumnya dihantam masalah korupsi. Terpilihnya Airlangga Hartarto menjadi ketua umum Golkar, ternyata mengubah seluruh peta politik di Pilkada Jabar.

[irp posts="7568" name="PDIP Duetkan Jenderal TNI dan Jenderal Polri untuk Bendung Prabowo"]

Golkar tampaknya sungkan berada di parpol koalisi pendukung Ridwan Kamil, mengingat tak pernah ada kesepakatan soal siapa calon pendampingnya yang disepakati. Sulitnya menemukan titik temu mengenai calon pendamping Ridwan, membuat Golkar menarik dukungannya, dan lebih memilih Dedi Mulyadi menjadi  pendamping Deddy Mizwar, tanpa perlu adu argumentasi dengan parpol koalisi.

Lagi-lagi, Golkar menunjukkan kedekatan ideologi politiknya bersama Demokrat yang tak lain adalah parpol besutan SBY, tokoh nasional yang juga pernah dilirik Golkar ketika menggelar konvensi capres pada 2004 silam.

Golkar dan Demokrat saya kira, seringkali memiliki kesamaan ideologi politik, bahkan keduanya pernah sama-sama memenangi pemilu presiden pada 2004 yang lalu dan berhasil berkoalisi secara baik dalam pemerintahan SBY-JK selama 2004-2009.

Dengan kepemilikan 17 kursi di parlemen Jabar, Golkar tidak ngotot menempatkan Dedi Mulyadi untuk posisi cagub, namun berbesar hati dengan posisi cawagub, meskipun Demokrat yang mengusung Deddy Mizwar hanya memiliki 12 kursi di parlemen. Golkar serasa nyaman bersama Demokrat, karena sukses menempatkan kandidatnya tanpa polemik di ajang kontestasi politik Jabar kali ini.

Pilkada Jabar yang saat ini diramaikan oleh empat pasang kandidat, pada akhirnya lekat dengan pertarungan “ideologi politik” yang direpresentasikan oleh beragam parpol pengusungnya. Warna-warni ideologis seakan menguat berada dibalik keberadaan para kandidatnya.

Tidak berlebihan kiranya, jika saya mengasumsikan, terdapat ideologi “Islam tradisionalis” yang diusung oleh PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura—dua parpol yang disebut terakhir ini sebenarnya mengikuti dua arus besar ideologi parpol sebelumnya—yang menjatuhkan pilihan pada Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum. Sedangkan aliran ideologi “Islam modernis” sangat dirasakan pada PKS, PAN, dan Gerindra yang mengusung Sudrajat-Ahmad Syaikhu.

Dua calon pasangan kandidat lainnya, cenderung diwarnai ideologi nasionalis, melihat dari komposisi parpol pengusungnya. PDIP, jelas tidak akan cocok berkoalisi dengan kalangan “Islam modernis” sebagaimana direpresentasikan Gerindra, PKS, dan PAN.

[caption id="attachment_6841" align="alignleft" width="499"]

"2D", Dedi Mulyadi dan Deddy Mizwar (Foto: Republika.co.id)[/caption]

Kedekatan PDIP dengan kalangan “Islam tradisionalis”, seperti PKB dan PPP, nampaknya kurang diterima di Pilkada Jabar, mengingat pengajuan Anton Charliyan sebagai pendamping Ridwan Kamil justru mendapatkan penolakan parpol koalisi. Hal ini yang kemudian membuat parpol berlambang banteng ini tersinggung dan mengusung kader internalnya sendiri, walaupun secara hitung-hitungan politik, akan sulit memenangkan kontestasi.

Beratnya membangun image politik atas pasangan kandidat yang diusung PDIP, hanya bisa dijalankan dengan metode “Sangkuriang”, sebuah legenda di Jabar yang sukses membendung sungai Citarum dan membuat danau buatan dalam waktu semalam.

Saya kira, sesumbar cawagub PDIP, Anton Charliyan untuk menerapkan strategi “super cepat” sebagaimana legenda Sangkuriang dalam memenangkan Pilkada Jabar, tidak lain adalah soal membangun image politik yang pasti terasa berat, mengingat kedua kandidat ini justru muncul tiba-tiba, setelah menyadari, terdapat pertentangan ideologi politik ketika hendak mengusung Ridwan Kamil bersama parpol koalisi lainnya.

[caption id="attachment_7181" align="alignright" width="498"]

Sudrajat-Syaikhu (Foto: Nusantaranews.co)[/caption]

Bagi saya, ini adalah pertaruhan terbesar PDIP di Pilkada Jabar, setelah sebelumnya kalah ketika mengusung pasangan Rieke Diah Pitaloka dan Teten Masduki. Jabar memang wilayah potensial, utamanya untuk mendulang suara bagi ajang kontestasi nasional mendatang. PDIP, jelas sangat berkepentingan untuk dapat memenangkan di Pilkada Jabar kali ini, walaupun memang sangat berat melihat dari komposisi kandidat yang telah ada.

Representasi ideologi politik nasionalis lainnya yang sedikit diwarnai oleh “tradisionalisme Islam”, mengerucut pada pasangan Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi. Keduanya memiliki keterkaitan seni dan budaya yang juga digandrungi kalangan tradisionalisme Islam. Kiprah Deddy Mizwar dalam dunia seni sudah tidak diragukan lagi, karena dirinya mantan aktor kawakan dan perintis sinetron bernafaskan Islam.

Tak jauh beda dengan Dedi Mulyadi, yang juga “kreator” dalam akulturasi seni sunda-Islam, sebagaimana ketika dirinya menjadi bupati Purwakarta. Saya kira, para pemilih-pun pada akhirnya akan sama-sama, memilih berdasarkan kecenderungan ideologis: nasionalis, tradisionalisme dan modernisme Islam, dan nasionalisme-Islam yang gandrung akan “mistisisme” agama yang dikaitkan dengan seni dan budaya.

***