"Ajegileee...." Jakarta Ternyata Kota Paling Intoleran!

Sabtu, 18 November 2017 | 07:57 WIB
0
531
"Ajegileee...." Jakarta Ternyata Kota Paling Intoleran!

Jakarta, Banda Aceh dan Bogor menjadi kota-kota di Indonesia yang paling intoleran. Berkebalikan dengan ketiga kota itu, Manado di Sulawesi Utara menjadi kota yang paling toleran.

Demikian laporan SETARA Insitute bekerjasama dengan Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila menyampaikan laporan Indeks Kota Toleran Tahun 2017 di Bakoel Coffe, Cikini, Menteng, Jakarta, beberapa hari lalu dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional yang diperingati setiap tanggal 16 November.

SETARA Institute melakukan kajian dan indexing terhadap 94 kota di Indonesia dalam hal isu promosi dan praktiktoleransi. Tujuan pengindeksan ini antara lain untuk mempromosikan kota-kota yang dianggap berhasil membangun dan mengembangkan toleransi di wilayahnya masing-masing. Sehingga, ia dapat menjadi pemicu bagi kota-kota lain untuk turut bergegas mengikuti, membangun dan mengembangkan toleransi di wilayahnya.

Peneliti SETARA Halili mengatakan, laporan tentang Indeks Kota Toleran tahun 2017 adalah laporan kedua SETARA Institute yang disusun dengan mengutamakan praktik-praktik toleransi terbaik kota-kota di Indonesia.

“Caranya memeriksa seberapa besar kebebasan beragama/berkeyakinan dijamin dan dilindungi melalui regulasi dan tindakan—di satu sisi—serta menyandingkannya dengan realitas perilaku sosial kemasyarakatan dalam tata kelola keberagaman kota, khususnya dalam isu agama/keyakinan,” kata Halili.

Mengukur toleran atau tidak

Secara operasional, SETARA Institute menurunkan konsep toleransi pada beberapa variabel sistemik di kota yang mempengaruhi perilaku sosial antar identitas dan entitas warga kota, yaitu meliputi:

Kebijakan-kebijakan pemerintah kota, tindakan-tindakan aparatur pemerintah kota, perilaku antar entitas di kota—warga dengan warga, pemerintah dengan warga, dan relasi-relasi dalam heterogenitas demografis warga kota.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan Kota Toleran  dalam studi indexing SETARA adalah kota yang memiliki beberapa atribut berikut.

1) Pemerintah kota tersebut memiliki regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, baik dalam bentuk perencanaan maupun pelaksanaan.

2) Pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota tersebut kondusif bagi praktik dan promosi toleransi.

3) Di kota tersebut, tingkat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan rendah atau tidak ada sama sekali.

4) Kota tersebut menunjukkan upaya yang cukup dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya.

[irp posts="3361" name="Efek Kebablasan Julukan RI-3 untuk Gubernur DKI Jakarta"]

SETARA melaporkan bahwa pengukuran toleransi sudah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga studi di dunia, baik yang berfokus pada toleransi, kebebasan beragama/berkeyakinan, maupun yang mengukur toleransi sebagai bagian dari prinsip yang melekat pada studi demokrasi.

“Beberapa di antaranya adalah Freedom House (Amerika), PEW Forum, dan Religous Freedom Report Kementerian Luar Negeri Amerika,” Kata Direktur Riset SETARA, Ismail Hasani.

Bagaiman dengan Indonesia?

Menurut SETARA, Indonesia sudah beberapa tahun terakhir sudah menyusun Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) oleh Bappena. “IDI memasukkan kebebasan beragama sebagai variabel/ indikator pengukuran indeks,” kata Ismail.

Dari 4 variabel kebebasan sipil dalam IDI misalnya, kebebasan beragama/berkeyakinan diturunkan menjadi 3 indikator: aturan tertulis, tindakan pejabat pemerintah, dan ancaman kekerasan masyarakat.

Secara lebih spesifik, Brian J. Grim dan Roger Finke (2006) menyusun 3 indikator utama untuk mengukur tingkat kebebasan beragama/derajat toleransi sebuah negara.

Pertama, favoritisme atau pengistimewaan pemerintah terhadap kelompok-kelompok agama tertentu. Kedua, peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama. Ketiga, regulasi sosial yang membatasi kebebasan beragama. Variabel yang dipopulerkan Grim dan Finke ini juga diadopsi oleh Bappenas dan banyak lembaga studi lain.

Studi STERA pada akhirnya menetapkan 4 (empat) parameter sebagai alat ukur dengan mengadopsi kerangka pengukuran yang diperkenalkan oleh Grim dan Finke, yaitu:

 

 

  • Regulasi Pemerintah Kota [Indikator: 1) RPJMD dan 2) kebijakan diskriminatif],

 

 

  • Tindakan Pemerintah [Indikator: 3) Pernyataan dan 4) Tindakan terkait peristiwa],

 

 

  • Regulasi Sosial [Indikator: 5) Peristiwa Pelanggaran],

 

 

  • Demografi Agama [Indikator: 6) Komposisi penduduk berdasarkan agama]

 

 

Sumber data penelitian untuk mengukur indikator-indikator di atas diperoleh dari dokumen resmi pemerintah kota, Biro Pusat Statistik (BPS), Komnas Perempuan, SETARA Institute, dan referensi media terpilih.

Data tersebut dalam bentuk:

 

 

  • RPJMD Kota.

 

 

  • Peraturan Daerah/Kebijakan Kota Lainnya.

 

 

  • Tindakan Nyata Pemerintah Kota.

 

 

  • Pernyataan Pemerintah.

 

 

  • Peristiwa Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan.

 

 

  • Demografi Penduduk Berdasarkan Agama 2010.

 

 

Scoring dalam studi ini menggunakan skala Likert, dengan rentang nilai 1-7, yang menggambarkan rentang gradatif dari kualitas buruk ke baik.

Artinya, 1 merupakan scoring untuk situasi paling buruk pada masing-masing indikator untuk mewujudkan kota toleran, sedangkan 7 adalah scoring untuk situasi paling baik pada masing-masing indikator untuk mewujudkan kota toleran di kota-kota dimaksud.

[irp posts="3296" name="Bagaimana Seharusnya Menyambut Gubernur Baru Jakarta?"]

Dalam hal pembobotan, dengan mempertimbangkan perbedaan tingkat pengaruh masing-masing indikator pengukuran terhadap situasi faktual toleransi di kota, SETARA Institute melakukan pembobotan dengan persentase yang berbeda terhadap skor akhir.

Kombinasi pembobotan tersebut menghasilkan persentase akhir pengukuran sebagai berikut: 1) RPJMD (10%), 2) Kebijakan Diskriminatif [25%], 3) Pernyataan [12%], 4) Tindakan Nyata [18%], 5) Peristiwa [25%], 6) Komposisi penduduk berdasarkan agama [10%].

Untuk menjamin validitas data hasil scoring, studi ini melakukan tiga teknik sekaligus;

1) Triangulasi. Teknik triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda. Triangulasi sumber dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh dari scoring dengan wawancara para ahli serta paper dengan paper (termasuk dalam kategori ini pengujian derajat kepercayaan melalui pembandingan dan penelusuran sumber-sumber online).

2) Experts meeting atau pertemuan para ahli untuk mengkonfirmasi data sementara hasil scoring.

3) Self assessment, yaitu dengan memberikan ruang kepada pemerintah-pemerintah kota untuk memberikan informasi mengenai parameter-parameter yang digunakan dalam studi IKT ini, kemudian informasi itu digunakan untuk mengonfirmasi derajat kepercayaan data hasil scoring.

Baca Kota Toleran Tertinggi dan Terendahnya

Dari studi Indeks Kota Toleran tahun 2017 dapat diambil beberapa simpulan berikut:

Pertama, pada tahun 2017 ini terdapat 10 kota dengan skor toleransi tertinggi, yaitu:

1) Manado,

2) Pematang siantar,

3) Salatiga,

4) Singkawang,

5) Tual,

6) Binjai,

7) Kotamobagu,

8) Palu,

9) Tebing Tinggi,

10) Surakarta.

 Kedua, pada tahun yang sama, di sisi lain, terdapat 10 kota dengan skor toleransi terendah, yaitu:

1) DKI Jakarta,

2) Banda Aceh,

3) Bogor,

4) Cilegon,

5) Depok,

6) Yogyakarta,

7) Banjarmasin,

8) Makassar,

9) Padang,

10) Mataram.

Ketiga, dibandingkan dengan data Indeks Kota Toleran Tahun 2015, tidak terjadi perubahan yang signifikan pada kelompok kota dengan skor tertinggi.

Sepuluh kota sebagaimana pada tabel 2 di atas sesungguhnya merupakan kota-kota yang pada tahun sebelumnya berada pada kluster 1 kota-kota dengan skor toleransi tinggi.

 Keempat, sebaliknya, disandingkan dengan data IKT tahun 2015, terdapat perubahan komposisi signifikan pada data 10 kota dengan indeks toleransi terendah pada tahun 2017. Perubahan sangat signifikan terjadi pada DKI Jakarta dan Bekasi. DKI turun dari peringkat 65 menjadi peringkat ke 94 (skor toleransi terendah).Sedangkan Bekasi melompat dari peringkat kedua terendah pada 2015 menjadi 53 pada tahun 2017.

[irp posts="2336" name="Jakarta, Rumah Tangga yang Terlalu Ribut"]

Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA Institutemenyampaikan dua rekomendasi :

Pertama, Presiden RI hendaknya mendorong agar Pemerintah Kota di seluruh Indonesia menjadi teladan dan semacam “pilot project” dalam implementasi Pancasila dan UUD NRI 1945 serta memiliki kerangka kerja dan standar kebijakan yang kondusif bagi tumbuh dan terbinanya toleransi, mengingat kota memiliki peran inisial dalam menjadi teladan bagi tata kelola masyarakat dan pembangunan dalam iklim kebinekaan yang pada umumnya tinggi.

Kedua,  Pemerintah Kota, khususnya Walikota, hendaknya membangun dan membina toleransi di wilayahnya dengan cara memastikan demografi penduduk yang heterogen menjadi arena bagi peaceful co-existence, mengambil kebijakan-kebijakan berbasis equal treatment serta bertindak aktif dalam menghapus kebijakan-kebijakan diskriminatif yang ada di kotanya. Mencegah dan menegakkan hukum atas pelanggaran hak-hak warga negara untuk beragama/berkeyakinan secara merdeka, serta mengambil standing position yang progresif untuk menjamin situasi kondusif bagi toleransi dan non diskriminasi sebagai prasyarat terwujudnya kedamaian dan kerukunan di kota-kota tersebut.

Sudah tahu mana kota yang mendapatkan nilai tertinggi dan terendah dalam kategori Indeks Toleran 'kan? ingat, bahwa menjaga toleransi itu penting.

***