Masih ingat absennya mantan Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat pada acara pelantikan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih beberapa waktu lalu?
Itu hanya sebuah episode awal ketidakdewasaan perilaku politik sebagai reaksi terhadap kemenangan pilihan Umat Islam di pemilihan gubernur Jakarta. Jadi perangai seperti apa yang diperlihatkan Ananda Sukarlan kemarin, bukan yang pertama dan mungkin bukan yang terakhir.
Setelah sikap Djarot, rangkaian perilaku memalukan lain menyusul. Misalnya beberapa pemilintir media terhadap ucapan Anies dan Sandi. Di antaranya, CNN Indonesia yang menulis berita Sandiaga menuduh pejalan kaki sebagai sumber kesemrawutan Tanah Abang, padahal apa yang disampaikan tidak begitu. Juga Beritasatu yang memuat pernyataan Sandiaga yang ingin agar trotoar mengakomodasi roda dua, ini juga menyimpang jauh dari wawancara aslinya.
[irp posts="5104" name="Elektabilitas Meroket, Anies Baswedan Punya Posisi Tawar Tinggi"]
Belum lagi kelakuan buzzer-buzzer yang diketahui sebagai pendukung Ahok, tidak kalah noraknya. Hal-hal kecil dinyinyiri yang pada akhirnya malah memperlihatkan kebodohan mereka sendiri. Seperti helm proyek yang dikenakan Anies Baswedan saat meninjau pengerjaan MRT, tertera label “Gubernur”. Hal remeh begitu membuat pihak yang kontra Anies Baswedan rewel. Padahal Presiden Jokowi pun diketahui pernah mengenakan helm proyek yang berlabel “Presiden”. Itu hanya satu contoh heboh, dan masih banyak lagi.
“Kelakuan kucing garong” juga mereka perlihatkan saat Anies Baswedan menghadiri pernikahan putri pak Jokowi kemarin ini. Para pendukung Ahok menyoraki Anies, lantas dibesar-besarkan oleh media.
Padahal, junjungan mereka pernah mendapat perlakuan yang lebih parah lagi. Pernah dilempari batu oleh massa, pernah diburu hingga si junjungan terpaksa menyelamatkan diri naik angkot, dll. Bedanya, Anies disoraki oleh pendukung lawan yang keki, sedangkan si junjungan diamuk massa karena kebijakannya yang menyengsarakan rakyat.
[irp posts="3948" name="Memahami Ananda Sukarlan dari Kacamata Orang Jawa"]
Kejadian yang terbaru, walk out-nya Ananda Sukarlan dan kawan-kawan saat Anies Baswedan memberi ceramah pada peringatan HUT Kanisius ke 90, semakin memperlihatkan darurat kedewasaan sikap politik sebagian masyarakat kita. Ananda Sukarlan beralasan walk out-nya karena Anies mendapatkan jabatan dengan cara-cara dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan ajaran Kanisius.
Pertanyaannya, bila yang memenangi Pilgub DKI kemarin adalah Agus Yudhoyono, apakah Ananda Sukarlan memberi penilaian yang sama? Jangan-jangan ia hanya berkenan bila pemenang Pilgub DKI itu hanya Ahok, meski dibayangi kasus pembagian sembako, video kampanye kontroversial, dll.
Kira-kira sampai kapan ketidakdewasaan ini diperlihatkan? Boleh saja mereka tak bisa berhenti mencintai Ahok, tapi bukan berarti gagal menerima kenyataan.
Berkahnya buat Anies
Tapi apakah pendukung Ahok itu tahu, bahwa sikap norak mereka malah bisa mengantarkan Anies Baswedan menjadi Presiden menggantikan Jokowi tahun 2019 besok? Nah lho!!
Karena masyarakat kita mudah simpati dengan pihak yang dizhalimi. Saat SBY dipecat oleh Megawati dari jabatan Menteri, masyarakat bersimpati dengan sang jenderal, dan jadilah ia memenangkan pilpres tahun 2004. Apakah pendukung Ahok ingin agar Anies juga begitu?
Beberapa kalangan pun ada yang menyebut keterpilihan Jokowi akibat masyarakat simpati kepadanya karena sering difitnah dan dihujat.
Saya yakin akan ada lagi kelakuan yang tidak-tidak dari kelompok yang kalah di Pilgub Jakarta kemarin. Saya sih inginnya Anies Baswedan komitmen sampai akhir jabatannya, jangan ikut-ikutan politisi karbitan kutu loncat. Tapi kalau terus dizolimi begitu, ya siap siap saja kembali melihat fenomena mantan menteri yang dipecat, menjadi Presiden.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews