Takut Membenci Koruptor

Kamis, 16 November 2017 | 09:47 WIB
0
474
Takut Membenci Koruptor

Ketika saya mem-posting (menayangkan) poster lomba meme denga maksud merespons reaksi Setya Novanto dan terutama lawyer-nya, tak ada yang menyambut. Dan sampai kini, hampir sebulan, tak ada yang menyatakan ikut, apalagi mengirimkan karya memenya!

Ada dua kemungkinan, lomba itu dianggap iseng atau hoax. Atau, takut akan risiko hukumnya, entah pasal pencemaran nama baik atau Undang-undang ITE. Jika dugaan kedua yang benar, maka menanglah Setya Novanto dan lawyer-nya itu, menggertak kejujuran kita dalam menyuarakan pendapat.

 

Tentu saja menyedihkan, jika itu benar. Hukum memang benar-benar menakutkan. Bahkan kini pun, ketika pasal dalam UUMD3 dijungkirbalikkan oleh lawyer Setnov, demikian ia biasa disebut, tentang hak imunitas anggota DPR dan harus ada izin Presiden untuk memanggil anggota DPR (entah itu Setnov atau siapapun, yang terkait tindak pidana khusus), seolah tak ada implikasinya, baik etika professional maupun secara moral.

[irp posts="4080" name="Setya Novanto Buron!"]

Orang bisa ngomong atas nama hukum, tapi senyampang itu hukum diinjak-injak. Benar kata Fahri Hamzah dan Fadli Zon (kali ini, hiks), bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Meski, omongan keduanya tentu bukan dalam konteks ini. Edan poh! Waktu itu mereka ngomong untuk kasus lain, yang biasanya mendelegitimasi pemerintahan Presiden Jokowi.

Setelah ditersangkakan untuk kedua kali, kembali Setnov menjalankan aksi perlawanan, dengan berbagai cara. Bahkan, melaporkan dua orang pimpinan KPK ke Bareskrim. Dan ketika Bareskrim memproses, tiba-tiba ada surat rahasia (SPDP) yang bisa jatuh ke tangan pengacara Setnov, sementara Kapolri (sebagai atasan Kabareskrim) mengaku tidak tahu-menahu.

Betapa hebatnya Setnov ini, bahkan bisa membungkam keberanian rakyat berkomentar secara terbuka (karena takut terkena Undang-undang ITE. Memang dahsyat undang-undang ini, yang dengan dalih pencemaran nama baik, seseorang yang tak punya nama baik pun, bisa memenjarakan orang lain).

Apakah hukum itu sebenarnya? Dalam keputusasaan kita, hukum hanyalah omong kosong, atau setidaknya dalih untuk berkilah dari hukum itu sendiri.

Puluhan universitas punya fakultas hukum, dan melahirkan banyak sarjana hukum. Tapi di persidangan (apalagi kasus korupsi) kita sering melihat ilmu tentang hukum lebih banyak untuk memain-mainkan pasal demi kepentingan sendiri. Tak ada azas keadilan di sana, seolah saudara gelap dari hukum itu.

[irp posts="3744" name="Meme Hilang Digertak Setnov, Medsos Pun Senyap"]

Meski KPK yang lamban dalam bekerja juga harus dikritik, dan terlalu seringnya show of force atau berpose di media (terutama ketua-ketuanya, yang kayaknya terlambat terkenal itu), lembaga antikorupsi ini masih tetap penting didukung.

Tapi, tolong dipercepat proses pembuktian di persidangan. Biar kita juga segera tahu, apakah hakimnya pro perubahan, atau tetap saja hakim masa lalu yang mendukung koruptor.

Di samping narkoba, koruptor harus diganyang, meski dibela-bela oleh FH dan FZ cum suis. Dan membenci koruptor bukan kejahatan, apalagi bikin meme atau menyatakan pendapat mengenai kebusukan mereka.

***