Dakwah, “Kebenaran” Yang Hilang dan Hukum Moral

Minggu, 31 Desember 2017 | 15:57 WIB
0
604
Dakwah, “Kebenaran” Yang Hilang dan Hukum Moral

Judul tulisan ini terinspirasi dari sebuah karya Farag Fouda yang berjudul, “Al-Haqiqah Al-Ghaybah” yang diterjemahkan menjadi “Kebenaran Yang Hilang”, sebuah narasi reflektif terhadap situasi di mana seringkali “kebenaran” dikooptasi menjadi sesuatu “yang mapan”, “absolut”, atau “klaim” yang hanya dimiliki oleh sekelompok tertentu.

Preskripsi sebuah kebenaran yang dibangun oleh penyuka kemapanan, tentu saja sulit atau bahkan tak bisa menerima “kebenaran” dari luar selain diri dan kelompoknya, sehingga kebenaran itu tampak semakin absurd bahkan “hilang”. Padahal, kebenaran adalah proses pencarian, ijtihadi, dialektika yang tak boleh berhenti dalam dinamika pemikiran manusia, sehingga proses peradaban kemanusiaan tentu saja terukur dalam grafik kemajuan, tidak stagnan, apalagi mengalami kemunduran.

Saya pernah menulis sebuah artikel mengulas soal dakwah yang belakangan ini marak terjadi penolakan dari masyarakat. Saya kemudian mengajukan sebuah asumsi: kenapa dalam realitas yang heterogen dan agamis seperti di Indonesia, berdakwah yang tentu saja mengajak kebaikan, tetapi justru ditolak masyarakat?

Banyak alasan sosiologis, kenapa keberadaan dakwah itu ditolak, entah itu terkait dengan ketidaknyamanan penguasa, politisasi kalangan tertentu, atau bisa jadi karena memang terdapat muatan dakwah yang cenderung “reaktif” kurang “pro-aktif”, atau mungkin “provokatif” tidak  “persuasif”.

Asumsi-asumsi ini tentu saja bersifat subjektif, tanpa harus disimpulkan sebagai sedang menohok pihak-pihak tertentu atau menjustifikasi para pendakwah dengan penilaian-penilaian negatif. Asumsi, bagi saya, adalah proses menuju pencarian sebuah kebenaran, sehingga secara lebih “objektif” suatu kebenaran dapat dinarasikan secara lebih baik dan bermartabat.

Saya menilai, berdakwah, dan seluruh aktivitas sosial lainnya, tak akan pernah lepas dari adanya motif dan tujuan. Dakwah dalam bingkai nuansa keagamaan yang memotivasi dan mengajak masyarakat kepada kebaikan dengan tujuan membangun sebuah tatanan sosial yang “ideal” dan lebih baik, jelas adalah upaya mulia yang paripurna dari diri seorang pendakwah.

[irp posts="6658" name="Tak Hanya Ucapan Selamat", Islam Tebar Keselamatan dan Kedamaian"]

Namun demikian, karena dakwah merupakan aktivitas sosial dengan beragam motif dan tujuan—walaupun kadang sulit dijelaskan—yang terkait erat dengan tindakan manusia, maka berlaku di dalamnya hukum moral. Tindakan manusia yang terkena hukum moral, tentu saja berbeda dengan tindakan hewan atau aktivitas alam yang bergerak secara mekanik dan instingtif, keduanya tak dikenai persepsi penilaian baik dan buruk oleh masyarakat.

Itulah kenapa, sebagai sebuah aktivitas sosial, dakwah pasti tak luput dari beragam penilaian masyarakat, baik-buruk, pro-kontra, “menyejukkan” atau “memanaskan” yang keseluruhannya terikat dalam sebuah hukum moral yang berlaku dalam sebuah sistem kemasyarakatan.

Bagi saya, dalam konteks hukum moral, penilaian baik dan buruk terhadap aktivitas dakwah adalah hal yang wajar, kecuali jika dakwah tak terkait dengan aktivitas sosial-kemanusiaan, tetapi aktivitas alam atau kehewanan yang benar-benar “bebas nilai” karena tak terkait hukum moral di dalamnya.

Di sinilah pada akhirnya, proses dialektika “kebenaran” bermain-main dengan beragam caranya tersendiri, tak perlu ada “klaim” sepihak atas sebuah kebenaran, karena keseluruhannya berproses dalam sebuah bingkai hukum moral yang disepakati bersama.

Saya meyakini, sebuah tindakan manusia dalam lingkup aktivitas sosial, pasti terdampak hukum moral, apapun tindakannya. Tegaknya hukum moral itu, tentu saja terkait erat dengan ruang kebebasan bagi setiap orang untuk memilih (freedom to choose) dan kemampuan merancang tujuan yang hendak diraih (goal-seeking behaviour). Walaupun terkadang, sebuah ruang kebebasan terbentur dinding “pakem” sikap keberagamaan yang mapan.

[irp posts="6816" name="Jika Menebar Kedamaian, Dakwah Sudah Pasti Tak akan Ditolak""]

Sikap keberagamaan yang terbangun melalui dialektika antara beragam dimensi, baik ketuhanan, kepribadian, dan kebudayaan pada gilirannya akan membentuk secara subjektif-psikologis, cara pandang setiap orang terhadap keragaman atau perbedaan di luar dirinya.

Keyakinan keagamaan pasti sangat berpengaruh terhadap pola pikir, emosi, dan tindakan seseorang, baik secara pribadi maupun kelompok. Hal ini pula yang kemudian menjadikan beragamnya penilaian terhadap aktivitas sosial yang mewujud dalam lingkup hukum moral kemasyarakatan.

Kasus ditolaknya beberapa pendakwah, tentu saja berdampak terhadap sikap responsif masyarakat, disesuaikan dengan cara berpikir, emosi, dan motif yang bersemayam di belakang kepalanya. Bagi yang emosional dan reaktif, tentu akan menganggap “buruk” terhadap upaya penolakan berdakwah, bahkan mencap “buruk” pada mereka yang kritis sekalipun.

Di sisi lain, sikap responsif yang tak berlebihan, cenderung menilai, terdapat “realitas tersembunyi” yang perlu diungkap lebih jauh, sehingga nilai kebaikan berdakwah sudah semestinya dapat lebih diterima masyarakat.

Ketika berhadapan dengan realitas hukum moral, setiap aktivitas seseorang—termasuk dakwah—pasti tak luput dari penilaian baik dan buruk. Itulah sebabnya, sebuah aktivitas harus mempunyai “nilai” kebaikan yang mampu diterima semua pihak.

Hal inilah yang pernah dilakukan ratusan abad yang lalu, ketika para wali memulai aktifitas keagamaannya, membangun sebuah ikatan umat yang lebih bermartabat, menjauhi kekufuran, kejumudan, dan keterbelakangan berpikir, melalui upaya dakwahnya yang selalu diterima di tengah-tengah masyarakat yang “jahiliyah”, terbelakang, reaktif terhadap hal-hal baru, yang padahal dibanding saat ini, kondisi umat “zaman now” relatif terbuka, cerdas, responsif, dan bahkan “modern”.

Para wali memahami secara baik, kondisi masyarakat dengan menghindari “benturan”, menjalin “kontak budaya”, memanfaatkan seluruh kearifan lokal lalu mengisinya dengan ajakan-ajakan kebajikan dan kemajuan.

Indonesia, tentu saja tak seperti Mesir, Suriah, Yaman, atau negara Timur Tengah lainnya yang pernah punya kisah tragis, mengeksekusi seseorang hanya karena dirinya berbeda pendapat dalam konteks pemikiran sosial-keagamaan.

Mencari kebenaran

Farag Fouda adalah contoh nyata figur yang mencoba mencari “kebenaran” yang hilang dari ranah bingkai kemapanan, yang dieksplorasinya sendiri, ditafsir-ulang melalui sumber-sumber otentik sejarah masa lalu, tetapi justru syahid ditangan para eksekutor pengecut yang “gagal” menangkap “kebenaran” yang dipersepsikan Fauda.

Saya yakin—walaupun sedikit khawatir—bahwa setiap perbedaan pendapat di negeri ini, lalu dipersekusi, dituduh, distigmatisasi, sebagai pihak “bersalah” yang tidak mau menerima “kebenaran”. Padahal, mereka yang dipersekusi, dituduh, atau distigmatisasi, sedang menyampaikan “kebenaran” yang hilang direnggut oleh “kebutaan sejarah” dan dikooptasi oleh mereka yang nyaman atas kebenaran yang mapan.

Kita sepertinya sedang berada di hadapan “tembok besar” kebenaran yang mapan, sehingga sulit rasanya memunculkan alternatif kebenaran yang seharusnya mampu “menambal” lubang-lubang tembok besar tersebut. Bahkan, saking kokohnya, keterusterangan dan keterbukaan dalam mengungkap sisi lain dari kebenaran dianggap “barang haram” yang sangat berbahaya.

Ada sebuah ungkapan Mesir, “tutuplah segala celah yang memungkinkan masuknya terpaan angin”! sehingga menganggap “kebenaran” dari luar adalah menjadi celah yang harus ditutup karena dianggap “terpaan angin” yang membahayakan “kebenaran” dalam tembok besar kemapanan mereka.

Dalam ajaran Islam, mengungkapkan “kebenaran” tentu saja menjadi bagian wilayah ijtihadi, sehingga tak mengenal istilah “klaim” atas kebenaran sendiri. Ijtihad, tentu saja merupakan “kegiatan mengungkap kebenaran suatu masalah” (istinbathu al-fi’li lil masaail) yang walaupun berangkat dari “subjektivitas”, namun mampu mengungkapkan kebenaran yang lebih “objektif”.

Jalan memperoleh kebenaran jelas tidak tunggal, karena semata-mata, manusia dikaruniai Allah kemampuan untuk menangkap setiap sinyal kebenaran itu sendiri. Lalu, jika kemudian ada yang tidak mau menerima “kebenaran” dari pihak lain dan memilih “kebenaran” versinya sendiri, sama saja dengan menutup jalur kreativitas berijtihad, membiarkan “kebenaran” lainnya yang hilang.

***