Stigma Baru Yang Disematkan kepada SBY; Politik Outsourcing!

Rabu, 29 November 2017 | 06:40 WIB
0
443
Stigma Baru Yang Disematkan kepada SBY; Politik Outsourcing!

Stigma atau "labeling" mengerikan sekaligus menggelikan itu diterakan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto kepada Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono; Politik Outsourcing!

Mengerikan, karena yang mendapat stigma itu adalah Presiden Ke-6 Republik Indonesia yang seharusnya berdiri di tempat terhormat. Tetapi karena sikapnya yang "turun derajat" menjadi sekadar politikus sebagaimana juga Megawati Soekarnoputri, maka serangan khas ala politikus tidak terhindarkan dan harus diterima dengan ikhlas.

Menggelikan, karena baru kali inilah istilah "Outsourcing" atau alih daya dari yang semula istilah tenaga kerja "naik derajat" menjadi istilah politik yang prestisius. Kamus politik harus segera mencatat istilah baru dalam dunia politik yang diperkenalkan Hasto Kristiyanto ini, yaitu "Politik Outsourcing".

Yang menjadi pokok persoalan adalah Emil Dardak. Dia adalah kader PDI Perjuangan yang menjadi bupati Trenggalek, sebuah provinsi di Jawa Timur. Saat menjadi "bupati terganteng" se-Indonesia dua tahun lalu itu, ia didorong PDI Perjuangan. Sudah seharusnya Emil berterima kasih kepada partai politik yang telah mengusungnya duduk di kursi empuk bupati.

Tetapi apa yang terjadi? Godaan, kalau tidak mau dikatakan serangan maut, datang dari Ketua Partai Demokrat Jawa Timur Soekarwo yang kini masih menjabat gubernur Jatim, yang membawa Emil Dardak bersama Khofifah Indar Parawansa ke Puri Cikeas. Di sanalah Khofifah dan Emil "dijodohkan" atas restu SBY, bahwa pasangan ini akan menghadapi pasangan Syaifullah Yusuf alias Gus Ipul yang berpasangan dengan kader PDI Perjuangan lainnya, Abdullah Azwar Anas.

[caption id="attachment_4813" align="alignright" width="471"] Hasto Kristiyanto (Foto: Sinar Harapan)[/caption]

Proses menelikung atau membajak kader dari partai lain inilah yang disebut Hasto sebagai "Politik Outsourcing" dan stigma ini jelas-jelas langsung ditempelkan ke SBY. Sontak, stigma yang satu ini menambah stigma lain-lainnya yang sudah kadung tertera di sosok SBY.

"Bagaimana Bapak Susilo Bambang Yudhoyono menerapkan politik outsourcing. Kami tidak terpancing, kami tetap setia pada kaderisasi karena itu menunjukkan track seorang pemimpin," kata Hasto seusai menghadiri rilis survei Poltracking di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Minggu 26 November 2017 sebagaimana ramai diberitakan media.

Urusan bajak-membajak atau "Politik Outsourcing" di dunia politik mau tidak mau berurusan dengan etika politik atau kasarnya etika berpolitik. Kalau sudah begini caranya dan itu sudah dianggap sebuah kelaziman, maka PDI Perjuangan pun bisa melakukan hal yang sama kepada kader partai lainnya, termasuk kepada Partai Demokrat.

[irp posts="4404" name="Khofifah Diundang SBY ke Cikeas, Akan Dijodohkan dengan Emil Dardak?"]

Padahal, sebagaimana dikemukakan Hasto kemudian, persoalan "sekadar" Emil Dardak tidak akan mengurangi niat PDI Perjuangan untuk membuka diri dan melatih kader-kader melalui jenjang karier politik. Maknanya, pengkaderan itu proses penting yang harus dilewati seorang politikus.

Bahwa Emil Dardak selaku kadernya sendiri tidak dilirik PDI Perjuangan untuk Pilgub Jatim 2018, Hasto beralasan Emil Dardak baru menjabat dua tahun sebagai bupati di Trenggalek dan belum menunjukkan kinerja memuaskan dalam mengelola reformasi birokrasi di daerahnya.

Hasto menganggap jabatan lain riskan untuk diambil sebuah partai yang mengedepankan kaderidasi seperti PDI Perjuangan. Sementara proses menunjuk seorang calon kepala daerah memerlukan pengalaman bukan sekadar lompat jabatan.

Meski secara sopan-santun ketimuran sudah dilakukan Emil dardak dengan mengontak dirinya sebelum memutuskan mendampingi Khofifah dan mendeklarasikan diri di Cikeas bersama SBY, namun, sanksi partai tetap diberikan terhadap suami artis sinetron Arumi Bachsin itu. Kasarnya, PDI Perjuangan langsung memecat Emil Dardak.

Emil sendiri menghormati keputusan PDI Perjuangan dengan kalimat politis, "Intinya kami harus saling menghormati apa yang menjadi pilihan masing-masing. Saya pun menghormati pilihan politik dan langkah yang dipilih oleh Sekjen (Hasto Kristiyanto)," kata Emil saat dihubungi sebuah media online, Jumat 24 November 2017.

[caption id="attachment_4814" align="alignleft" width="535"]

Roy Suryo (Foto: Kompasiana)[/caption]

Menanggapi stigma terbaru kepada SBY yaitu "Politik Outsourcing", Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Roy Suryo menjawab dengan senyuman (padahal di foto jelas tertawa ngakak), bahwa partainya memang bersikap realistis saat mengajukan calon kepala daerah pada Pilkada Serentak yang baru pertama kali dilakukan ini.

"Kami menjawab dengan senyuman saja, kami hormati statement dari Pak Hasto Sekjen PDIP. Yang jelas Partai Demokrat selama ini selalu mencari kader-kader terbaik dan kami realistis," kata Roy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 27 November 2017 sebagaimana diberitakan Kompas.com.

Pada pilkada, baik level kabupaten/kota maupun provinsi, kata Roy, pihaknya memprioritaskan kader Demokrat. Namun, jika kader tersebut tak memungkinkan untuk diusung Demokrat, maka partainya akan memilih figur lain. Hal itu diketahui berdasarkan survei dan aspirasi masyarakat. Untuk palagan Pilgub Jatim, Demokrat menjatuhkan pilihan pada pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak ini.

Sebenarnya kalau mau lebih realistis, seharusnya PDI Perjuangan membiarkan saja Emil Dardak "merumput" (istilah sepak bola) di partai lain, apalagi berada di terhormat karena menjadi calon wakil gubernur. Dengan demikian, PDI Perjuangan memiliki dua kadernya di Pilgub Jatim 2018 itu sehingga peluang memenangi perebutan Orang Nomor 1 dan nomor 2 di Jawa Timur itu lebih besar lagi.

Artinya, perhitungan politik itu tidak selamanya pragmatis dan praktis. Eeee... ada juga unsur egois.

***