Setidaknya, sebagai pasangan suami istri, kami (konon) mewakili empat perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Yang menjadi barometer akademis (mulanya), lalu alumni intelektual (pada akhirnya). Tentu mulanya juga, kami bangga bisa mejadi alumninya. Tapi akhir-akhir ini, kami lebih suka bila dianggap bukan alumni dari mana-mana.
Nah di sini, sebenarnya sering rancu membedakan alumni dan alumnus. Menurut sahibul fonetis: alumni itu bersifat jamak, sedangkan alumnus itu tunggal. Keduanya berasal dari bahasa Latin, arti katanya sebenarnya sama adalah anak susus (mungkin sepersusuan tepatnya) atau murid.
Lalu dalam KBBI, dipersempit pada orang yang tamat pada skala sekolah tinggi, di mana mungkin maknanya adalah akademi, institur atau universitas. Artinya yang tidak tamat, sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai alumni.
Entah kenapa sekarang anak SMP dan SMA juga sudah mendaku sebagai alumni? Ini menjadi semakin ngawur, bila ada sekelompok orang pernah kumpul di satu lapangan, lalu karena ingin bernostalgia mereka mengkalim diri sebagai alumni dari suatu event tertentu. Ini mungkin sama absurdnya ketika ada acara wisuda untuk anak TK dan SD.
[irp posts="5005" name="Reuni Akbar Aksi 212 Panggung Besar untuk Anies Baswedan"]
Tapi, OK-lah, toh sekarang lembaga pendidikan itu tidak sekedar bersifat edukatif tapi juga menonjol unsur entertain-nya. Karena itulah mudah dimengerti bila kurikulum juga mudah berubah-ubah, disesuaikan apa yang lagi tren berkembang, apa yang telah lalu dianggap sebagai barang basi yang perlu diganti.
Sejak media sosial, selama sepuluh tahun terakhir menjadikan manusia tidak lagi berjarak oleh ruang dan waktu, wadah alumni itu seolah menjadi memiliki makna yang lebih kuat, dan sekaligus lebih lebar dan longgar. Identitas seseorang itu menjadi sangat penting, bahkan bila tidak tercantum dalam wadah "alumni tertentu" menjadi suatu masalah baru dalam bersosialisasi.
Namun itu berlangsung lama, wadah-wadah alumni di medsos yang semula menjadi wadah reriungan, silaturahmi dan haha hihi, kemudian berubah menjadi ajang permusuhan dan caci maki, menjadi forum unjuk gigi dan mengklaim kebenaran masing-masing. Dan dalam konteks anak-anak sekolahan, wadah himpunan alumni menjadi ajang perebutan pengurus yang luar biasa.
Mulanya mungkin berawal dari geng angkatan, namun kemudian merembet menjadi kelompok politik yang sungguh sangat menyebalkan. Di dua tempat saya pernah kuliah, di IPB dan UI, perseteruan selalu runcing sepanjang waktu. Pun demikian di tempat istri saya ITB dan UGM. Bahkan berusaha menarik-narik pihak Rektorat sebagai payung hukum sebagai pihak yang paling legal. Mereka mengadakan musyarawah, tapi tak pernah berujung pada kata mufakat.
Ini sungguh luar biasa dagelan, wong orang mau haha hihi saja kok, sedemikian runcing memperjuangkan demokrasi. Sehingga sampai ada seorang alumnus (karena sifatnya pendapat pribadi, dan merasa suaranya penting) tega-teganya berkata: "Jangan bungkus pemaksaan kehendak dengan dalih Musyawarah. Serahkan saja ke pemilik suara untuk menilai".
Mereka lupa, yang hadir di munas-munas seperti itu tak lebih dari 0,005 persen pemilik suara. Sementara yang 99,995 peduli pun tidak! Dikenali atau disapa pun tidak! Diminta apalagi didengar suaranyapun tidak!
Realitas bahwa di Indonesia sedang terjadi "epidemi gila agama", menyebabkan himpunan alumni tak lebih tempat duduk baru yang diperebutkan. Bila masa kuliah, pada berebut tempat duduk di ruang kelas, mencari perhatian dosen, sekarang mereka berebut tempat duduk di ruang sosial, mencari perhatian publik.
Omong kosong baru, yang diperjuangkan dengan amat keras di 1-2 dua hari acara munas, tapi kemudian diterlantarkan dalam 2-3 tahun masa menjabatnya. Menjadi pengurus, utamanya Ketua Umum dan Sekjen adalah jabatan yang mungkin akan sangat berguna mengisi curriculum vitae untuk masuk di ruang politik lebih luas.
Meyakinkan ketua partai di tingkat pusat atau daerah, bahwa ia punya massa yang bisa diarah-arahkan. Yang dari rekan-rekan alumninya dapat dijadikan downline untuk sedemikian banyak kepentingan. Ironisnya, ini sangat kentara nyaris di semua perguruan tinggi negeri di Indonesia: IPB, UI, ITB, UGM tak jauh beda. Saya tidak tahu di PTN lain, karena tidak punya pacar di sana.
[irp posts="4696" name="Temu Kangen Alumi 212 Siap Putihkan Monas, Anies dan Rizieq Hadir?"]
Karena itu saya tidak melihat adanya Himpunan Alumni sebuah perguruan tinggi yang patut diteladani, yang membuat seorang alumnus-nya merasa tergerak untuk terikat dan tertarik untuk terlibat.
Sayup-sayup saya hanya mendengar, setiap kali ada reunian, penyelenggaraan acara-nya pun diserahkan ke EO yang sama sekali tidak memahami kultur suatu universitas, lebih buruk hanya mengenali suatu periode angkatan dari lagu-lagu pop yang pernah populer pada masanya.
Utuk saat ini himpunan alumni di Indonesia itu tak beda dengan ormas sektarian yang sekarang marak berkembang. Saya menuduh dengan serius, mereka ini tak lebih jadi anak cabangnya. Semua adalah vested interest sesaat semata, kalaupun ada yang berbicara di awal sebagai sangat ideal, itu hanya awal untuk jatuh jadi sangat tidak idealis.
Bagi saya (pribadi) himpunan alumni dan kemudian acara-acara reuni yang menyertainya adalah acara showbiz dan pameran berkala. Kalaupun ada kegiatan sosial (atau mengedepankan moral) hanya bersifat artifisial.
Saya heran kok bisa-bisanya ada yang beranggapan acara sejenis itu berhasil menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Mungkin kalau pinjam istilah Ahok: berhasil pemahaman nenek lu!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews