KPU masa depan adalah pekerja pemilu yang fokus melaksanakan perintah Undang-undang. Jika ia menjadi pengurus dan mengurusi organisasi kemasyarakatan alias ormas, maka waktunya masih banyak yang luang. Sudahlah, mundur dari kepengurusan tidak susah. Toh bukan mundur dari keanggotaan.
Pembentuk Undang-undang, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menciptakan norma baru tentang independensi penyelenggara pemilu. Pasal 21 ayat (1) huruf (k) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum menyatakan calon anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengundurkan diri dari pengurus organisasi kemasyarakatan sejak dilantik dengan bukti surat keterangan.
KPU RI menindaklanjuti perintah UU Pemilu dengan mengeluarkan Surat KPU RI bernomor 666/SDM.12-SD/05/KPU/XI/2017 yang diteken oleh Ketua KPU RI Arif Budiman, tertanggal 7 November 2017. Dengan intruksi tersebut, para anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota harus menyerahkan bukti surat pengunduran diri dari ormas paling lambat 30 hari sejak tanggal 29 Desember 2017.
Muncul perdebatan atas norma Pasal 21 ayat (1) huruf (k) UU 7/2017 tersebut. Ketentuan ini bernada “memaksa” untuk menanggalkan aktifitas ke-ormas-an anggota KPU. Padahal ada ketentuan kebabasan berserikat dan berkumpul yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia. Lalu bagaimana memaknai independensi komisioner penyelenggara pemilu?
Memaknai Independen
Independen itu terbagi dua, ada independen etis dan organisatoris. Teori independensi ini ditawarkan oleh organisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang pendirinya - Lafran Pane - menerima gelar Pahlawan dari Presiden Joko Widodo pada tanggal 9 November 2017.
Tenaga Ahli DKPP, Firdaus, pernah mengatakan padanan kata indepedensi dengan kata integritas yakni integritas personal dan integritas lembaga pada sesi wawancara sebagai calon anggota KPU RI yang lalu. Integritas personal adalah integritas anggota KPU sedangkan integritas lembaga adalah integritas kelembagaan KPU secara keseluruhan.
Independen etis adalah setiap manusia - termasuk anggota KPU - secara alamiah dan naluri selalu mendekati akan kebaikan. Prilaku dan pemikirannya berlajar untuk berusaha mengarah kepada kebenaran.
Di sinilah keberpihakan anggota KPU diperbolehkan secara etis, dia bisa memilih untuk menentukan pilihab politik (mencoblos) maupun pilihan aktifitas kehidupan sehari-hari. Namun masih dalam koridor boleh dan tidak boleh untuk menjaga integritas lembaga penyelenggara pemilu.
Sedangkan Independen Organisatoris adalah independen secara kelembagaan. KPU sebagaimana disebutkan dalam konstitusi Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 bahwa "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri".
Sebagai komisioner KPU bersamaan dengan kelembagaan KPU, maka independen organisatoris ini adalah ketidakberpihakan kepada kelompok manapun, dia berdiri sendiri untuk menjaga keadilan dan kesetaraan.
Nah, kalau membahas keterkaitan anggota KPU dalam kepengurusan ormas, harus dilihat dari beberapa sudut pandang;
Pertama, Anggota KPU memiliki hak untuk menjalankan aktifitas dan kegiatan ormas sesuai dengan keyakinannya bahwa kegiatan tersebut membaawanya kepada kebenaran. Kebenaran di sini adalah kebenaran subjektif sesuai dengan pemahaman organisasi yang diikuti dan menjalankan aktifitas untuk mencapai cita-cita pendirian bangsa Indonesia
Kedua, Bahwa anggota KPU memiliki hak asasi untuk berserikat dan berkumpul yang dilindungi oleh konstitusi (Pasal 28 UUD 1945). Sehingga sebelum ia menjadi komisioner KPU, kegiatannya yang sudah dilaksanakannya dengan perwujudan hak berserikat dan berkumpul menjadi wajar saja.
Ketiga, Saat ia menjadi komisioner KPU, maka ia harus bisa menjaga independennya sebagai anggota ormas sekaligus anggota KPU. Frasa menjaga berarti mampu menempatkan diri sebagai anggota ormas dengan tidak membawa2 kekomisionerannya begitu juga sebaliknya saat menjadi anggota KPU tidak membawa-bawa keanggotaannya pada ormas tertentu.
Keempat, Apabila independensinya terganggu oleh status kepengurusan pada ormas tertentu, maka demi menjaga profesionalitas dan proporsionalitasnya, anggota KPU bisa mengundurkan diri dari jabatan ormas manapun. Akan tetapi, mengingat Pasal 28 UUD 1945, kita tidak bisa melarang keanggotaan komisioner KPU di ormas. Karena melarang keanggotaan berarti melanggar hak asasi manusia terkhusus dalam Kovenan Hak-hak Sipil Politik Internasional.
Jika tidak percaya kepada anggota KPU bisa berlaku adil dan profesional, masih ada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Penjaga Etika Penyelenggara Pemilu ini adalah bentuk fisik dari frasa "menjaga" komisioner untuk berlaku adil, setara, profesional dan lain sebagainya. Sehingga indepedensi anggota KPU dan kelembagaan KPU terjaga bukan hanya normatif tetapi ada penjaga yang berwujud DKPP.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana cara komisioner KPU menjaga indepedensinya saat ada suatu aktifitas yang bertautan dengan ormasnya seperti ormas mahasiswa di lingkup Cipayung atau ormas keagamaan? Tentu kita percaya bahwa anggota KPU bisa menjaga indepedensinya selama ini.
Tapi, khusus beberapa agenda personal, wajarlah seorang santri ikut acara NU atau seorang kader Muhammadiyah ikut acara PP Muhammadiyah. Yang tidak wajar adalah membawa ormasnya dalam kegiatan kepemiluan atas nama kelembagaan KPU (ormasnya seakan-akan anggota KPU).
Bila sebatas memandu kerja-kerja KPU dalam meningkatkan partisipatsi pemilih dan menegakkan hukum pemilu, pemamfaatan ormas masih diperlukan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews