Banteng Tersinggung, "Duo Emil" Bakal Jadi Korban

Senin, 18 Desember 2017 | 19:45 WIB
0
490
Banteng Tersinggung, "Duo Emil" Bakal Jadi Korban

Dicabutnya dukungan Partai Golkar kepada Emil, panggilan akrab Ridwan Kamil, sebagai bakal calon Gubernur Jawa Barat, diyakini tidak lepas dari ketersinggungan PDIP. Kondisi yang sama akan dihadapi Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.

[irp posts="6186" name="Makna Kehadiran Presiden Jokowi di Munaslub Partai Golkar"]

Hal itu bakal terjadi jika bacagub Golkar tersebut tidak segera melepas Emil E. Dardak dari posisi bakal calon wakil Gubernur Jawa Timur yang mendampinginya. Bupati Trenggalek itu telah menyinggung PDIP, pengusung utama saat Pilkada Trenggalek 2015.

Tidak ada kawan atau lawan yang abadi, sebab yang abadi hanyalah kepentingan. Pemeo itu mungkin tergambarkan beberapa waktu belakangan ini jika menyikapi perkembangan politik yang terjadi di Indonesia, baik dalam skala besar maupun skala kecil.

Contoh paling nyata dalam konteks terkini adalah dicabutnya dukungan Partai Golkar kepada Ridwan Kamil alias Emil. Tentu saja ini menjadi pukulan telak bagi Partai Nasdem sebagai pengusung Emil pertama yang berharap Golkar tetap bersama Emil.

Seperti dilansir dari media online, saat ini beredar surat dari DPP Partai Golkar yang bersifat rahasia tentang Pencabutan Surat Pengesahan Pasangan Calon Kepala Daerah Provinsi Jawa Barat dengan nomor R-552/Golkar/XII/2017 di kalangan wartawan.

Surat tertanggal pada 17 Desember 2017 itu ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar: Airlangga Hartarto dan Idrus Marham, sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar pra Munaslub Golkar.

Secara umum, substansi dari isi surat tersebut menganulir Surat DPP Partai Golkar Nomor R-485/Golkar/XII/2017 pada 24 Oktober 2017 tentang Rekomendasi/Pengesahan Pasangan Calon Kepala Daerah Provinsi Jawa Barat atas nama Ridwan Kamil dan Daniel Mutaqien Syafiuddin.

Alasan utamanya, karena Ridwan Kamil tidak segera menetapkan Daniel Mutaqien sebagai bacawagubnya hingga pada batas waktu yang telah ditetapkan. Terkesan ujug-ujug memang. Namun, jika dicermati, indikasi masalah ini sudah muncul sebelumnya.

Beberapa hari sebelumnya, Ketua DPP Partai Golkar Happy Bone Zulkarnain sudah memberi isyarat bahwa calon kepala daerah yang sebelumnya diusung Golkar saat dipimpin oleh Setya Novanto akan dievaluasi ulang setelah Airlangga Hartarto terpilih.

Terutama calon Gubernur Jabar. Dengan berubahnya Ketum , “Ketum (yang baru) tentu akan punya pemikiran seperti itu, ya. Pak Airlangga itu memprioritaskan kader, lebih berorientasi pada kader, dan lebih berorientasi bagaimana memenangkan calon-calon kepala daerah yang diusung Golkar,” kata Happy Bone.

[irp posts="5238" name="Khofifah Terdesak Organ Internal NU, Emil Dardak Terancam Mangkrak"]

Tapi, apakah memang sesederhana itu? Rasanya memang tidak semudah itu. Pasti ada alasan-alasan lain yang melandasi sikap Golkar saat ini. Perlu diingat bahwa jauh sebelum keputusan Golkar tersebut dilakukan, sebuah kabar juga menyertai pasca-Ridwan Kamil mengantungi rekomendasi dari Nasdem dan Golkar ketika itu.

Emil, ketika itu jelas-jelas menolak mendaftar sebagai bacagub Jabar dari PDIP. Penolakan ini berujung pada sikap PDIP yang nyata-nyata tersinggung dan menimbulkan kemarahan. Sehingga, wajar saja jika PDIP melakukan sejumlah manuver terhadap Emil.

Salah satunya adalah melakukan koordinasi dengan Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi. Bahkan, Dedi Mulyadi pun kabarnya akhirnya mendaftar sebagai bacagub Jabar dari PDIP. Ditengarai, manuver ini untuk menutup, dan bahkan juga mungkin menjegal langkah Emil sebagai bacagub Jabar 2018.

Wajar saja jika timbul pemikiran demikian. Sebab, dengan jumlah kursi Golkar yang hanya 17 di DPRD Jabar, mengharuskan Partai Beringin itu berkoalisi untuk mengajukan calon gubernur sendiri. Lain halnya dengan PDIP yang bisa mengusung pasangan calon sendiri, karena memiliki jumlah kursi yang memenuhi syarat: 20 kursi DPRD Jabar. Sekarang, bayangkan jika kedua parpol ini berkoalisi.

Sebanyak 37 kursi DPRD Jabar sudah lebih dari cukup untuk mengajukan pasangan bacagub dan bacawagub Jabar. Dan, tampaknya langkah ini yang akan diambil Golkar nantinya akan tampak lebih realistis jika mengajukan jagonya sebatas sebagai bacawagub.

Kemungkinan besar bacawagub Jabar akan diberikan kepada Dedi Mulyadi. Dan, bacagub Jabar sudah pasti berada di tangan PDIP. Hal ini jauh akan lebih nyaman bagi Golkar dari ancaman serangan eksternal.

Ini mengingat, Golkar pasca-Setya Novanto dan di bawah kendali Airlangga Hartarto sudah mengisyaratkan lebih fokus pada pembenahan internal. Skenario ini akan semakin sempurna jika PPP, yang saat ini juga tengah galau jadi atau tidak mengusung Emil, ikut serta di dalam barisan ini.

“Saat ini, struktur PPP tingkat Provinsi dan Daerah Jabar juga telah menyuarakan agar DPP PPP mempertimbangkan kembali dukungan terhadap Emil," ungkap Sekretaris Jenderal DPP PPP Asrul Sani.

Secara otomatis, kemungkinan Emil untuk bisa maju sebagai bacagub Jabar akan mengecil. Sebab dengan mengandalkan parpol yang tersisa, tentunya jumlah kursinya tidak akan cukup. Polarisasi Pilkada Jabar akan semakin bias dibuatnya.

Sebab, bisa jadi parpol pendukung Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla lainnya akan membelot. Nasdem, Hanura, PAN, dan PKB tentu juga akan berpindah haluan dan mencari figur calon yang ada untuk ikut bertarung di dalam Pilkada Jabar.

PAN sendiri kemungkinan akan bergabung dengan Gerindra, dan PKS kabarnya, mengusung bacagub Jabar Mayjen (Purn) Sudrajat.

Jatim bernasib sama?

Dengan melihat realitas demikian, maka menjadi wajar pula kekhawatiran melanda Khofifah Indar Parawansa, bacagub Jatim 2018 yang diusung Partai Golkar. Sebab, diakui atau tidak, pemilihan Emil Dardak sebagai bacawagub Jatim untuk mendampinginya juga menimbulkan polemik dengan PDIP. Bahkan, sempat menjadi permasalahan besar hingga muncul istilah politik outsourcing.

Golkar di bawah kendali Airlangga Hartarto, tentu saja kebijakan mengusung pasangan calon ini pada Pilkada Jatim 2018 akan dievaluasi kembali. Menteri Perindustrian RI ini, pasti akan mengambil sikap tidak ingin membuka front dengan PDIP.

[caption id="attachment_6224" align="alignleft" width="543"] Emil Dardak[/caption]

Langkah yang dilakukan, ia pasti akan meminta Khofifah untuk mengubah bacawagubnya. Dengan kata lain, Khofifah harus melepas Emil Dardak jika ingin rekomendasi Golkar atas namanya tetap aman.

Langkah ini juga mungkin akan diikuti oleh parpol pendukung Pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla lainnya yang sudah berkoalisi untuk mengusung Khofifah sebagai bacagub Jatim 2018. Syarat inilah yang menjadi buah simalakama bagi Khofifah.

Karena Partai Demokrat yang menginisiasi pasangan calon ini belum tentu setuju dan bisa saja mengevaluasi kembali dukungannya terhadap Menteri Sosial RI itu. Ditambah lagi, belum dikantunginya izin dari Presiden Jokowi, Khofifah tentu akan semakin dilematis.

Maju sebagai bacagub tetap dengan pasangan calon yang sekarang ini, tentu akan beresiko tinggi: ditinggalkan parpol-parpol pengusungnya sejak dari awal (Golkar, Hanura, Nasdem, dan PPP).

Melepaskan Emil Dardak beresiko Khofifah bakal ditinggal Demokrat, namun parpol-parpol pendukung awalnya akan tetap bergabung; dan mendapatkan izin dari Presiden Jokowi yang tampaknya juga enggan berkonfrontasi dengan para pengurus DPP PDIP.

Mereka telah “melabeli” Emil Dardak sebagai pengkhianat. Sementara memilih urung maju Pilkada Jatim 2018, akan membuat para pendukung di akar rumput Khofifah kecewa berat. Tentu saja, Khofifah tidak mau mengecewakan pendukungnya ini.

Dus, Duo Emil dan konfrontasinya dengan PDIP memberikan pelajaran berharga bagi dunia politik dalam konteks kekinian, zaman Now. Isyaratnya jelas: jangan bermain api dengan mereka yang tengah berkuasa saat ini.

Jika masih nekad seperti yang dilakukan Duo Emil tersebut, siap-siaplah berpusing-pusing ria dibuatnya. Sekali lagi, politik di Indonesia tidak lebih dari hanya sekadar kekuasaan. Jangan sampai Banteng Kedaton semakin liar!

***