Pada tanggal 2 bulan 12, terjadi peristiwa menggetarkan dan mengharukan. Jokowi membungkukkan badan, hormat pada 30-an ribu guru, dosen, pengajar, yang berkumpul di Bekasi.
Jakarta mungkin terlalu sesak dan bising, maka dipilihlah Bekasi, untuk puncak peringatan Hari Guru Nasional dan ultah ke-72 PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).
Tanpa adanya guru, kata Jokowi, ia takkan jadi presiden. Moga Jokowi tak lupa, saya rakyat biasa dan bukan guru, juga menjadikannya Presiden, karena saya memilihnya dalam pilpres 2014. Sementara pesaingnya, diujung penghitungan suara, menarik diri alias kalah sebelum kalah yang sebenarnya.
Menurut Jokowi, kehadiran guru tak bisa digantikan robot pintar. Interaksi manusia dengan manusia akan membangun karakter manusia. Sama seperti sikapnya ketika Ahok dulu menghindari blusukan, dan membuat e-blusukan. Jokowi meyakini, blusukan secara real, ketemu manusia, itu penting.
Masalahnya, jika guru adalah ujung tombak (bagi lahirnya manusia Indonesia terdidik, yang harusnya tak mudah dibujuk politikus busuk berkedok agama), menurut Sri Mulyani anggaran pendidikan naik tapi kualitas turun. Di mana soalnya?
Guru juga manusia. Apalagi guru yang semula tak bercita-cita jadi guru (atau hanya karena tak diterima di universitas idaman, daripada ijazah dianggurin, mendingan diapelin). Kata guru kemudian sebagaimana status sosial atau profesi lainnya. Orientasinya bisa cem-macem.
Guru bisa digugu dan ditiru (dipercaya dan dicontoh)? Bisa. Yang baik tentu. Celakanya, guru yang buruk juga bisa dipercaya dan dicontoh. Apalagi tak sedikit guru yang tak bisa mendidik. Nah, coba ngomongin soal kualitas pendidikan, bukan hanya anggaran pendidikan seperti menteri-menterinya di masa lalu.
Maka, buat apa membuat Indonesia Mengajar, jika orientasinya hanya proyek ekonomi? Buat apa menyodorkan seseorang menjadi imam besar umat Indonesia, sementara nyalinya kecil. Jika tendensinya politik, dan apalagi cuma sekedar duit, maling ayam dan ayamnya pun akan ketawa bareng. Yang suka menyodor-nyodorkan nilai diri serta membanggakan diri sebagai guru dan imam, sejatinya tukang kompor bunuh diri massal.
Jika guru tak bisa menjadi guru, imam besar tak bisa menjadi imam kecil (apalagi besar), Indonesia hanya bisa berharap pada bangkitnya kesadaran pribadi, rakyat Indonesia pemilik kedaulatan itu. Rakyat yang berdaya, yang sadar bahwa mau guru kek, presiden kek, imam besar kek, jika mereka tak bekerja dengan tulus, hanya cari panggung dan duit, saatnya ditinggalkan. Otodidak, atau menjadi imam diri kita sendiri.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews