PKL, "Ranjau Populisme" Mematikan, Jangan Sampai Terinjak!

Rabu, 3 Januari 2018 | 10:50 WIB
0
525
PKL, "Ranjau Populisme" Mematikan, Jangan Sampai Terinjak!

Tak ada kelompok masyarakat Jakarta seberuntung pedagang kaki lima alias PKL yang selama ini terpinggirkan. Oleh pasangan gubernur dan wakilnya, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, hidup mereka dimakmurkan dan lahan untuk usaha mereka dibukakan. Ini salah satu realisasi janji kampanye yang sedang dipenuhi.

PKL mendapat angin baik di Tanah Abang di mana sebagian jalanan terpaksa buka-tutup pada jam-jam tertentu, sedangkan sebagian jalan lainnya dipakai tempat untuk mendirikan tenda berderet rapi yang difasilitasi Pemprov DKI Jakarta.

Tidak peduli sopir angkot mencak-mencak karena rezekinya terpotong di sepanjang jalur itu, abaikan dulu protes warga yang sulit masuk ke pekarangan rumahnya, Undang-undang pun bekukan dulu, apalagi protes para pedagang kios di Pasar Tanah Abang. Urusan PKL harus dikedepankan terlebih dahulu, sebab mereka representasi rakyat kecil Jakarta yang selama ini terpinggirkan.

[irp posts="5104" name="Elektabilitas Meroket, Anies Baswedan Punya Posisi Tawar Tinggi"]

Demikianlah mesin populisme berjalan, yakni politik dengan cara meraih simpatik rakyat kebanyakan meski harus membenturkannya dengan kelompok mapan. Proporsionalitas miskin-kaya di Jakarta, bahkan di Indonesia, lebih didominasi kaum tidak berpunya. Sehingga, wajar dan sah-sah saja cara populisme digunakan dengan maksud investasi jangka panjang, yaitu meraih simpatik rakyat untuk Pilpres 2019.

[caption id="attachment_7132" align="alignleft" width="489"] Pedagang kaki lima di Monas (Foto: Jejamo.com)[/caption]

Alhasil, karena PKL mendapat tempat terhormat berupa lahan di manapun bisa dipergunakan untuk berjualan, maka lapak mereka semakin merangsek maju, bahkan silang Monas Jakarta pada jam-jam tertentu sudah dikuasai para PKL ini. Mereka tidak pernah merasa bersalah, sebab pemerintah DKI memfasilitasinya.

Soal kesemrawutan yang diakibatkan PKL, itu sih hanya ekses sementara dibanding penderitaan lama di mana mereka tidak pernah mendapat tempat terhormat. Tanah Abang sudah, kini giliran silang Monas yang hanya sepelemparan batu saja jaraknya dari Istana, sudah dikepung tenda-tenda dan lapak para PKL yang tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, harus tetap berhati-hati menyikapi keberadaan PKL yang semakin diberi ruang dan lahan oleh pemerintah provinsi DKI, sehingga tidak aneh kalau tempat-tempat lainnya bakal ditempati pelapak PKL.

Pemerintah pusat harus memandang PKL ini sebagai "ranjau populisme" yang mematikan, yang akan berdampak buruk jika Jokowi menginjaknya.

Kapan waktu pemerintah pusat mengambil kebijakan, baik lewat aparat maupun seperangkat aturan untuk kembali menertibkan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, maka opini populisme sudah disiapkan, yakni "Pemerintah pusat dan Jokowi terbukti tidak pernah prorakyat kecil". Ya, pemerintah provinsi DKI membungkus PKL sebagai rakyat kecil yang terabaikan selama ini.

[irp posts="5093" name="Menelaah Ambisi Terpendam Anies Baswedan pada Pilpres 2019"]

Jika Jokowi yang merupakan representasi pemerintah pusat menindak tegas para PKL, momen inilah yang sejatinya ditunggu-tunggu penebar ranjau populisme itu. Sedangkan, lingkungan Istana Negara yang selama ini steril dari pejalan kaki sekalipun, tidak tertutup kemungkinan bakal "diserobot" juga oleh para PKL ini. Lha wong PKL di silang Monas itu sudah di depan mata.

Jadi apa yang sebaiknya pemerintah pusat dan Jokowi lakukan terhadap "ranjau populisme" yang dipasang pemerintah provinsi DKI dengan PKL sebagai peledaknya itu?

Jangan lakukan apa-apa!

Itulah cara terbaik.

Biarkan saja kota Jakarta menjadi semakin semrawut tak karuan di mana tempat strategis dan ruas-ruas jalan digunakan PKL lainnya yang menuntut hak serupa. Relakan saja sepeda motor masuk dan menyesaki jalan-jalan protokol seperti Jenderal Sudirman. Abaikan juga premanisme yang kembali merajalela karena sudah menemukan lahan usaha.

Dengan cara ini, niscaya "ranjau populisme" itu akan meledak dengan sendirinya, tanpa harus terinjak -apalagi sengaja diinjak- oleh pemerintah pusat.

Percaya apa kata Rudy deh, Wan Abud!

***