Memahami Ananda Sukarlan dari Kacamata Orang Jawa

Selasa, 14 November 2017 | 13:17 WIB
0
465
Memahami Ananda Sukarlan dari Kacamata Orang Jawa

Saya sampaikan sejak awal tulisan, bahwa saya termasuk yang bisa memahami dan mendukung apa yang dilakukan sahabat saya, Ananda Sukarlan (AS) dalam peristiwa "walk-out"-nya saat Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan pidatonya.

Tulisan saya ini, tentu berangkat dari asumsi-asumsi pribadi dari sependek pengetahuan saya dan sikap solidaritas saya sebagai sesama manusia yang kebetulan juga orang Jawa, beragama Islam, dan memiliki tidak sekedar kepedulian (tetapi terutama kepekaan sosial politik).

Mungkin di sinilah yang membedakan cita rasa demokrasi yang egaliter dengan barangkali kepekaan rasa yang dimiliki oleh AS terkait bidang yang digelutinya, yaitu seni-budaya. Tanpa kepekaan yang mendalam terhadap wilayah rasa dari naluri yang paling dalam, kasih sayang terhadap umat manusia dan kecintaan terhadap tanah airnya. Mustahil ia bisa memperoleh posisinya sebagaimana yang ia dapatkan hari ini.

Ia adalah salah satu pianis, komposer, tetapi sekaligus budayawan paling terkemuka Indonesia saat ini. Dan sebagaimana kita tahu: ia bukanlah jago kandang, yang hanya berkutat dari kota ke kota di negeri ini. Ia adalah seniman internasional yang memilih tinggal di Madrid sebagai basisnya dan bergerak aktif sebagai duta bangsa ke seluruh penjuru dunia.

[irp posts="3928" name="Ananda Yang Mengaku Sudah Move On" dan Kesaksian Seorang Peserta"]

Saya mencatat AS adalah orang pertama yang mengkritik AB, saat pagi hari sebelum dia dilantik. Pada 16 Oktober 2017, AB memposting sebuah kutipan yang seolah ia adalah seorang penggemar Franz Schubert, seorang komposer terkenal asal Austria. Kutipannya adalah: Happy is the man who find a true friend & far happier is who find true friend in his wife.

Tampak indah, karena di caption gambar ia tampak mencium tangan istrinya. Dalam statusnya di instagram, AS menyanggah statement ngawur itu seraya menandaskan, Schubert adalah seorang gay dan mati karena sipilis. Ia menunjukkan entah AB dapat quote dari mana, tapi ia menyarankan sebaiknya ia belajar sejarah dulu.

Tidak waton comot aporisma yang tidak jelas kebenarannya. Artinya apa yang dilakukannya Sabtu, 11 November lalu di JIEXPO bukanlah datang tiba-tiba, ia menunjukkan integritasnya tidak sekedar dalam teknis bermain musik, tetapi pengetahuannya tentang sejarah musik. Di mana hal tersebut, juga mengingatkan panitia sekaligus publik, bahwa integritas itu sama sekali berbeda dengan apa yang sering disalahartikan sebagai "sudahlah mari kita move on berilah ia kesempatan".

Integritas itu berbanding lurus dengan sikap moral yang universal, dan itu bukan sesuatu yang bisa ditawar-tawar dan bersifat kondisional. Hal inilah yang salah kaprah diterapkan dalam budaya hidup ber-demokrasi di Indonesia.

Juga bagian yang gagal dipahami oleh publik yang mengecamnya adalah: pertama, hal itu dilakukan sebagai sikap spontan, artinya itu adalah sikap pribadi. Bahwa kemudian sikap dan langkahnya diikuti oleh sebagian oleh tamu yang lainnya, dasarnya itu bukan sifat provokatif.

Itu melulu sikap solidaritas yang menunjukkan satu visi yang sama dalam cara memandang suatu persoalan. Artinya, tuduhan ia mempermalukan panitia sungguhlah sangat ngawur. Lebih tepat, Panitia secara tidak sadar telah memberi ruang untuk dipermalukan.

Kedua, ia adalah orang Islam, seorang Muslim. Tentu ia berkepentingan menunjukkan pada dirinya sendiri sekaligus kepada publik, bahwa ia malu dan ketidak setujuannya terhadap cara-cara yang dilakukan Gubernur terpilih.

Harus dipahami AS adalah segelintir muslim dari negara berkembang yang berkesempatan untuk hadir di wilayah yang mungkin ia hanya pencilan di bidang yang jelas dikuasai oleh kelompok non-muslim. Tentu ia bisa hadir di sana, di luar prestasi tentu karena sikap toleransi dalam pergaulan internasional yang dimilkinya.

[irp posts="3853" name="Antara Gubernur Anies Baswedan dan Komponis Ananda Sukarlan"]

Beda cerita, kalau ia Katolik, mungkin akan sangat mudah dipahami bila harus bersikap sebagaimana apa yang dibelakan oleh Rama Magnis Suseno dalam tulisannya. Ia mungkin akan larut dan harus bersedia untuk berendah diri, sketika bersikap "muna..." untuk sekedar menunjukkan kebesaran ajaran Kristus yang memang juga sama baiknya.

Ini bukanlah perbedaan, tetapi saya pikir pilihan sikap yang memang tidak harus sama.

Dan ketiga, ini bagian yang paling rumit tetapi sekaligus paling gampang untuk memahami. AS adalah orang Jawa, saya yakin ia berdarah biru (artinya ia adalah seorang priyayi). Maka demikianlah, karena halus budi bahasa dan terjaga setiap perilakunya, seorang priyayi menunjukkan sikap diamnya secara konkret.

Dalam budaya Jawa, terutama aristokrasi Jawa, tidaklah seegaliter dalam pergaulan demokrasi. Dulu di Kraton Yogyakarta, di kanan kiri Alun-Alun Utara terdapat bangunan-bangunan yang disebut Paseban (dari kata seba, artinya bertamu), di sinilah Raja menempatkan para tetamunya untuk sementara menunggu.

Raja Jawa menyadari bahwa ia tidak akan mengkonfrontasi para tamu-tamunya yang ia sadari (mungkin) tidak saling akur, memiliki tujuan dan cara pandang yang berbeda. Bahkan dalam acara terbuka, ia juga akan memperlakukan shift-shift yang berbeda (ingat yang paling dekat Jokowi mantu kemarin). Hal ini bukan karena saking banyaknya tamu, tetapi terutama untuk menghindarkan diri dipermalukan oleh para tamu.

Bagi saya, apa yang dilakukan Ananda Sukarlan menunjukkan bahwa ia seorang yang paripurna: internasionalis sekaligus tradisionalis, demokrat sejati yang berani bersikap jujur, dan integritas yang tidak bisa ditawar. Tentu, bagi saya itu sesuatu yang pantas dianut dan dipanuti!

***