Sebuah pertanyaan yang mengusik publik, khususnya DKI Jakarta adalah kenapa sampai hari ini janji paling sederhana dari pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur untuk mengunjungi Ahok di Rutan Kelapa Dua tak kunjung ditepati. Kalau alasannya sibuk, mana ada Gubernur yang banyak waktu luang.
Sekelas pejabat RT dan preman jalanan saja sibuknya setengah mati, apalagi sekelas mereka. Pak RT ini tidak sekedar ngurusi cekcok antartetangga, banjir yang datang kembali, sehingga mereka saat ini "diperbolehkan" kembali menarik iuran dari warga untuk sekedar membersihkan got.
Jakarta ini memang luar biasa. pengorbanan warganya, asal gabanernya seiman, apapun perubahan kebijakannya akan dituruti. Bahkan apabila berbagai subsidi kesejahteraan sosial itu dicabut, dan dialihkan untuk mendukung kinerja pasangan pemimpin mereka pasti mereka akan rela. Mereka cermin warga yang baik, yang kesejahteraannya sudah cukup diwakili oleh gaya hidup pemimpinnya. Sungguh warga yang terpuji, tak ada bandingnya.
Lalu apa alasannya mereka tak segera merealisasikan kunjungan tersebut. Ternyata masalahnya super sepele: menurut survei yang justru mereka miliki, dan tentu saja mereka harus percaya, sekalipun Ahok dinyatakan telah "kalah secara demokratis" (pret!) dan Ahok telah dipenjara, ternyata rating di media, khususnya di media sosial Ahok masih jauh lebih tinggi daripada keduanya.
[irp posts="2254" name="Isu Makar Menyatu Dengan Gerakan Anti Ahok"]
How come, bagaimana bisa? Bisa, karena satu hal penting yang kadang dianggap tidak penting. Kelompok pendukung Ahok, secara perlahan mulai menyadari untuk tidak lagi menyebut nama Si Mr. AB dan Si Mrs. SU (salah ding ya). Mereka pakai banyak sekali inisial, umumnya Gabener dan Wagebener. Tapi banyak sekali yang menggunakan cara lucu-lucu, seperti Thompson dan Thomson (dengan dan tanpa "s").
Cara kreatif lain adalah penyebutan Kelompok JKT58 dan antagonisnya JKT42. Sejujurnya saya selalu nyengir setiap kali mereka bilang kedua angka itu disebut, bagi saya itu ajaib betul kalau tahu realitas sesungguhnya. Dan ini mulai efektif, mengurangi popularitas. Tetap bisa senang-senang ngrasani (atau bahasa kerennya mengkritisi, tanpa berdampak meningkatkan popularitas keduanya).
Apalagi, keduanya juga mengalami banyak kesialan dalam masa awal "pemanasan" mereka sebagai pejabat publik. Penggunaan istilah pribumi, dapat kecaman yang sangat luar biasa bukan saja di dalam tapi terutama di luar negeri. Jangan lupa saat ini, Jakarta adalah satu kota yang dianggap paling intoleran di Asia.
Jangan pernah bangga lagi, ketika Anda jalan-jalan di Eropa, lalu ditanya: di mana Anda tinggal? Jakarta? Oh kota yang jadi tidak toleran itu ya? Sakit hati, ya harus tidak. Bukankah harus dijawab juga dengan santai, tapi gabener kami sekarang seiman kok!
Kota kami sekarang sudah menutup (sementara) pusat maksiat Alexis, bukankah itu jalan menuju sebuah kota yang bersih. Juga 'kan kita kembali toleran terhadap pedagang kecil, buktinya Tanah Abang sekarang ramai lagi. Kami juga ternyata lebih suka menjadi kota yang berair, nyatanya kami merindukan banjir yang dalam tiga tahun terakhir tak lagi mengunjungi kami.
Bahkan jawaban yang paling menyenangkan di hari-hari ini setelah RAPBD ditetapkan, sekarang warga jakarta makin vegan (untuk menyebut diri sebagai vegetarian), kami tak lagi makan daging. Asyik, asyik saja kan!
Sedang dari penjara muncul kabar lain yang cukup membuat prihatin. Seorang teman yang baru mengunjunginya, mengabarkan bahwa Ahok positif, sekali lagi positif, tidak akan lagi berkiprah di dunia politik-praktis!
[irp posts="2116" name="Elektabilitas Ahok-Djarot Jeblok, Masih Perlukah Demo Yang Menohok?"]
Tentu ini bukan kabar yang sama sekali baru. Tapi menjadi semakin kuat, karena dua orang yang paling dicintainyalah yang memberi warning dan pilihan itu. Siapa lagi kalau bukan istrinya Veronika dan anak laki-lakinya Nicholas.
Konon keduanya, walau tampak tegar tapi kita juga tidak bisa merasakan betapa hancurnya perasaan hati keduanya. Mereka memberi pilihan: terus berpolitik atau pilih kami? Tentu ini pilihan yang sulit bagi seorang Kristen yang taat seperti Ahok!
Dalam banyak kasus perjuangan politik, bagi mereka yang mengalami hal yang sama: seperti Soekarno tentu saja sebagai contoh paling fenomenalnya. Ia akan mudah saja mencari wanita lain. Kalimat paling fenomenal yang paling saya suka dari perpisahan antara Soekarno dan Inggit Ganarsih adalah setelah kebebasannya dari penjara dan ia memutuskan menceraikan istrinya itu. "Kuantar kau ke pintu gerbang", dan selalu saja lanjutnya tak pernah ditulis: "Tapi kau tak akan kuajak masuk".
[irp posts="2046" name="Jin Berpikir Maka Saya Berpikir, Inilah Beda Bang Ali dengan Ahok"]
Saya masih berpikir ini hanya melankoli istri dan anaknya, karena hal itu akan lenyap bila kelak Ahok keluar dari penjara dan dielu-elukan orang-orang yang merindukannya. Saya yakin moment itu akan membuat kita merinding. Bukan takut seolah melihat hantu, tetapi takjub melihat betapa besar pengorbanan dan rasa cinta publik kepada Ahoknya!
Tapinya, gak usah ngayal dulu, itu hanya harapan saya pribadi. Tentu Ahok dan keluarganya yang lebih berhak memutuskan!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews