Koalisi "Trio Kwek Kwek" Bisa Bikin Demokrat Tersingkir

Rabu, 27 Desember 2017 | 16:42 WIB
0
366
Koalisi "Trio Kwek Kwek" Bisa Bikin Demokrat Tersingkir

Sebuah ujar-ujar politik mungkin mulai terlihat saat ini. Ujar-ujar itu: “tidak ada kawan atau lawan yang abadi, sebab yang abadi hanyalah kepentingan (baca: politik)”. Semakin menjadi kenyataan dalam Pilkada Serentak 2018 nanti.

Tampaknya, menjelang bergulirnya Pilkada Serentak 2018 mendatang, jantung para petinggi, anggota, dan simpatisan Partai Demokrat mungkin berdegup keras. Pasalnya, dengan melihat pergeseran-pergeseran konstelasi yang ada, mungkin saja akan membuat Demokrat tidak bisa mengirimkan utusannya bertarung di dalam kontestasi Pilkada tahun depan.

Adalah rencana koalisi permanen Tiga Serangkai: Partai Gerindra, PKS dan PAN, yang bisa menjadi salah satu faktor utamanya. Meski mengakui terfokus pada pertarungan Pilkada di lima Provinsi ketika perhelatan Pilkada Serentak 2018, namun bisa saja koalisi ini meluaskan kerja samanya pada semua Pilkada yang tersisa.

[irp posts="3432" name="Lelah Mengambang Terus, Wajar Demokrat Merapat ke Pemerintah"]

Ibarat tiga anggota penyanyi "Trio Kwek Kwek" yang kompak menjadi satu suara, pertemuan Ketua Umum Koalisi Tiga Serangkai yang dilakukan di Kantor DPP PKS pada malam Natal 2017 kemarin diduga sebagai titik tumpunya.

Lagi-lagi, koalisi ini meski di dalam pandangan sejumlah pengamat dinilai masih prematur, tapi justru membuktikan kejelian dan kecerdasan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto, sebagai seorang kingmaker.

Pertemuan itu untuk bahas sejumlah masalah. “Ini kan sudah mendekati pendaftaran calon gubernur, kami harus selesaikan. Kami bisa kerja sama dengan PKS dan PAN,” kata Prabowo mengutip viva.co.id.

Ada beberapa daerah yang dibahas ketika itu, di antaranya seluruh Provinsi di pulau Jawa yang tersisa dan akan menggelar Pilkada 2018. Hal ini juga dibenarkan Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan dan PKS Sohibul Imam.

Alhasil, melansir pemberitaan beberapa media online yang ada, hingga pertemuan berakhir, "Trio Kwek Kwek" tersebut sudah menyepakati mengusung calon bersama di dua wilayah pulau Jawa: Jawa Barat dan Jawa Tengah.

“Sementara untuk Jawa Timur, kami belum (bersepakat), di-pending. In syaa Allah awal tahun baru kami akan punya kesimpulan terkait Jawa Timur,” jelas Ketua Umum DPP PKS Sohibul Iman.

Isyarat yang dimunculkan oleh tiga koalisi parpol ini tampaknya semakin jelas: bahwa koalisi permanen untuk Pilkada serentak 2018; dan persiapan menuju rangkaian Pemilu 2019. Jika benar Koalisi "Trio Kwek Kwek" ini terjadi, siapa akan jadi korbannya?

Demokrat bisa tersingkir

Salah satu poin pembahasan dan telah mencapai kesepakatan adalah Pilkada Jabar. Wait! Bukankah dalam Pilkada Jabar, PKS telah sepakat mengusung pasangan Deddy Mizwar (Demiz) dan Ahmad Syaikhu yang merupakan hasil inisiatif Demokrat?

Tunggu dulu! Jejak digital jelas-jelas mengatakan bahwa inisiasi ini belum final. Mengapa demikian? Karena, hingga tulisan ini dipublikasikan, surat rekomendasi dari DPP PKS sebagai finalisasi pasangan Demiz-Syaikhu belumlah terpublikasikan.

Baru Demokrat saja yang telah memberikan surat rekomendasi; itu pun setelah Demiz nyata-nyata menjadi anggota partai berlambang mercy tersebut. Jadi, boleh dikatakan, pasangan Demiz-Ahmad Syaikhu ini masih prematur.

[irp posts="1075" name="Cara Partai Demokrat Redam Kecurigaan terhadap PPP, PKB, dan PAN"]

Dengan kata lain, itu masih dalam bentuk inisiasi dan mungkin saja berubah seiring dengan semakin dimatangkannya Koalisi "Trio Kwek Kwek" ini. Jika demikian adanya, Demokrat terancam tidak bisa mengirimkan utusannya di dalam Pilkada Jabar 2018. Kursi mereka di DPRD Jawa Barat tidak mencukupi untuk mengusung calon sendiri.

Dalam kontestasi ini, Demokrat pun bisa tersingkir! Dilema ini yang nantinya akan dihadapi Demokrat dan mengharuskannya berkoalisi dengan partai politik lainnya yang mungkin saja telah memunculkan bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur, baik telah berpasangan maupun belum.

Jika ini yang terjadi, jago Demokrat: Demiz, bisa-bisa tidak berkompetisi pada Pilkada Jabar 2018. Banyak pihak pasti akan menuding ihwal betapa kerasnya Demiz menentang Meikarta sebagai penyebab utamanya.

Banyak pihak pasti akan menuding pula bahwa Grup Lippo di balik permainan Pilkada Jabar. Dan sebagainya. Dan sebagainya. Namun, banyak pihak lupa, pertarungan Pilkada Serentak 2018 adalah pemanasan Pemilu 2019.

Saling ganjal sejak dini demi kepentingan politik masing-masing tentulah menjadi hal yang halal untuk dilakukan. Agenda Ketua Umum DPP Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono untuk kepentingan memuluskan putera sulungnya.

Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung SBY yang diperkirakan akan ikut kontestasi dalam Pilpres 2019 mendatang itu agaknya semakin terjal; dan mulai terbaca oleh Prabowo, yang mungkin juga ikut kontestasi Pilpres tersebut.

Jika demikian adanya, wajar saja Prabowo berada di atas angin, sebab Koalisi "Trio Kwek Kwek" telah terbentuk sejak jauh-jauh hari. Sedangkan Demokrat barulah muncul belakangan ini dan mulai berani bermain sejak mengikrarkan diri akan berada di tengah-tengah: tidak pro-Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla atau beroposisi!

Bagaimana dengan Pilkada di pulau Jawa lainnya pada 2018 mendatang? Khusus untuk Jawa Tengah, calon gubernur Koalisi "Trio Kwek Kwek" ini sudah pasti Sudirman Said yang diinisiasi oleh Gerindra.

Bagaimana dengan calon wakilnya? Sebaiknya kita menunggu hasil rumusan Koalisi "Trio Kwek Kwek" pada beberapa hari mendatang! Terlebih, Demokrat belum memunculkan calon atau sikap untuk menghadapi Pilkada Provinsi ini.

Sementara di Jawa Timur, tampaknya Koalisi "Trio Kwek Kwek" ini akan mewujudkan Poros Tengah atau Poros Emas. Tidak mengekor pada dua pasangan calon yang sudah mengemuka saat ini. Siapa yang akan dirugikan? Lagi-lagi inisiasi Demokrat yang akan dirugikan!

Mengapa demikian? Jika memang benar yang muncul adalah pasangan Moreno Soeprapto dan Suyoto untuk Pilkada Jatim dari Koalisi "Trio Kwek Kwek" ini, pasangan calon Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elistianto Dardak yang paling terancam.

Sebab, kedua pasangan ini mempunyai segmen pasar yang sama: kalangan muda-mudi Jatim. Magnet Moreno dan ditunjang oleh keberhasilan Suyoto saat memimpin Bojonegoro pasti akan membuat para pemilih muda memiliki alternatif dan pandangan.

Magnet ini juga berlaku bagi mereka yang sudah bosan dengan pertarungan tanpa hentinya antara Khofifah dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul), yang memasuki “babak ketiga sejak Pilkada Jatim 2008.

Sementara bagi Khofifah, di atas kertas dia akan babak-belur. Magnet Emil Dardak yang diharapkan bisa menjangkau kalangan muda, belumlah terlihat dan kini harus berhadapan dengan saingan berat.

Apalagi ditunjang dengan nama Moreno yang telah menasional sebelum terjun ke dalam dunia politik dan berlatar belakang dari keluarga pengusaha nasional. Tentu saja ini akan membuat Khofifah harus lebih berpeluh-keringat.

Hal itu mengingat pertarungan di dalam tubuh NU sendiri telah membuatnya harus all-out bersaing dengan pasangan calon Gus Ipul-Abdullah Azwar Anas yang berlatar belakang organisasi induk yang sama.

Mesin Muslimat NU yang dikuasai Khofifah akan beradu dengan mesin ISNU dan GP ANSOR; juga Fatayat NU, seiring dengan ditunjuknya Ketua Tim Pemenangan pasangan calon Gus Ipul - Azwar Anas dari kalangan ini.

Dengan peta demikian, lagi-lagi isisiasi Demokrat yang terancam. Pasangan yang mereka munculkan ternyata mendapatkan perlawanan berat, terutama dengan munculnya pasangan calon baru hasil kreasi Koalisi Tiga Serangkai.

Bagaimanakah Demokrat harus bersikap? Ada baiknya Demokrat memulai inisiasi baru dengan mengevaluasi pasangan calon yang diusungnya. Titik lemah utama dari pasangan calon ini harus dimusnahkan. Artinya, Emil Dardak harus dieliminasi, sebab mempunyai kemungkinan terbesar tidak bisa mendongkrak pendulangan suara nantinya.

Di dalam pertarungan menghadapi Moreno saja, meski Emil memiliki isteri dari kalangan selebritis, Bupati Trenggalek ini akan kedodoran. Apalagi menghadapi Suyoto, kolega Bupati-nya yang terang-terang sudah menorehkan prestasi bagi Kabupaten Bojonegoro hingga pada tataran nasional.

Tentu saja akan lebih bijak bagi SBY untuk tidak sekadar mengeliminasi Emil Dardak semata, tetapi juga menyodorkan cawagub baru bagi Khofifah. Cawagub yang memiliki potensi untuk multi-sektoral dan menjadi magnet bagi para pemilik suara di Jatim.

Dari kalangan dunia pendidikan, misalnya. Atau dari kalangan lainnya yang masih belum tergarap dan terendus sebagai potensi massa saat ini. Jika hal ini bisa dilakukan, kejelian SBY akan berada sedikit di atas Prabowo untuk kesekian kalinya dalam sejarah politik Indonesia.

Ingat, jika meminjam istilah sepakbola, hingga peluit akhir dibunyikan, masih ada peluang untuk menjadi pemenang; pergantian pemain pun menjadi salah satu alternatif yang bisa dilakukan. Maukah Demokrat?!

***