Antara Mujahid dan Syuhada

Selasa, 28 November 2017 | 16:14 WIB
0
602
Antara Mujahid dan Syuhada

Pak kyai saya, Isni Wahyudi ini jarang sekali menulis panjang lebar. Selalu saja tulisannya, hanya sebuah wallpaper singkat sebagaimana gaya para intelektualis urban berpendapat. Yang mungkin, karena kurang waktu, langsung terbang dan mendarat pada kesimpulan, hingga yang repot "cantrik online"-nya seperti saya yang harus garuk-garuk kepala mennerjemahkan dan memahaminya.

Blio, sebagaimana juga saya merasa ambigu dan heran, karena terjadinya pembunuhan 235 orang pasca sholat Jumat di Sinai, Mesir, sangat senyap dari perhatian. Ternyata belakangan korbannya bertambah jadi 305 orang. Padahal ini adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat keji.

Bagaimana mungkin? Tak terbayangkan jamaah sholat yang tengah mendengarkan khotbah Jum’at itu mula-mula mengalami serangan bom bunuh diri, yang menewaskan puluhan orang di dalam masjid. Lalu saat jamaah berhamburan keluar masjid, di depan pintu keluar Masjid para teroris membantai mereka.

Dalam serangan itu tercatat 25 anak-anak dibantai. Para teroris itu pun secara "raja tega" mencegah bantuan ambulan yang datang ke lokasi dengan menyerang dan menembaki dan membakar ambulan beserta kru medis di lokasi. Selepas melakukan pembantain yang keji itu, mereka kabur ke wilayah gurun pasir Sinai. Pengecut macam mana lagi yang didustakannya?

Hal yang tak diungkap secara gamblang di banyak media massa adalah siapa subyek (pelaku) dan obyek (korban) dari peristiwa tersebut.

Baiklah, mula-mula yang harus dicatat adalah situs pemboman dan pembantaian itu adalah bangunan Masjid Al Rawda di Bir al-Abed, sebuah kota kecil berjarak 125 mil timur laut Kairo. Masjid tersebut dikenal sebagai tempat beribadah kelompok muslim Sufi di Sinai yang gemar melaksanakan ziarah kubur, melakukan korban binatang, yang mereka sebut sebagai perbuatan ‘dukun santet’, bid’ah dan mereka anggap bukan ajaran Islam.

Sebagaimana kita tahu, sufisme adalah pengembangan lebih lanjut dari ajaran tasawuf yang bagi sebagian golongan Islam sering dianggap kufur dan sesat.

Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi), dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Sedang bagi penikmatnya sendiri, sufisme dipahami sebagai ilmu untuk mengetahui cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun lahir dan batin. Yang tujuan akhirnya memperoleh kebahagian yang abadi.

Namun sebagian berpendapat bahwa sufisme adalah filosofi perennial yang eksis, bahkan sebelum kehadiran agama, yang kemudian ekspresi itu berkembang bersama agama Islam. Karena itulah ia sering dianggap bukan Islam, dan atas dasar inilah, para teroris itu beralasan untuk melakukan "pembersihan". Sejenis genocida kecil dan setempat!

Lalu siapa para pelakunya? Diperkirakan dari kelompook ISIS dan memiliki afiliasi kuat kepada Al Qaeda, Ikhwanul Muslimin, dan kaum radikal Hamas. Kelompok Islam garis keras ini tidak lagi memandang kalangan non-Islam sebagai musuh, namun juga bahkan para penganut sufi yang selalu taat kepada pemerintahan mana pun termasuk diktator, menjadi target mereka.

Kelompok teroris ini biasanya menargetkan gereja Koptik Mesir, tapi sekarang bahkan bergeser pada kelompok Islam lain yang bahkan paling menjauhi urusan "keduniawian". Tren ini terjadi sejak Mesir mengalami berbagai serangan teroris sejak El-Sisi mendepak Muhammed Mursi, presiden dari Ikhwanul Muslimin dan mencap organisasi ini sebagai kelompok teroris pada tahun 2013.

[irp posts="485" name="ISIS Redup, Jabhat al-Nusra Jadi Idola Baru Pengagum Teroris"]

Para teroris itu berasal dari kelompok militan terbesar yang ada di Sinai yaitu Ansar Baitul Maqdis yang berafiliasi pada al-Qaidah. Namun dinamika konflik di Suriah memicu perpecahan al-Qaidah di Suriah, dan Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan Kekhalifahan ISIS di Irak pada 2014. Ansar Baitul Maqdis ini kemudian berbaiat kepada ISIS. Mereka membawa panji hitam dan bergerak lebih agresif dalam menguasai kota dan desa di Sinai, manuver yang sama seperti ISIS di Suriah dan Irak.

Menurut pejabat Mesir, ISIS di Sinai dilengkapi persenjataan canggih. Di antaranya rudal anti-tank, senapan mesin, dan peledak. Diduga persenjataan ini diselundupkan dari Libya atau negara Timur Tengah lain yang tengah berkonflik. Artinya. ini persoalan multinasional, lintas negara, yang tentu juga diam-diam pasti sampai ke negara kita!

Gambaran sederhana di atas, memberi penjelasan kenapa peristiwa tragis tersebut tidak terlalu mendapat perhatian yang menarik keprihatinan banyak kelompok dan media Islam nasional. Bandingkan misalnya dengan Rohingnya yang bahkan sempat menggoyang pemerintahan nasional. Bagian paling menyedihkan, tentu saja bahwa hal seperti dianggap "terlalu biasa dan wajar terjadi".

[irp posts="2948" name="Reaksi Berlebih di Dalam Negeri Indonesia terhadap Krisis Rohingnya"]

Dan tentu saja, mengisyaratkan bahwa bahaya radikalisasi semakin dekat, di mana pun sekarang kita berada. Tidak hanya di Indonesia tempat kita tinggal. Tetapi nyaris di sekujur dunia, dimana orang Islam dan non-Islam itu ada dan sebenarnya bisa aman dan damai hidup berdampingan.

Lalu bagaimana menjelaskan fenomena di atas secara gampang dan menyenangkan?

Pada bagian inilah apa yang ditulis Pak kyai saya itu sedemikian mudah menyederhanakannya: Mereka yang melakukan pembantaian itu akan menyebut dirinya Mujahid, orang yang melakukan jihad. Sedangkan korbannya, akan dianggap sebagai para syuhada adalah mereka yang meninggal ketika berjuang di jalan Allah membela kebenaran atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran.

Bagi keduanya, ganjarannya adalah masuk surga dan tentu saja diganjar 72 bidadari.

Lalu apa masalahnya?

***