Sepengetahuanku tentang Nahdlatul Ulama

Jumat, 29 Desember 2017 | 17:17 WIB
0
434
Sepengetahuanku tentang Nahdlatul Ulama

HRS itu aswaja, setelah tidak bisa lagi di gunakan kini terlunta-lunta di negri sebrang, dzuriat nabi yang telah habis di explotasi. Cak Somad juga aswaja - kini sedang di branding untuk kebutuhan penggalangan emosi demi voter, jika sudah tidak berguna lagi ya kelak dilepeh juga.

Sedangkan BN dan ZR tokoh dibalik demo berjilid-jilid tenang tenang saja, bahkan kini sedang bermetamorfosis menjadi NKRI harga mati - Setelah situasi politik tidak menguntungkan kelompok dan dirinya.

Aswaja itu memegang prisip Tawassuth, Tawazun, i'tidal dan Tasamuh ( tengah tengah, seimbang, lurus dan toleran ) - jika keluar dari prinsip itu ia akan kehilangan arah dan hanya akan digunakan oleh kepentingan pragmatis semata - New Masyumi siap menampung dan akan di gadang-gadang, setelah tercapai tujuanya, sampean akan di tinggalkan di tikungan juga.

NU itu di tengah, sesuai idiologi dasarnya, tidak ekstrem kanan juga tidak ekstrem kiri. Risiko di tengah-tengah adalah kena hantam kanan juga kiri, tetapi juga diperebutkan dengan di seret-seret ke kanan juga ke kiri.

Namun demikian NU lebih nyaman dengan kaum marhaenis, ploretar atau mustadafin entah apa lagi sebutanya, yang jelas mereka kaum yang termarjinalkan, dengan akses politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, sangat terbatas.

Mereka adalah orang orang lemah, rakyat jelata, yang perlu diperjuangkan, mereka bukan diciptakan sebagai buih yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan suara, alat penekan dengan demo-demo, tapi mereka kaum yang perlu di bela dengan sepenuh CINTA - di situlah NU berada.

Tau 'kan kenapa mbah Yai Wahab Chasbullah lebih memilih bergabung dengan Nasakom dan keluar dari Masyumi....? Alasan dihianati Masyumi tentu salah satunya. Begitu juga NU meninggalkan gelanggang politik praktis dan keluar dari PPP tahun 1983 dan kembali menjelma menjadi jami’iyah diniyyah ijtima’iyah".

[irp posts="1305" name="Antara Kiprah Nahdlatul Ulama dan Magnet Pilkada DKI"]

"NU ada di mana mana, tapi tidak kemana mana" menjadi tagline, tetapi yang harus di cermati " NU ada di mana mana, bukan berarti ada di HTI - idiologi dasar dari HTI tidak sesuai bahkan bertentangan dengan NU.

NU mengakui asas tunggal Pancasila dan bagian dari penjaga NKRI, sedangkan HTI tidak memgakui negara bangsa, ia ingin mengubah negri ini menjadi caranya - Dengan demikian NU tidak ada di sana (HTI).

Lalu ada ustad HTI yang merasa NU, ah bercanda kau.....!?

NU garis lurus kali....?

Saya mah NU garis lucu...

***