"Buka undang-undangnya semua. Buka undang-undangnya. Aturan mainnya seperti apa, di situlah diikuti".
Kutipan Presiden Joko Widodo ini layak dinobatkan sebagai "quote of the week" saat merespons alasan Ketua DPR Setya Novanto yang menolak memenuhi panggilan pemeriksaan di KPK terkait kasus dugaan korupsi e-KTP. Presiden tidak ditanya wartawan secara door stop, melainkan melalui siaran pers resmi Istana yang dirilis, Rabu 15 November 2017.
Saat itu berkembang isu bahwa Novanto berdalih KPK harus meminta izin Presiden RI terlebih dahulu untuk memeriksa dirinya. Menjawab alasan Setya Novanto tersebut intinya Jokowi menyerahkan segala proses hukum tersebut kepada tata acara yang berlaku.
Aturan yang dimaksud adalah pasal 245 Ayat 1 Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang sudah diuji materi Mahkamah Konstitusi memang mensyaratkan pemeriksaan anggota DPR harus seizin Presiden. Namun, Ayat 3 pasal yang sama menyatakan bahwa ketentuan Ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
[irp posts="3580" name="Siapa Bakal Calon Wapres untuk Jokowi dan Prabowo?"]
Bahkan pakar hukum tata negara Mahfud MD juga menilai, penyidik KPK tidak perlu meminta izin Presiden terlebih dahulu jika ingin memeriksa Setya Novanto. "Cukup alasan bagi KPK memanggil paksa dan melakukan penahanan," kata Mahfud sebagaimana dikutip Kompas.com.
Jika Presiden Jokowi berkomentar seadanya dan cukup sekali bicara terkait kasus yang menimpa Setya Novanto, tidak demikian halnya Wapres Jusuf Kalla. Sebelum dan sesudah Setya melarikan diri yang berpotensi menjadi buronan polisi, JK demikian aktif -bahkan terkesan "hiperaktif"- memberi komentar terkait kasus yang sama.
Intinya sebelum Setya akhirnya menghilang, JK ingin Setya segera menaati hukum dan tidak usah mangkir saat diperiksa sebagai tersangka. "Hiperaktif"-nya JK dalam memberikan pernyataan mengundang tanya pengacara Setya, Fredrich Yunadi yang meminta JK tidak usah ikut campur terkait polemik pemanggilan kliennya yang harus izin Presiden. Bahkan Fredrich menilai, komentar JK hanya membuat kondisi semakin gaduh.
"Menurut saya sebaiknya Wakil Presiden (Jusuf Kalla) jangan berkomentar tanpa melihat Undang-undang. Saya sangat menghormati beliau sebagai Wapres, tapi ya saya akan lebih salut kalau dalam hal ini tidak membikin kegaduhan. Yang bikin kegaduhan kan beliau," kata Fredrich dalam pesan singkat, Rabu kemarin, sebagaimana dikutip Merdeka.com.
[caption id="attachment_4112" align="alignleft" width="507"] Fredrich Yunadi (Foto: Indopos.co)[/caption]
Fredrich menambahkan, pernyataan JK membuat rakyat bingung. Dia mempersoalkan pernyataan JK yang menyebut KPK tak perlu izin Presiden buat memeriksa Setya Novanto. Menurut dia, pernyataan JK itu hanya membuat gaduh keadaan. "Kalau Pak JK bilang nggak perlu, itu 'kan lucu. 'Itu kan yang bikin gaduh siapa? Apa saya? Saya ini 'kan melaksanakan profesi saya," katanya.
Fredrich kemudian menyarankan JK agar tidak memberikan komentar karena apa yang diucapkannya itu didengar oleh rakyat Indonesia.
[irp posts="4080" name="Setya Novanto Buron!"]
Setelah akhirnya Setya Novanto menghilang pun, JK kembali aktif berkomentar tentang Setya Novanto. JK misalnya menyarankan agar posisi ketua umum Partai Golkar sesegera mungkin diisi setelah ditinggal pergi ketua umumnya. Alasannya menurut Kalla, Setya Novanto yang menghilang dan kini diburu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai tidak bisa memimpin sebuah partai.
"Ya harus segera (diganti) kalau ketua menghilang. Kapten menghilang, masa tidak diganti kaptennya," kata Kalla di JI-Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis 16 November 2017 sebagaimana diberitakan Kompas.com.
Menurut Kalla pula, pergantian pemimpin di tubuh partai berlambang pohon beringin tersebut wajib dilakukan demi kebaikan Partai Golkar di masa depan. "Ketua Umum menghilang bagaimana partainya? Masa partainya hilang juga. Pasti ada pemimpin yang baru muncul," imbuhnya.
Tidak lupa Kalla menyebut bahwa tindakan Novanto yang melawan hukum tersebut menjadi kampanye negatif bagi Partai Golkar jelang Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
Pilpres 2019 dan kepentingan
Sampai-sampai, "hiperaktif"-nya JK dinilai Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai "prestasi tersendiri" yang membandingkannya dengan Presiden Jokowi yang irit bicara.
Adnan Topan Husodo dari ICW misalnya menilai, Presiden Joko Widodo belum menunjukkan ketegasan dalam agenda pemberantasan korupsi, khususnya terkait kasus Korupsi KTP Elektronik. Adnan bahkan menilai, ketegasan Jokowi dinilai kalah dari JK. "Yang sebenarnya lebih tegas itu 'kan Pak JK dalam kasus (Setya Novanto) ini," katanya.
Pernyataan Jokowi yang tidak tegas menyikapi manuver Setya Novanto dan justru menyerahkan segalanya kepada proses hukum itupun disayangkan Adnan. Padahal, sejak awal Setya Novanto menurutnya sudah jelas-jelas menjadikan diri Jokowi sebagai tameng dalam menghadapi kasus KTP Elektronik ini terkait penolakannya diperiksa KPK sebelum mengantongi izin Presiden.
[irp posts="3494" name="Istri dan Anak Disebut, Setya Novanto Mungkin Terpaksa Menyerah""]
Harusnya, saran Adnan, Jokowi bisa menyatakan dengan tegas bahwa KPK bisa atau tidak mengantongi izin Presiden untuk memeriksa anggota DPR. Sementara JK justru mengeluarkan pernyataan yang lebih tegas mengenai manuver Setya Novanto ini. Kalla sejak awal misalnya menegaskan bahwa KPK tidak perlu mengantongi izin Presiden untuk memeriksa anggota DPR.
Adnan menilai, ketidaktegasan sikap Presiden itu karena pertimbangan politik, terkait posisi Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang merupakan bagian koalisi pemerintah saat ini dan sudah pula menyatakan dukungan kepada Jokowi untuk Pilpres 2019.
Boleh jadi Adnan lupa bahwa JK juga bagian dari pemerintahan Jokowi dan tidak sempat menganalisa mengapa JK demikian "hiperaktif" untuk kasus Setya Novanto.
Adalah kesalahan fatal jika Jokowi melindungi Setya Novanto yang terbukti melakukan korupsi, sebab hal ini bisa jadi "back fire" terhadap dirinya. Citranya akan jatuh dan elektabilitasnya akan melorot jika terbukti sampai saat hilangnya Setya Novanto, Jokowi masih membelanya.
Sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan, pernyataan resmi Presiden RI terkait kasus Setya Novanto harus disampaikan secara kelembagaan atau disampaikan secara resmi. Itu sebabnya saat menyampaikan pernyataan Jokowi mengatasnamakan lembaga resmi negara, bukan pernyataan yang disampaikan kepada wartawan saat door stop.
Sebaliknya, JK menyampaikan pandangan-pandangannya tidak secara resmi, melainkan pernyataan langsung kepada wartawan. Publik bisa langsung menilai, JK sedang melontarkan pernyataan "politik rendah" (untuk membedakannya dengan high politics) terhadap kasus Setya Novanto, bukan resmi mengatasnamakan pemerintah Republik Indonesia. Ada kepentingan tertentu di balik "hiperaktif"-nya JK melontarkan pandangannya.
Tahun politik yang sejatinya akan terjadi tahun 2019 rupanya sudah dimulai sekarang, setidak-tidaknya "warming up" sudah dijajagi. Bukan sekadar "test the water", tetapi sudah terjun ke medan laga sesungguhnya. JK yang tidak mungkin berpasangan lagi dengan Jokowi pada Pilpres 2019, perlu "penerus" baru yang bisa menjamin kepentingan politik dan bisnisnya. Dan, penerus itu bukan Jokowi.
Untuk itulah, menjalankan politik "perang terbuka" terhadap Jokowi dalam berbagai kebijakan, bisa dibaca sejak lama. sebagai "rivalitas dini". Dalam hal dukungan pun, misalnya, itu terjadi secara kasat mata. Dalam Pilkada DKI Jakarta lalu, misalnya, JK menyokong Anies Baswedan sedangkan Jokowi bersimpati kepada Ahok.
Demikian juga saat Ade Komarudin menggantikan Setya Novanto selaku Ketua DPR didukung JK, sementara Istana cenderung lebih aman membiarkan Setya Novanto sebagai Ketua DPR.
Sekarang, posisi Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar sedang kosong melompong akibat ditinggalkan Setya Novanto.
Wajarlah kalau JK murah dan mudah bersuara untuk kasus Setya Novanto ini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews