Dia Sudah Pergi dan Tanganmu Baru Terulur

Sabtu, 6 Januari 2018 | 16:47 WIB
0
503
Dia Sudah Pergi dan Tanganmu Baru Terulur

Di timur mentari bersinar cerah. Cahayanya memecah kegelapan malam. Ayam-ayam berkokok seakan bernyanyi riang menyambut Sang Surya, sebab beberapa hari terakhir hujan sering turun membasahi bumi.

Hari ini, Marja mulai kembali mengemudikan bajajnya, melaju tersendat di antara mobil-mobil mengkilat.

Sumijah pun mulai kembali bekerja di rumah Pak Lurah. Menjadi pembantu agar ekonomi mencukupi.

Soleh bersekolah seperti biasa. Menuntut ilmu guna suatu hari nanti nasibnya akan berarti.

Marja tersenyum ketika teman-temannya menyapa. Menjabat tangan atas kembalinya Marja setelah mengistirahatkan diri tiga hari yang lalu.

Sumijah senang ketika istri Pak Lurah membukakan pintu rumahnya, mempersilakan masuk untuk segera mencuci.

Soleh tertawa riang saat teman-teman di sekolahnya mengajak bermain dan bercanda ketika jam istirahat tiba. Meskipun mulai hari ini adik Soleh yang masih duduk di bangku kelas dua SD tidak lagi menemani berangkat ataupun pulang sekolah.

**

Tiga hari yang lalu hujan turun di malam hari dengan deras. Marja masih berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Meminjam uang ke sanak saudara, kolega hingga ke beberapa teman yang ia anggap mampu dan kaya.

"Sebelumnya aku minta maaf, Ja. Bukannya aku tidak mau mebantumu. Kedua anakku, Siti dan Jamilah, akan melanjutkan sekolah ke tingkat SMP Dan SMA. Tentu itu membutuhkan banyak biaya," Sesaat Marja menunduk dan terdiam ketika mendengar perkataan Pak Matkuro, juragan angkot yang ia kenal.

"Terimakasih, Pak Mat. Aku pamit," Marja kembali keluar rumah dengan tangan hampa.

Di bawah guyuran hujan, dengan menggunakan payung Sumijah berjalan kaki menuju rumahnya. Langkah kakinya tergesa ketika ia teringat Dulah, adiknya Soleh yang tergeletak sakit. Dulah terpaksa Sumijah tinggalkan di rumah untuk mencari pinjaman uang.

"Maaf, Jah. Aku tak bisa membantumu. Ini akhir bulan," Kata Rahmat, Juragan sayur di kampungnya.

"Maaf. Jah, kami belum ada uang lagi," kata Haji Rosid, donatur tetap di masjid-masjid sekitar tempat tinggal Sumijah pun menjawab demikian.

Langkah demi langkah Sumijah menelusuri jalan. Ketidak adaan uang berkecamuk di kepala Sumijah. Entah dari mana lagi Sumijah mendapatkan uang untuk berobat Dulah. Setelah kesana-kemari hingga hampir larut malam Sumijah belum juga mendapatkan pinjaman uang. Sementara Dulah, kondisi badannya semakin memanas. Bintik-bintik merah di tubuh Dulah semakin banyak.

Di stasiun Manggarai hujan juga turun dengan deras. Para penumpang Kereta Listrik menumpuk di depan pintu keluar. Terdiam tanpa langkah, menunggu hujan reda. Beberapa penumpang yang membawa payung dengan segera meninggalkan stasiun.

"Payung... payung..." Suara anak-anak kecil menjajakan dirinya sebagai ojek payung menjadi pemandangan tersendiri di stasiun. "Payung... Payungnya, Bu," Beruntung, payung yang Soleh sodorkan di sambut seorang pelanggan. Rupiah demi rupiah hasil ojek payung Soleh kumpulkan.

Malam sudah hampir larut. Marja memutuskan untuk pulang ke rumah. Lampu bajaj yang redup membantu penerangan jalan. Ada seseorang berdiri di pinggir jalan tidak jauh dari stasiun Manggarai. Ia tahu kalau yang akan lewat adalah bajaj Marja.

"Stop... Stop, Ja," Ternyata suara Warkino, tetangga Marja.

“Ada apa, War?”

“Dulah, Ja. Anakmu…”

“Kenapa?”

“Meninggal, Ja...”

"Dari mana kamu tahu, War?"

"Anakku di rumah barusan menelpon memberi kabar, Ja. Dan kebetulan kamu lewat."

“Innalillahi rajiun… Istriku di mana?”

“Di rumah…”

"Soleh di mana, War?"

"Kita cari di depan stasiun. Biasanya aku lihat dia di sana sedang mengojek payung," kata Warkino.

Soleh yang basah kuyup menggigil berjalan mengikuti pelanggannya. Mengantarnya tanpa jas hujan sampai ke parkiran mobil. Dari kejauhan terdengar suara bajaj yang tak asing lagi bergerak mendekat. Soleh berjalan perlahan menghampiri.

"Leh, Soleh.." Teriak Marja dari kejauhan ketika ia melihat Soleh mendekat.

"Bapak..." Sahut Soleh.

Langkah kakinya yang mungil berjalan dengan cepat mendekati Marja yang berada di dalam bajaj. Marja berhenti di pinggir jalan stasiun, dekat lapak nasi bebek Warkino yang sudah kusut. Di dalam bajaj juga sudah ada Warkino.

"Ayo, Leh. Cepat masuk, kita segera pulang," Ucap Warkino.

"Iya, Pak" Soleh menuruti apa kata Warkino.

Warkino mencoba bersikap tenang, berusaha memberi tahu Soleh kabar duka yang ia ketahui, "Kamu ngojek payung lagi, Leh?"

"Iya, Pak War. Tapi kali ini uangnya Aku berikan untuk Bapak."

"Sungguh, kamu benar-benar anak yang berbakti."

"Sudah kewajibanku membantu Emak dan Bapak, Pak War," Kata Soleh melanjutkan pembicaraan. Seakan ia betul-betul paham kondisi ekonomi keluarga. "Apalagi adikku sedang sakit, Pak War," lanjutnya.<

"Pak, gimana kondisi Dulah? Uang hasil ojek payung Soleh untuk menambah biaya berobat Dulah aja ya, Pak," Sesaat Soleh berbicara pada Marja, namun Marja terdiam. Warkino tak sanggup berkata apa-apa lagi. Air Mata Marja menetes. Begitu juga dengan Warkino.

Bajaj terus melaju menembus kedinginan malam. Hujan mulai reda. Pandangan Marja tetap terfokus pada jalan. Soleh yang masih belum tahu apa-apa terheran melihat Warkino meneteskan air mata. Sesaat bajaj yang mereka tumpangi memasuki jalan menuju rumah, musholah di pinggir jalan memberi kabar pada warga, Dulah bin Marja meninggal.

Marja tidak mampu lagi untuk bungkam. Sambil mengendarai bajajnya ia berkata "Dulah meninggal, Leh... Dulah meninggal..." Tangis Marja semakin menjadi-jadi. Warkino memeluk Soleh, mengelus-elus kepala Soleh. Soleh meneteskan air mata.

Bajaj Marja terus berjalan mendekati rumah. Di balik jendela plastik bajaj itu Soleh melihat bendera kuning sudah terpasang di depan rumah. Warga sudah berkumpul. Pak RT, Pak Lurah, Haji Rosid pun sudah berada di rumah Marja.

Sesampainya di depan rumah, Marja dan Soleh segera berlari masuk ke dalam rumah. Marja membuka kain putih yang menutupi wajah Dulah. Soleh memeluk Dulah dan terus menangis. Warkino merangkul Marja, "Sudah, Ja... Sudah, ikhlaskan," Kedua lelaki itu sama-sama merasa terpukul telah kehilangan anggota keluarganya.

Sumijah menangis tak henti-henti. Tubuhnya melemas, Bu RT menopang tubuh Sumijah yang hampir ambruk. Sumijah tak sanggup melihat jenazah Dulah yang tertutup kain putih. Tak sanggup berkata-kata, hanya air mata yang dapat menggambarkan suasana hatinya.

Matahari bersinar cerah setelah hujan deras semalam. Orang-orang kampung segera memakamkan jenazah Dulah. Pak Haji Rosid memimpin doa. Warkino masih setia disisi Marja. Marja segera merangkul Soleh kemudian mengajaknya pulang. Soleh menggandeng tangan emaknya, Sumijah.

Menjelang siang mereka baru selesai menunaikan fardu kifayah itu dan pulang dari pemakaman. Ketika sesampainya di rumah, Marja mendekati kotak sumbangan yang berisi sangat banyak uang. Dengan suara lirih, airmata yang sudah habis, Marja bicara kepada orang-orang kampung yang datang, para tetangga, saudara, kolega dan tokoh masyarakat.

"Bapak-bapak dan ibu-ibu, uang ini begitu banyak sekali bagi saya dan keluarga. Seandainya saja uang ini ada ketika anak saya masih hidup, mungkin saya bisa dengan segera membawanya ke rumah sakit dan mungkin nyawa anak saya dapat terselamatkan. Kini, uang ini tidak ada gunanya lagi buat saya dan keluarga. Dulah telah tenang di alam sana..."

(Diinspirasi dari Para Pembual - Puthut EA)

***

Cerita sebelumnya:

http://pepnews.com/2017/12/30/semangkuk-mie-ayam/