Di Antara Dua Gus

Rabu, 27 Desember 2017 | 09:59 WIB
0
512
Di Antara Dua Gus

Suatu malam, di Tebuireng, berjarak dua meter dari makam Gus Dur (Abdurrahman Wahid) saya melihat lelaki ndut itu duduk di ubin marmer yang kinclong. Bersandar salah satu tiang ruangan yang dipakai para peziarah.

Apakah Gus Dur masih suka tetirah, ziarah ke makam-makam para leluhur? Entahlah. Saya tak punya kemampuan menangkap jawaban Gus Dur. Mungkin saja masih, seperti kata beberapa pengikutnya.

Tapi ada juga yang bilang, yang dulu sering diziarahi Gus Dur itu, kini lebih banyak melakukan kunjungan balasan.

Sekiranya demikian, tentu menenteramkan. Makanya ada yang mengusulkan, bukan lagi Wali Sanga yang menyangga Islam di tanah Jawa ini, melainkan Wali Sadasa. Bukan lagi sembilan wali melainkan 10. Satunya, Gus Dur itu tadi.

Saya juga tak tahu apa-apa, itu bagus atau tidak, sebagaimana pertanyaan perlu apa tidak. Bolah-boleh saja. Gitu saja kok repot.

Tapi mengenang kematian Gus Dur (30 Desember 2009), kita memang akan selalu tergetar. Tak ada pemimpin pemerintahan, atau negara, yang berani membela kaum minoritas dan mereka yang terjajah oleh sikap-sikap kelompok yang selalu menggunakan majorisme sebagai alat tawar kekuasaan.

Pemimpin sekarang hanya mengajak kita agar sing waras ngalah. Sing edan dilepas. Selebihnya, dengan baju toleransi, mengajak kita menahan diri. Tapi bagaimana kalau diri mereka tidak ditahan atau menahan?

Dalam pidato pada Haul Gus Dur yang ke-8, 22 Desember 2017, Gus Mus (Mustofa Bisri) sebagai sohibnya, sempat menyindir halus Kelompok Pro Monas 212. Apa sindirannya? Terlalu kecil Haul Gus Dur di Ciganjur, mestinya di Monas.

[irp posts="6658" name="Tak Hanya Ucapan Selamat", Islam Tebar Keselamatan dan Kedamaian"]

Tapi lantaran si empunya Monas masih puyeng soal tawaran Natal yang ditolak, makanya, dari sekian gubernur yang selalu datang dalam haul Gus Dur, baru kali ini tak sempat datang. Beraninya datang di kelompok 212, setelah bermesraan dengan Rizieq Shihab di Petamburan. Masih DPO-kah sang imam FPI, karena dugaan kasus chatting dengan Firza Husein itu? Menguapkah kasusnya?

Saya ingat ketika sowan ke pesantren Gus Mus di Rembang. Ia bertanya, dengan daya bahasa yang penuh pesona, dengan gaya bahasa lembut bertenaga; "Bagaimana mungkin orang Indonesia, lahir dan berumah di Indonesia, mau merusak rumahnya sendiri? Itu tidak mungkin."

Jadi, yang merusak rumah kita ini siapa Gus? Dua Gus itu menoleh berbarengan. Gayanya persis kalau keduanya sepakat nonton film ke bioskop, daripada ikut kuliah, waktu itu di Mesir.

***