Menolak Dicalonkan di Pilkada, Yenny Wahid Berpeluang di Pilpres 2019

Kamis, 4 Januari 2018 | 18:08 WIB
0
403
Menolak Dicalonkan di Pilkada, Yenny Wahid Berpeluang di Pilpres 2019

Berita soal penolakan Yenny Wahid yang akan diusung menjadi calon gubernur oleh Gerindra di Pilkada Jatim, tidak bisa dilihat sebatas kekhawatirannya akan terjadi polemik internal di tubuh organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Sebagaimana diketahui, dua cagub di Pilkada Jatim yang saat ini berkontestasi adalah kader NU yang sudah cukup makan asam garam dalam dunia politik nasional.

Dalam sebuah iklim kontestasi, perbedaan-perbedaan aspirasi politik walaupun terafiliasi dalam sebuah organisasi sosial yang sama, merupakan hal yang wajar. Apalagi hal ini jelas disebutkan dalam Pedoman Politik Warga NU yang dituangkan selepas keputusan Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada 1989 silam. Salah satu poinnya adalah tetap menerima perbedaan aspiran politik yang tetap berjalan dalam suasana tawadhu, persaudaraan, dan saling menghargai.

Bagi saya, penolakan Yenny Wahid atas pinangan Prabowo sebagai cagub lebih didasarkan pada unsur moralitas politik, di mana NU tidak boleh dimanfaatkan sebagai “kendaraan” untuk mencari kekuasaan politik. Melihat sudah adanya dua kandidat yang sama-sama berlatarbelakang NU, pencalonan Yenny hanya akan dianggap sebagai kesempatan yang pada akhirnya sekadar “memanfaatkan” suara warga nahdliyyin demi kepentingan kekuasaan sesaat.

Inilah saya kira, hasil dari komunikasi Yenny Wahid dengan keluarga dan para ulama senior NU. Sejauh ini, NU masih tetap memegang pedoman berpolitik yang secara jelas terangkum dari hasil Muktamar ke-28 Yogyakarta.

Ormas Islam terbesar ini memang unik, di samping memiliki kesejarahan yang kuat dalam memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan, terdapat pasang-surut kepolitikan yang hampir tak pernah selesai diwacanakan. Keputusan soal “Khittah” yang mengembalikan ormas ini ke jalur sosial-keagamaan dan meninggalkan politik praktis—sebagai parpol—ternyata tidak serta merta mematikan kreativitas politik warganya. Secara “struktural” NU memang tak berpolitik praktis, walaupun secara “kultural”, NU sulit melepaskan diri dari kecenderungan-kecenderungan kekuasaan.

Keberadaan PKB, yang mulanya ditentang oleh sebagian ulama senior NU, toh tetap mewujud dan sukses menjadi parpol pendulang suara bagi mayoritas warga nahdliyyin.

Sudah menjadi suatu tradisi, dimana setiap kontestan yang berlatarbelakang NU, pasti akan meminta restu dan dukungan para kiai, semata-mata bukan karena meminta dukungan secara politik dengan cara mengamankan suara pemilih, tetapi lebih kepada tradisi penghormatan dalam rangka menjalankan dan memperteguh moralitas politik ke-NU-annya.

[irp posts="7227" name="Ditolak Yenny Wahid, Prabowo Subianto Tak Perlu Patah Hati"]

Maka tak heran, jika seakan-akan, bahwa antara dua kandidat di Pilgub Jatim—baik Syaifullah maupun Khofifah—saling berebut pengaruh kepada para kiai kharismatis dan muncul juga pernyataan-pernyataan dukungan dari mereka. Padahal, di situlah letak keunikan NU, membangun tradisi dan kultur santri-kiai yang terbawa-bawa hingga urusan-urusan politik.

Hal inilah yang sama dialami putri sulung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang biasa akrab disapa Yenny Wahid. Santernya isu pinangan politik yang dilakukan Prabowo Subianto terhadapnya, yang kemudian berujung penolakan, semata-mata karena nilai moralitas politik yang tetap dipegang teguh oleh keluarga besar NU.

Yenny, yang memiliki “darah biru” NU apalagi besar di lingkungan nahdliyyin, sudah pasti fasih dalam membaca dan menafsirkan lebih jauh, bagaimana pedoman politik ke-NU-an. Dengan adanya dua cagub yang sama-sama kader NU, soal suara warga nahdliyyin sudah pasti terbelah, tetapi saling menghormati antarpartisan politik, sejauh ini tidak membuat NU terpecah-belah.

Sebuah ungkapan almarhum KH Sahal Mahfudz yang menyatakan, “Politik NU itu diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika berpolitik”, paling tidak menunjukkan, peran politik NU seharusnya memang tidak dalam berkompetisi di tingkat daerah, tetapi lebih besar dari itu, bagaimana kader-kader NU mampu bermain pada level “high politics”, tidak harus diartikan sekadar terjun dalam kontestasi politik, tetapi memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan-perubahan politik nasional.

Saya kira, kesempatan Yenny Wahid yang saat ini mulai dilirik banyak pihak, sangat disayangkan jika hanya berkompetisi dalam kontestasi Pilkada, karena untuk menuju Pilpres tahun depan, kesempatan bagi dirinya terbuka luas.

Para kiai NU saya kira, akan berperan penting dalam mendorong Yenny untuk terjun dalam kompetisi politik nasional, itulah sebabnya tidak sepakat jika Yenny ikut bursa pencalonan hanya di Pilkada Jatim. Melihat dari tingkat elektabilitas antara Jokowi dan Prabowo, keduanya memang berpeluang besar menjadi capres 2019, hanya saja penentuan soal siapa pendampingnya, tak bisa mengandalkan ukuran lembaga survei.

Kemunculan nama Yenny Wahid yang tiba-tiba populer, karena dipinang oleh Gerindra di Pilkada Jatim, tak menutup kemungkinan, dirinya akan mengolah image politik yang akan menarik banyak pihak. Apalagi sejauh ini, hubungan NU-pemerintah dirasa begitu sinergis, tidak hanya melalui ekspresi dukungan berbagai parpol yang berafiliasi NU, namun kedekatan dunia pesantren, para kiai NU, yang cukup baik dengan pemerintah.

Yenny Wahid jelas berpeluang besar dalam kontestasi politik nasional, baik karena ke-NU-an yang melekat pada dirinya, maupun segala sepak terjang dan track record dirinya yang cenderung “netral” dalam berpolitik. Hal ini bisa menjadi modal politik dirinya untuk meraih simpati masyarakat yang cenderung kesulitan dan gamang belakangan ini, di saat menentukan pilihan politik.

[irp posts="6986" name="Prabowo Subianto dan Yenny Wahid untuk Pilpres 2019"]

Bagi saya, nama Yenny Wahid sangat “menjual” dalam setiap ajang kontestasi, bukan karena gerbong warga nahdliyyin yang berada di belakangnya, namun juga netralitas, pengalaman pribadinya yang luas dalam soal hubungan-hubungan internasional, termasuk figurnya yang bisa mendamaikan dan diterima banyak pihak. Tanpa harus mengikuti keinginan Prabowo untuk berkompetisi di Pilgub Jatim, Yenny tetap memiliki peluang besar, meraih kesempatan dalam kontestasi politik nasional.

Tidak menutup kemungkinan, bahwa NU-pun sedang menjajaki banyak hal, termasuk bagaimana menempatkan kadernya agar siap terjun dalam kancah politik yang lebih besar. Sebelumnya, nama Muhaimin Iskandar (Cak Imin), juga mulai dipopulerkan kalangan NU agar siap berkompetisi di tingkat nasional. Bahkan, pendeklarasian Cak Imin-AHY sudah jauh-jauh hari diperkenalkan sebagai calon alternatif yang dapat bersaing dengan Jokowi dan Prabowo.

Saya kira, modal politik yang dimiliki Yenny, bisa saja mengungguli kepopuleran Cak Imin, yang pada akhirnya, atas kesepakatan dan restu dari para kiai NU, justru mendeklarasikan Yenny Wahid sebagai calon presiden. Dinamika politik NU memang gampang-gampang susah untuk ditebak, karena lagi-lagi ini soal moralitas politik yang tertuang dalam kesepakatan Muktamar NU Yogyakarta. Tunggulah nanti, ke mana kecenderungan istikharah para ulama NU, mencalonkan Yenny Wahid atau Cak Imin.

***