Dia

Minggu, 7 Januari 2018 | 12:20 WIB
0
359
Dia

Aku pikir aku sudah selesai dengan semua ini. Aku sudah melupakan Dia. Ternyata aku salah. Aku bahkan tak ingat apa yang aku lakukan sebelum Dia menelepon.

Sudah jauh lewat tengah malam. Mungkin aku sedang menggonta-ganti saluran televisi sembarangan. Atau mungkin aku sedang tidur-tidur ayam. Tidak penting apa yang sedang kulakukan saat itu.

"Arif," kata suara yang menurutku tidak akan pernah kudengar lagi. "Aku tak tahu siapa lagi yang harus kuhubungi. Abah... Dokter mengatakan dia terkena serangan jantung."

"Di mana?"

"Rumah Sakit Umum."

Satu panggilan tunggal itu sudah cukup untuk mengirimku terbang menuju rumah sakit.

Perjalanan tiga tahun berkedip-kedip melintas di mataku dalam rentang waktu sepuluh menit. Semua kenanganku bersamanya, dari yang terbaik hingga yang terpahit muncul kembali meski telah kucoba benamkan dengan dengan Le Quattro Stagioni dari Vivaldi yang dimainkan oleh London Symphoniy Orchestra. Di sinilah aku, darah menetes dari setiap pori-poriku sebagai keringat. Hatiku nyeri. Kepalaku berdenyut-denyut. Setiap engsel dan sambungan tulangku terasa linu. Buku-buku jariku sakit karena mencengkeram roda kemudi kuat-kuat.

Aku berkelok-kelok melewati lalu lintas yang lancar dengan satu pikiran: Dia membutuhkanku. Aku harus berada di sana untuknya.

Dua kali mengitari rumah sakit sebelum menemukan tempat parkir. Ketika sampai di Instalasi Gawat Darurat, staf di sana hampir saja tidak mengizinkanku masuk.

"Abdul Gani. Serangan jantung."

Aku berbicara dengan suara berat serendah mungkin, menirukan Arnold Swarzenegger untuk menenangkan petugas bertubuh kecil berkulit gelap dengan seragam putih. Dia segera mengoperasikan papan ketik mencari nama yang yang kesebut.

"Zona Merah. Anda keluarganya?”

Seharusnya, kalau saja aku telah jadi menantunya.

"Saya—"

"Arif!"

Aku berbalik dan melihatnya berdiri di dekat pintu masuk ke dalam. Mengenakan kaus biru pupus yang basah oleh keringat. Rambutnya yang panjang kusut masai berantakan lupa disisir. Matanya liar diliputi rasa takut, mungkin juga putus asa. Dia menggigit bibir bawahnya, yang menandakan panik. Aku mendekat namun tetap menjaga jarak sejauh tiga langkah.

"Maaf, aku kesulitan mendapat tempat park—“

"Aku tak berani berharap kamu akan datang. Tidak setelah apa yang aku—“

"Bagaimana kabar Abah?"

"Aku tak tahu. Mereka masih tidak mengizinkan kami masuk. Umi di ruang tunggu."

"Kamu mau masuk untuk menemani Umi?"

Dia menggeleng lemah.

"Aku butuh udara segar."

Aku berjalan di samping Dia dalam diam, memperlambat langkahku agar serentak dengannya. Tubuhku bergerak sesuai naluri.

Kami berhenti di trotoar seberang jalan IGD. Aku melepas sepatu kiriku dan dia duduk di atasnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, seperti dulu. Aku berjongkok di sisinya.

Selama beberapa menit kami diam mematung tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Suara sirene meraung-raung, mobil yang berhenti menurunkan pasien, orang-orang yang menangis dan bertengkar.

"Kami sedang makan malam," akhirnya dia berkata, nyaris tak terdengar. "Mendadak Abah menjerit dan jatuh. Aku belum pernah melihatnya begitu."

Aku menatap matanya lurus-lurus. Ingin aku memeluknya, meyakinkannya bahwa abahnya akan baik-baik saja. Namun aku tak punya hak untuk melakukan itu.

"Maaf, aku menelponmu."

"Tak mengapa." Setidaknya aku tidak berbohong. "Di mana dia? Azwar? Anwar? "

"Anwar." Diam untuk menarik napas panjang. "Dia tidak mengangkat telepon. Tidur seperti orang mati."

Aku menebak-nebak jumlah panggilan tak terjawab sebelum Dia menghubungiku.

"Maafkan aku, Arif—"

"Tidak ada yang perlu dimaafkan."

"... karena meninggalkanmu."

"Oh."

Dua kata terakhirnya bagai lampu lalu lintas menyala merah dengan sepasukan polantas berjaga di sampingnya. Kami duduk membeku dalam keheningan yang menyakitkan.

Lalu aku melihat sosok yang kukenal berdiri di dekat pintu masuk IGD.

"Dia. Umi."

Dia melesat menyeberang jalan. Aku mengenakan sepatu kiriku yang kini pipih dan menyusul tanpa berlari.

Mereka saling berpegangan saat aku sampai di sisi Dia. Alis Tante Samira terangkat saat melihatku, tapi bibirnya tersenyum.

"Arif."

"Tante." Aku membungkuk untuk mencium tangannya. Aku merasakan tangannya yang lain mengelus rambutku.

"Dia, kata dokter kita bisa melihat Abah sekarang."

"Apakah Abah baik baik saja?"

"Dokter tidak bilang apa-apa. Umi ke sini untuk mengajakmu masuk."

Dia menyentuh lenganku. Listrik jutaan volt menyetrum di tempat kulitnya bertemu dengan jangatku.

"Arif, maukah kamu—“

"Aku akan menunggu di sini. Pergilah. Abah membutuhkan kalian berdua sekarang juga."

"Terima kasih."

Aku menatap mereka menghilang di balik pintu ayun. Karena tidak tahu harus berbuat apa lagi, aku duduk di kursi barisan belakang ruang tunggu, bermain-main dengan gawaiku: mengubah nada dering berkali-kali.

Aku duduk di sana. Badanku telah  berkuah keringat ketika Dia akhirnya keluar. Dari caranya berjalan, dari ekspresi raut wajahnya, aku tahu apa yang akan dia katakan.

"Dia akan baik-baik saja," kataku sebelum Dia menggerakkan bibirnya.

Aku berdiri menyambutnya. Dia mengangguk. Matanya basah. Sebelum aku bisa bereaksi, dia memelukku erat-erat, mengubur wajahnya dalam-dalam di dadaku. Aku menanggapi dengan satu-satunya cara yang aku bisa. Aku balas memeluknya, menyandarkan daguku ke kepalanya. Aroma sampo bercampur keringat memenuhi rongga hidungku, memantik kenangan saat kami masih bersama.

"Dia akan baik-baik saja, Arif," katanya di sela isak tangis.

Aku melepaskan pelukanku. Kami punya sejarah, tapi kini Dia bukan milikku lagi.

"Hei. Kembalilah ke abahmu. Katakan padanya aku berdoa untuk kesembuhannya. Dan ingatkan juga bahwa aku melarangnya bermain golf, setidaknya selama setahun."

Dia menyeka air mata dan ingusnya dengan lengan baju, lalu mengangguk.

"Arif, maafkan aku."

Dia mendongak menatap mataku, membuatku ingin memeluknya lagi.

"Melepaskanmu adalah kesalahan terburuk yang pernah kulakukan," Dia berbisik menambahkan.

"Sst... Apa yang yang sudah terjadi lupakanlah. Kita hidup di masa kini. Sekarang masuklah. Kabarkan perkembangannya padaku, oke?"

"Terima kasih, Arif."

Aku tersenyum lebar dan mengacak-acak rambutnya kemudian berbalik dan berjalan pergi.

Tepat di luar pintu masuk, aku berbalik.

"Asal kamu tahu, Dia, aku tak pernah berhenti mencintaimu."

Yang kulihat hanyalah pintu-pintu yang tertutup di antara kami.

***

Bandung, 7 Januari 2018