Penerbitan Sertifikasi Halal oleh Pemerintah, Baik atau Buruk?

Minggu, 7 Januari 2018 | 11:13 WIB
0
543
Penerbitan Sertifikasi Halal oleh Pemerintah, Baik atau Buruk?

Hari Rabu, 11 Oktober 2017 lalu, pemerintah melalui Kementerian Agama secara resmi mengambil alih penerbitan sertifikat halal yang selama hampir tiga dekade sebelumnya dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Proses pengambilalihan ini terjadi dalam jangka waktu yang relatif sangat lama.

Berawal dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) yang disusun sejak awal 2005, hasil dari rapat kerja antara Departemen Agama Republik Indonesia dengan Komisi VIII DPR RI, diajukan kepada DPR pada tahun 2008, hingga akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang JPH.

Berita ini sungguh berita yang sangat baik, sangat menggembirakan jika dilihat dari tujuan diambilalihnya amanah ummat yang sangat penting tersebut.

Mengapa?

1. Sudah menjadi tugas utama negara untuk melindungi warganya. Dalam hal ini mengenai kehalalan produk makanan, minuman, obat-obatan, pakaian dan hal-hal terkait yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Hal yang sangat penting bagi masyarakat yang menganut Agama Islam.

2. Proses penerbitan sertifikasi halal didasari oleh Undang-undang, sehingga memiliki kekuatan hukum, kepastian hukum atau jaminan hukum yang bersifat mengikat. Selama ini, sertifikasi dan pencantuman tanda halal pada produk dari sisi hukum sifatnya parsial, tidak konsisten, terkesn tumpang tindih dan tidak sistemik (Naskah Akademis RUU JPH). Dengan demikian, para pelaku yang melanggar peraturan terkait produk halal ini bisa ditindak atau dihukum negara.

3. Mendorong para produsen untuk mengurus sertifikasi dan pencantuman label halal pada produk-produknya.

4. Proses pencegahan pemalsuan label halal menjadi lebih efektif dan efisien.

5. Produksi dan peredaran produk jadi lebih mudah dikendalikan dan diawasi.

Demikian berita baiknya. Bagaimana dengan berita burukannya?

Sepengetahuanku soal ini, secara prinsip tidak ada buruknya. Jika nanti terjadi korupsi atau keribetan administrasi dalam mengurus sertifikasi halal, sifatnya lebih kepada persoalan teknis.

Pengambilalihan tugas ini oleh pemerintah bukan berarti mengebiri atau melemahkan MUI, tetapi justru sangat membantu dan memudahkan pelaksanaan tugasnya karena MUI tetap memiliki peran yang sangat mendasar atau sangat signifikan dalam BPJPH.

Menteri Agama, Lukman Saiful Hakim menegaskan bahwa peranan MUI tetap penting yaitu,

1. Mengeluarkan fatwa kehalalan suatu produk.

2. Melakukan sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal.

3. Auditor-auditor yang bergerak dalam industri halal harus melalui persetujuan MUI.

Oleh karena itu tanpa MUI, BPJPH samasekali tidak akan bisa berfungsi dan menjalankan tugasnya.

Tak bisa dipungkiri, dilahirkannya BPJPH ini merupakan prestasi Pemerintahan Jokowi yang layak diapresiasi.

Sebagai catatan, istilah "pengambilalihan" sepertinya tidak tepat. Istilah yang telah menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat. Secara keseluruhan, bisa dikatakan MUI sedang "memberikan" suatu amanah kepada pemerintah untuk membantu tugas utamanya dalam melindungi ummat dari produk-produk haram.

BPJH diperkirakan bisa menjalankan tugasnya secara penuh pada tahun 2019. Kepala BPJPH, Sukoso, menyebutkan bahwa lembaga yang dipimpinnya masih menunggu diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP). PP yang bakal mengatur soal pelaksanaan teknis UU JPH yang saat ini masih dalam proses harmonisasi dengan kementerian-kementerian terkait.

***