Imam Besar Umat Indonesia dan Hormat Jokowi kepada Guru

Senin, 4 Desember 2017 | 19:46 WIB
0
474
Imam Besar Umat Indonesia dan Hormat Jokowi kepada Guru

Pada tanggal 2 bulan 12, terjadi peristiwa menggetarkan dan mengharukan. Jokowi membungkukkan badan, hormat pada 30-an ribu guru, dosen, pengajar, yang berkumpul di Bekasi.

Jakarta mungkin terlalu sesak dan bising, maka dipilihlah Bekasi, untuk puncak peringatan Hari Guru Nasional dan ultah ke-72 PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).

Tanpa adanya guru, kata Jokowi, ia takkan jadi presiden. Moga Jokowi tak lupa, saya rakyat biasa dan bukan guru, juga menjadikannya Presiden, karena saya memilihnya dalam pilpres 2014. Sementara pesaingnya, diujung penghitungan suara, menarik diri alias kalah sebelum kalah yang sebenarnya.

Menurut Jokowi, kehadiran guru tak bisa digantikan robot pintar. Interaksi manusia dengan manusia akan membangun karakter manusia. Sama seperti sikapnya ketika Ahok dulu menghindari blusukan, dan membuat e-blusukan. Jokowi meyakini, blusukan secara real, ketemu manusia, itu penting.

Masalahnya, jika guru adalah ujung tombak (bagi lahirnya manusia Indonesia terdidik, yang harusnya tak mudah dibujuk politikus busuk berkedok agama), menurut Sri Mulyani anggaran pendidikan naik tapi kualitas turun. Di mana soalnya?

Guru juga manusia. Apalagi guru yang semula tak bercita-cita jadi guru (atau hanya karena tak diterima di universitas idaman, daripada ijazah dianggurin, mendingan diapelin). Kata guru kemudian sebagaimana status sosial atau profesi lainnya. Orientasinya bisa cem-macem.

Guru bisa digugu dan ditiru (dipercaya dan dicontoh)? Bisa. Yang baik tentu. Celakanya, guru yang buruk juga bisa dipercaya dan dicontoh. Apalagi tak sedikit guru yang tak bisa mendidik. Nah, coba ngomongin soal kualitas pendidikan, bukan hanya anggaran pendidikan seperti menteri-menterinya di masa lalu.

Maka, buat apa membuat Indonesia Mengajar, jika orientasinya hanya proyek ekonomi? Buat apa menyodorkan seseorang menjadi imam besar umat Indonesia, sementara nyalinya kecil. Jika tendensinya politik, dan apalagi cuma sekedar duit, maling ayam dan ayamnya pun akan ketawa bareng. Yang suka menyodor-nyodorkan nilai diri serta membanggakan diri sebagai guru dan imam, sejatinya tukang kompor bunuh diri massal.

Jika guru tak bisa menjadi guru, imam besar tak bisa menjadi imam kecil (apalagi besar), Indonesia hanya bisa berharap pada bangkitnya kesadaran pribadi, rakyat Indonesia pemilik kedaulatan itu. Rakyat yang berdaya, yang sadar bahwa mau guru kek, presiden kek, imam besar kek, jika mereka tak bekerja dengan tulus, hanya cari panggung dan duit, saatnya ditinggalkan. Otodidak, atau menjadi imam diri kita sendiri.

***