Keletihan Politik Lebih Berbahaya dibanding Politik Identitas

Jumat, 5 Januari 2018 | 10:29 WIB
0
486
Keletihan Politik Lebih Berbahaya dibanding Politik Identitas

Pemilihan Kepala Daerah Serentak Jilid III menjadi ujian. Bukan hanya menguji para nakhoda, dalam mengarungi gelombang politik. Tapi menguji rakyat dalam menatap tahun politik.

Sebagaimana kita ketahui, Pilkada tahun 2018 merambah 171 daerah se-Indonesia. Bukan hanya banyak daerah yang menyelenggarakan pesta demokrasi. Pilkada 2018 juga menjadi pijakan untuk melangkah di jalan Pemilu Serentak tahun 2019.

Dalam pandangan pemilih, politisi dan sengkarut masalah partai bakal membuat lelah. Kelelahan pemilih sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2016. Saat itu tahapan Pilkada Serentak tahun 2017 sudah berjalan.

Akibat masalah perbedaan pilihan yang menyerempet ke pelbagai kehidupan sosial kemasyarakatan. Maka keletihan pemilihan jelas bertahan selama empat tahun. Yakni mulai dari tahun 2016, 2017, 2018, dan 2019.

[irp posts="4441" name="Politikus Santri Bisa Ikut Pilkada atau Pilpres, Mengapa Tidak?"]

Panjangnya tahun politik juga membuat keletihan tersendiri untuk tahun 2020. Atau setahun Paska pemilu 2019. Maka, pandangan yang mengatakan bahwa bahaya pilkada 2018 menjadi ujian. Merupakan pandangan yang memaksa. Hanya karena Pilkada 2018 dengan Pemilu 2019 hampir bersamaan dalam hal teknis.

Padahal, Pilkada 2017 adalah awal ujian politik bagi bangsa Indonesia. Sehingga, Pilkada 2018 adalah tangga kedua menuju keletihan politik secara nasional.

Dampak keletihan politik ini lebih berbahaya daripada isu politik identitas maupun politik oligarki dan pemaksaan koalisi. Keletihan politik mampu menurunkan akal sehat pemilih untuk objektif menggunakan hak pilihnya. Bisa juga, keletihan politik melahirkan apatisme yang merugikan partisipasi pemilih.

Selain itu, keletihan politik juga mengganggu tatanan sosial masyarakat. Akumulasi keletihan politik adalah gagalnya pemilu dan pilkada sebagai sarana demokrasi membangun kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik.

Untuk itu, Pilkada 2018 wajib memutus keletihan politik. Sebelum terlambat dan menghancurkan masa depan bangsa.

Adapun langkah yang perlu dipertimbangkan adalah menguji peserta Pilkada. Dalam hal ini, ujian kepada calon kepala daerah. Namun, bagaimana cara menguji calon Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakilnya?

Menguji mereka bisa dengan cara memberikan tantangan sederhana. Yaitu, para peserta pilkada harus mengevaluasi program Pemda selama lima tahun terakhir. Mereka wajib menjawab dan mencarikan solusi. Tidak boleh dibantu oleh tim kampanye. Sehingga pemilih bisa melihat kapasitas para calon eksekutif lokal.

Setelah itu, uji mereka dengan memberikan waktu pengabdian masyarakat. Misalnya, ada suatu potensi daerah pada bidang tertentu. Berikan mereka waktu untuk meyakinkan dan mengorganisir masyarakat. Tujuannya adalah membangun kesadaran perubahan dan perbaikan kehidupan.

Terakhir, uji mereka dengan menolak semua bantuan selama kampanye. Ujian terakhir juga sekalian menguji pemilih. Apakah kampanye bisa lebih fokus kepada advokasi politik? Bila mampu, maka pemilih akan memilih sekaligus menghilangkan budaya biaya politik dan politik uang.

Setidaknya, pemilih harus menjadi tuan dalam pesta demokrasi lokal. Bukan sebagai penari hiburan yang mudah tawuran karena masalah sepele. Jadikan peserta layaknya peserta. Jangan buat peserta pilkada sebagai penguasa politik.

***