Jika Presiden Joko Wiodo konsisten dengan janji-janji kampanyenya pada tahun 2014 lalu, di mana salah satunya melarang rangkap jabatan bagi para menterinya di partai politik, semestinya Airlangga Hartarto yang kini sudah menjadi Ketua Umum Partai Golkar harus segera diganti
Pada saat kampanye itu keinginan Jokowi ditentang oleh sejumlah elite partai politik pendukungnya, antara lain Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani. Saat itu Jokowi menegaskan berkomitmen dengan janjinya itu, sebab rangkap jabatan dinilai akan membuat kerja menteri menjadi tidak fokus.
"Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua," kata Jokowi saat itu.
Sebagaimana diketahui, Jokowi memilih 14 menteri dari partai politik sebagai menteri, 20 menteri lainnya berasal dari kalangan profesional. Ada 4 menteri dari PDI Perjuangan, 4 menteri dari PKB, 3 dari Nasional Demokrat, 2 dari Hanura, dan 1 dari PPP. Empat belas menteri telah menanggalkan jabatan mereka di partai politik masing-masing.
[irp posts="5091" name="Peraturan Jokowi soal Menteri Rangkap Jabatan, Bagaimana dengan Puan?"]
Sebagaimana diungkap Kompas.com, pada reshuffle kabinet jilid II, Juli 2016, Jokowi menunjuk Wiranto sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Saat itu, Wiranto masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Hanura. Tetapi tidak kemudian Wiranto melepas jabatannya di partai. Posisi Ketua Umum Hanura diambil alih oleh Oesman Sapta Odang.
Setelah terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar, kalau diminta mengundurkan diri secara sukarela, mana mau Airlangga Hartarto melakukannya. Hebat benar kalau dia mau mundur dengan sendiringa selaku menteri. Justru yang perlu ditunjukkan adalah sikap tegas Jokowi terhadap Airlangga. Jika diminta mundur tidak bisa, Jokowi lewat hak prerogatif yang dimilikinya bisa mengganti Airlangga kapan dia suka.
Ditanya media, Airlangga berkali-kali tidak menjawab tegas soal kemungkinannya mundur sebagai menteri di Kabinet Kerja. Alasannya tidak mau berandai-andai dan menyerahkan sepenuhnya jabatan sebagai menteri kepada Presiden Jokowi. "Tanya Presiden," kata Airlangga kepada wartawan.
Pun setali tiga uang dengan Jokowi. Meski Jokowi mengatakan bahwa Airlangga sudah meminta izin untuk maju sebagai Ketua Umum, namun saat ditanya soal posisi Airlangga di Kabinet Kerja, Jokowi juga tidak menjawab dengan tegas. "Yang mau ngerangkap itu siapa? Ngerangkap-ngerangkap," kata Jokowi di Lapangan Monas, Jakarta, Rabu 29 November 2017 sebagaimana dikutip media yang sama.
Jika dilihat dari peraturan manapun, memang tidak ada larangan menteri merangkap jabatan sebagai ketua umum partai politik dan sungsional lembaga negara sebagaimana pernah dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Saya tidak pernah mendengar dari beliau (Presiden Jokowi), tapi Zulkifli Hasan yang juga ketua partai (Partai Amanat Nasional) jadi ketua MPR diterima. Jadi saya pikir Presiden tidak pernah menyampaikan itu," kata JK di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin 16 Mei 2016 seperti dikutip Antara.
Saat itu Jusuf Kalla menjelaskan, hampir 75 persen dari ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Golkar adalah kepala daerah, baik gubernur maupun wali kota. Dengan demikian, jabatan rangkap dianggap sebagai hal yang biasa saja. "Bahkan mereka bangga kalau ketua partai punya posisi yang baik karena jadi dihargai dan punya wibawa yang baik," katanya.
Pernyataan JK itu berbeda dengan pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan yang juga politisi Partai Golkar Luhut Binsar Pandjaitan sebagaimana pernah diungkapkan lebih dari setahun yang lalu. Menurut dia, pada dasarnya Presiden akan menerima siapa saja ketua umum Partai Golkar yang terpilih, namun menurut dia Presiden tidak suka apabila ketua umum Golkar rangkap jabatan.
"Beliau tidak nyaman kalau ada yang rangkap-rangkap jabatan. Karena beliau di kabinet juga enggak mau ada rangkap-rangkap jabatan, walaupun ini bukan member kabinet," kata Luhut di Nusa Dua, Bali, Minggu 15 Mei 2016.
Meski tidak ada aturan yang mengekangnya bahwa menteri merangkap ketua umum partai, tetapi Joko Widodo selaku Presiden RI terikat etika saja. Pasalnya, ia pernah mengemukakan itu pada masa kampanyenya, sehingga akan dianggap melanggar etika kalau tidak dilaksanakannya. Janji adalah komitmen yang harus ditepati, sehingga wajar posisi Airlangga yang rangkap jabatan ini dipertanyakan.
Jika benar Presiden Joko Widodo memegang etika dan tidak melanggar komitmennya, maka siapa saja yang merasa dirinya mampu menjadi menteri perindustrian bersiap-siap diri saja.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews