Kopi Traktiran

Minggu, 24 Desember 2017 | 09:00 WIB
0
656
Kopi Traktiran

Malam hari langit begitu indah. Bintang-bintang berkelip. Bulan purnama yang bulat memancarkan sinarnya yang terang. Sesekali terdengar suara jangkrik. Suara burung malam dan kepakan sayap kelelawar menambah keramaian malam. Angin malam berhembus pelan dan tenang. Di balai bambu depan rumah, Sumijah, istri Maja, dan Soleh, anak Marja, duduk memandangi bulan dengan kegelisahan.

"Bapak kemana, Mak? Kok belum pulang," tanya soleh kepada ibunya, Sumijah," Soleh lapar, Mak."

"Sabar ya, Leh, sebentar lagi bapakmu pulang."

"Tapi ini sudah malam, Mak. Biasanya Bapak pulang sebelum isya,"

"Mungkin bapak mu masih memeras keringat untuk kita makan. Kita doakan saja biar bapak cepat pulang ya, Leh,"

Malam semakin larut. Angin malam semakin terasa dingin. Tetapi Marja masih belum juga pulang menemui anak dan istrinya. Sumijah dan Soleh diam termangu membisu menunggu kepulangan Marja. Anak dan ibu ini saling memandang, sesekali berpelukan untuk memecah rasa gelisah di hati mereka.

Pagi hari sebelumnya, Sumijah dan Marja hampir bertengkar. Sumijah mengeluh dan mengadu pada Marja. Perkara dapur rumah tangga.

"Pak, kita mau makan apa? Lihatlah, beras habis, Garam, gula juga habis. Aku tidak bisa menyuguhkanmu kopi dan Soleh butuh biaya sekolah. Uang yang kamu beri tidak cukup untuk sehari-hari, Pak."

"Mijah, Mijah, Mijah. Mulai lagi, mulai lagi. Sudah berkali-kali aku katakan jangan mengeluh terus."

"Pak, kita mau makan apa?" tanya Sumijah meneteskan air mata. Marja terdiam tak sanggup lagi untuk berkata-kata.

"Sudah, sudah. aku berangkat sekarang. Sebaiknya kamu Doakan aku saja."

Marja berangkat bekerja lebih pagi dari hari-hari biasanya. Jika biasanya ia berangkat pukul enam pagi, kali ini Marja berangkat setelah menunaikan ibadah salat subuh. Dinginnya udara pagi tidak mematahkan niat Marja untuk tetap berangkat.

Marja menghidupkan mesin bajaj berwarna oranye. Bajaj itulah yang menjadi teman Marja sehari-hari dalam mencari sesuap nasi. Dengan suaranya yang khas, bajaj itu melaju melewati gang-gang pemukiman penduduk tempat Marja tinggal.

Baru saja keluar rumah, Marja sudah mendapatkan penumpang untuk diantar ke pasar.Setelah sampai pasar, Marja kembali mendapatkan penumpang lainnya untuk diantar pulang dari pasar. Setelah mengantarkan penumpang itu, Marja memutar bajajnya menuju pangkalan bajaj tempat biasa ia mangkal. Belum sampai pangkalan, lagi-lagi bajajnya diberhentikan penumpang. Kali ini anak yang hendak berangkat sekolah. Tentu dengan sigap ia berhenti dan mengantarnya ke tempat tujuan.

Hari ini nampaknya Marja sedang beruntung berkat doa anak dan istrinya di rumah. Marja mendapatkan uang lebih banyak dari biasanya. Jika sehari-hari Marja mengantongi uang sebesar seratus ribu rupiah, kali ini Marja berhasil membawa pulang tiga ratus dua puluh ribu rupiah.

Matahari sore sudah hampir menghilang tak terlihat di antara gedung-gedung pencakar langit kota metropolitan. Lampu penerangan jalan yang berwarna kuning satu per satu mulai menyala. Bising suara kelakson kendaraan menderu di telinga. Di antara macetnya kendaraan yang melintas, Marja menelusuri jalan yang masih didandani demi rapihnya penampilan sang Ibu Kota.

Tujuan bajaj Marja hanya satu: Rumah. Sebuah kontrakan dua petak berwarna putih dengan ukuran enam kali tiga meter. Tempat di mana Marja, Sumijah dan Soleh berteduh, beristirahat, dan bersenda gurau untuk melepas lelah dari aktivitas di ibu Kota yang kata orang kejamnya melebihi ibu tiri.

Dalam perjalanan, tibalah Marja di perempatan jalan Ibu Kota. Marja berhenti sejenak, menunggu lampu lalu lintas. Tujuh puluh detik berlalu, lampu lalu lintas sudah berwarna hijau. Kendaraan lainnya ramai membunyikan kelakson. Marja yang berada paling depan segera melaju. Tanpa ragu ia menarik tuas gas secepat-cepatnya. Kendaraan lain pun yang berada di belakang turut melaju.

Di perempatan yang sama, dari arah yang berbeda. Seorang pengusaha yang mengendarai sebuah sedan mewah berwarna hitam, dengan seenak hati membunyikan kelakson mobilnya. Dengan mantap pengusaha itu menginjak pedal gas semakin dalam, guna memburu detik-detik lampu lalu lintas yang segera berwarna merah. Sedan mewah itu nekat menerobos lampu lalu lintas yang berubah menjadi warna merah. Melaju dengan cepat.

Kemudian, Bruaaakk...!!!

Tak bisa terhindarkan, bajaj yang Marja kendarai tertabrak sedan mewah itu. Terseret sampai sejauh dua puluh tiga meter. Terlempar lalu terguling dengan mudahnya bagaikan kaleng kerupuk. Pengendara-pengendara sepeda motor yang melihat kejadian kaget dan berteriak.

Beruntung, pengusaha yang mengemudikan sedan mewah itu selamat karena canggihnya sistem keselamatan dan keamanan pada mobil tersebut. Meskipun bagian luar mobil tampak penyok di beberapa sisi. Tapi nasib Marja berbeda, bajaj terbalik. Marja telempar keluar. Tergelatak di aspal tak sadarkan diri.

Nun jauh disana, fajar sudah menyingsing. Burung-burung berbunyi menyambut datangnya pagi. Semalaman Sumijah belum bisa tidur, hatinya semakin resah menunggu Marja yang tak kunjung datang. Soleh tidak mau berangkat sekolah karena ingin melihat bapaknya pulang lebih dahulu.

Tak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar.

“Bapak... Bapak... Bapak...“ Dengan sigap Soleh berteriak dan berlari keluar kamar menyambut seseorang di luar rumah. Akan tetapi, bukan seorang Marja yang mengetuk pintu itu. Seseorang berpakaian rapih. Mengajak Sumijah dan Soleh untuk ke suatu tempat. Dengan segera mereka berangkat.

Pavilun cempaka, sebuah ruangan di rumah sakit swasta kota Jakarta. Marja dirawat, kondisinya sudah sadarkan diri. Di atas tubuhnya, Sumijah dan Soleh menangis dan memeluk tubuh Marja. Marja tersenyum. Kemudian memberikan tas selempang yang ia kenakan saat menarik Bajaj.

"Bu, ini. Bapak dapat uang segini. Ibu pegang yah untuk kita makan"

Sumijah tak mampu berkata. Hanya air mata yang menetes lebih deras.

***

Siang ini Marja menemui saya. Menawari saya segelas kopi hitam di sebuah warung kopi pinggir jalan. Tidak jauh dari parkir mobil yang ia kendarai. Sebelum saya meminum kopi ini, ia menceritakan kisahnya itu yang terjadi beberapa bulan lalu.

"Loh, kok kamu sekarang bawa mobil, Ja? Mewah lagi"

Marja tersenyum. "Saya bekerja untuk pengusaha yang menabrak saya itu, Mas."

"Ooo kok bisa, Ja?"

"Setelah tragedi itu, ketika kondisi saya sudah membaik. Anak buah pengusaha yang menjemput Sumijah dan Soleh ke rumah sakit, ia datang kembali ke rumah. Dia diutus oleh pengusaha itu. Dia menanyakan kondisi saya kemudian saya ditawarkan sebuah pekerjan. Ya, pekerjaan ini. Sopir pribadi"

"Syukurlah, Ja. Kehidupanmu mulai membaik" Ujar saya sambil meminum kopi yang ia traktir.

***

(BERSAMBUNG)