Dari berbagai berita tentang Pilkada Serentak tahun depan, yang segera paling tampak adalah ketakutan yang nyata dari 'para'parpol itu. Ketakutan pada kekalahan.
Dari DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, semuanya hanya pameran bagaimana parpol telah gagal menjalankan peran politiknya, tetapi tak mau menyadari hal itu. Peran politik hanya dimaknai dalam pengertian prosedural formal, bukan dalam pengertian substansial atau eksistensial keberadaan partai.
Beruntung DIY tak ikutan Pilkada, kecuali untuk Walikota dan Bupati. Bukannya tanpa Pemilu tidak demokratis? Demokrasi macam apa yang hendak dibanggakan? Beberapa tahun setelah dilantik sebagai raja, Sri Sultan Hamengku Buwana IX pada tahun 1941 membentuk Dewan Desa, sebagai perwakilan rakyat. Anggotanya, adalah usulan (dengan sendirinya melalui mekanisme pilihan) yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
Jika pimpinan masyarakat, atau pemimpin rakyat, mampu melaksanakan tugas sosial-politiknya dengan baik, yang berujung pada kesejahteraan warganya, apalagi yang hendak dicari? Sementara dengan sistem yang dikata adil, seringkali ujungnya justeru berbalikan arah. Lebih karena sistem kepartaian kita, juga sistem demokrasinya, sarat dengan permainan para elitenya belaka.
Siapa yang sibuk dengan Pilkada Jabar, Jateng dan Jatim? Juga DKI? Para atasan partai, kaum oligarkis dengan para calo dan cantolan donasi mereka.
Maka betapa tak mudah mereka menentukan siapa calonnya. Karena partai bukan mekanisme menggodog kader, melainkan hanya usaha papan nama untuk legitimasi yang berujung pada transaksi ekonomi, bukan negosiasi politik.
[irp posts="3032" name="Golkar Jatim Selangkah di Depan Dibanding Partai Lain. Apa Indikatornya?"]
Mengapa Golkar memilih Ridwan Kamil, dan bukan Dedi Mulyadi yang notabene kader berdarahnya? Mengapa Kofifah Indar Parawangsa masih juga ditarik-tarik untuk bertarung lagi melawan Syaifullah Yusuf? Hanyalah contoh kecil, bagaimana partai tak pernah menunjukkan kinerja kepartaian.
Tapi kalau orang partai tak suka dibilang bodoh, apalagi gagal, bisa jadi mungkin memang tidak bodoh, melainkan culas. Berpolitik hanya untuk menaikkan kesejahteraan diri-sendiri, keluarga, sanak-famili, atau kelompoknya belaka. Memang masih harus nunggu berapa tahun lagi, partai politik bisa diharap?
Akan lama, sekiranya rakyat masih suka-rela dikibuli. Tapi tidak terlibat dalam demokrasi, juga hanya membuat penjahat lebih leluasa melenggang kangkung. Contohnya, apa yang dialami Setya Novanto, yang mahasiswa dan buruh paling militanpun tidak mendemonya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews