Bang Yos Tutup Kramat Tunggak, Ahok Kalijodo, Anies Alexis

Kamis, 9 November 2017 | 19:49 WIB
0
525
Bang Yos Tutup Kramat Tunggak, Ahok Kalijodo, Anies Alexis

Meskipun ada seabrek masalah Jakarta, Alexis masih menjadi hal yang acap disodorkan ke hadapan Anies Baswedan yang belum seumur jagung di kursi gubernur DKI Jakarta. Terlebih sosok yang pernah menjadi menteri di kabinet Presiden Jokowi ini memang pernah menjadikan isu tersebut sebagai bagian kampanyenya.

Jika melihat dari sudut pandang agak baik -ingat, agak- sepertinya ada iktikad Anies untuk memberangus hal-hal berbau hal yang haram. "Kami ingin membangun Jakarta dari uang yang halal," itulah sikap tegasnya di depan media.

Dari kacamata sedikit nakal, boleh jadi itu menjadi satu cara komunikasi Anies untuk menunjukkan jika dia memang punya niat dapat melakukan banyak hal manis setelah menabur sederet janji manis. Sebagai pria, cukup bisa dimaklumi jika seorang lelaki itu diukur dari kesesuaian antara janji manis yang sama manis dengan yang telah dijanjikan.

Sementara dari sudut pandang "buaya", terkadang butuh cara-cara untuk membuat air tak terlihat beriak, agar pergerakan tak tercium calon mangsa. Anies sadar, Jakarta dengan Roti Buaya itu ada kemelakatan tersendiri, dan dari sana wajar saja jika ia sedikit mengambil "prinsip buaya". Toh, buaya tak selalu identik dengan hal buruk, karena sejatinya buaya justru hanya mau kawin dengan satu betina saja.

[caption id="attachment_3687" align="aligncenter" width="700"] Anies Baswedan (Foto: Tribunnews.com)[/caption]

Anies punya niat baik agar lelaki bisa meniru buaya dalam kesetiaan terhadap satu pasangan, sedangkan jurus buaya dalam menenangkan mangsa pun tetap menjadi inspirasi yang tak bisa diremehkan begitu saja.

Maka itu, dalam kasus Alexis bukan sekadar menghentikan atau mengecilkan peluang memanjakan para buaya ber-KTP pria, namun juga boleh jadi memang ada rencana layaknya buaya untuk menciptakan air yang tenang, tanpa riak yang mengusik, dan agar semua yang telah dekat tak berlarian menjauh.

Alexis ini menjadi hal yang takkan diremehkan begitu saja oleh Anies karena alasan-alasan tadi. Sekali lagi, dia ingin membangun Jakarta dari uang yang halal!

Mulia sekali bukan, dan ini terasa sangat suci sekali, dan lelaki pun dapat menjaga kesuciannya. Soal bahwa urusan wisata yang acap juga mensyaratkan ketersediaan layanan seks, tampaknya bukan hal memusingkan bagi Anies. Sebab, lagi-lagi ia ingin membangun Jakarta dari uang yang halal.

Jadi, apa yang ingin dikatakan di sini, ada niat baik. Soal apakah niat baik sekadar citra atau akan betul-betul direalisasikan sepenuhnya, itu menjadi cerita lain lagi. Sebab ini urusan dengan buaya, tentang kesetiaan di satu sisi, dan tentang siapa yang menerkam siapa, hingga bagaimana dapat menerkam tanpa terusik oleh risiko membuat lari calon sasaran.

[caption id="attachment_3686" align="alignleft" width="400"]

Ali Sadikin (Foto: Lintas7.com)[/caption]

Di masa lalu, Ali Sadikin terbilang paling berani, lantaran ia cenderung melihat peluang baik bahkan dari realita terburuk. Bagaimana dulu Kramat Tunggak bisa berdiri tegak dan bahkan pernah terkenal seantero Asia Tenggara, dan bahkan disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar di Asia, dilihat oleh Bang Ali sebagai satu keran agar Jakarta memiliki uang besar untuk dapat berlari cepat dalam pembangunan.

Bang Ali tak terlalu menggubris soal citra, terlepas dengan sikapnya justru membuat banyak kalangan menyebutnya sebagai orang yang kering dari nilai-nilai agama. Ia juga mendapatkan kritikan, namun di tengah kritikan itu, ia acap menanggapi saja dengan enteng, "Jalan-jalan di Jakarta ini dibangun dari uang judi sampai dengan prostitusi, jadi jika Anda tak ingin terseret oleh uang haram, sebaiknya bepergian saja lewat udara," begitulah katanya.

Syahdan, sosok Mohammad Natsir yang terkenal kental keislamannya, menjadi sasaran jawaban nyelekit Bang Ali ini.

Sosok Bang Ali memang melegenda. Berbicara perkembangan Jakarta hampir tak ada yang luput menyebutkan namanya, karena dinilai pada era beliau sajalah Jakarta ini melejit dengan cepat, karena sikap dan prinsip Bang Ali yang cenderung realistis.

Apakah sikap Bang Ali itu berarti beliau membenarkan pelacuran? Apakah ia tak merasa ngilu melihat perempuan dari mana-mana menggadaikan diri dengan harga beberapa rupiah saja untuk memuaskan para lelaki?

Sebagai manusia, dapat dipastikan Bang Ali pun merasakan itu. Namun lagi-lagi, sebagai orang yang berlatar belakang militer, ia menyadari dalam hal baik dan buruk, apa yang terpenting adalah bisa menjadikan apa saja yang ada untuk sebuah tujuan yang dinilai lebih besar.

Menurut Bang Ali, jika sebuah kota maju, pendidikan membaik, maka pelacuran akan berkurang dengan sendirinya. Kenapa, karena kemajuan membantu masyarakatnya memiliki sudut pandang maju, dan ketika pendidikan membaik maka mereka akan terbawa untuk memiliki pola pikir yang lebih baik. Soal cara yang terlihat kering dari agama, lagi-lagi karena ia meyakini jika dirinya tak bisa menyulap orang-orang menjadi nabi.

Ada realita dan perjalanan hidup yang terkadang memaksa sebagian orang memilih untuk berkarier dan memilih menyambung hidup hingga lewat jalan prostitusi. Bang Ali sendiri menyadari jika dia punya keterbatasan untuk menyulap kehidupan pekerja seks seketika menjadi lebih baik. Maka itu ia memilih cara lewat membangun dan membangun, tanpa secara frontal menghapus prostitusi.

Logika apa yang dilakukan di sana adalah menyelamatkan orang baik dengan kehidupan yang lebih baik. Logika ini tak menuntut keharusan menceramahi orang, elu harus menjadi ini atau elu harus menjadi itu. Sebab ia melihat peran dirinya sebagai pemimpin, bukan untuk menentukan nasib orang. Ia bukan mengubah nasib orang, tapi membantu orang-orang mengubah nasibnya.

Pola pikir realistis seperti diterapkan Bang Ali memang tak terlihat suci. Meski begitu, ia berpegang pada prinsip pentingnya melokalisasi masalah. Ketika ia memilih melokalisasi Kramat Tunggak, Bang Ali hanya menginginkan agar masalah "penyakit sosial" itu tak merambah ke tempat lain. Sebab ketika suatu masalah dapat terpetakan dan terlokalisasi, maka masalah itu tak tersebar layaknya virus yang bisa menghuni tempat mana saja.

[caption id="attachment_3684" align="alignright" width="532"]

Sutiyoso (Foto: Merdeka.com)[/caption]

Bagaimana dengan Sutiyoso? Sosok yang akrab dengan panggilan Bang Yos ini memilih menutup Kramat Tunggak sama sekali bukan karena alasan bahwa ia ingin terlihat baik atau sebagai manusia suci. Ia hanya melihat masalah lain yang acap berada di sana, yakni meningkatnya tindakan kriminal.

Selain itu, Bang Yos pun memahami jika langkah diambilnya takkan membuat para pekerja seks lantas berubah seketika. "Prostitusi merupakan salah satu anak kandung dari kemiskinan, selain kejahatan," kata beliau, seperti dilaporkan Kompas.com, 29 April 2015lalu.

Bahkan Bang Yos pun tak menampik jika cara memberantas masalah itu bukanlah dengan cara memberangus masalah itu begitu saja, melainkan mencari solusi yang betul-betul konkret. "Karena itu, cara untuk meminimalkan keberadaannya adalah dengan memperbanyak lapangan pekerjaan," katanya, dua tahun lalu, menyodorkan solusi yang diharapkan dapat dieksekusi gubernur-gubernur setelahnya.

Sementara Basuki Tjahaja Purnama, cenderung menganut paham seperti Bang Ali, bahwa yang terpenting bukan menyulap pekerja seks harus seketika menjadi orang baik-baik. Ia cenderung mengajak melihat persoalan apa adanya. Tapi kemudian ia menutup Kalijodo, pun bukan karena alasan agar terlihat populer, melainkan karena melihat di sana memang telah bersarang lebih banyak kejahatan dan berbagai masalah sosial lebih rumit.

Ahok menggebrak, menutup Kalijodo, dan di sisi lain tetap berpijak pada kalkulasi selayaknya seorang jenderal yang melihat medan masalah selayaknya medan perang, yang membutuhkan kejelian dan perhitungan maksimal. Maka itu, penutupan Kalijodo di era Ahok semata-mata karena alasan bahwa lokasi itu berada di area hijau, dan ia ingin mengembalikan kawasan itu sesuai fungsinya.

[caption id="attachment_3685" align="alignleft" width="545"]

Ahok (Foto: SuratKabar.id)[/caption]

Di sinilah Ahok pernah mendapatkan cibiran serius dari Anies saat keduanya berdebat menjelang Pilkada tahun lalu. “Untuk urusan penggusuran, kita tegas. Kalau soal prostitusi, Alexis, kita lemah,” kata Anies.

Sekarang, Anies sendiri sedang berada di depan tantangan itu, untuk membuktikan dirinya mampu membangun Jakarta dari uang halal.

Persoalannya, ada kecenderungan setidaknya dalam pemberitaan bahwa Anies hanya melihat masalah pelacuran hanya ada di Alexis.

Katakanlah itu hanya masalah framing yang keliru dibangun media, namun setidaknya Anies memang masih membutuhkan ketegasan, ia ingin membawa solusi atau sekadar mengundang heboh saja. Sebab sejauh ini, belum ada peta masalah yang lugas diperlihatkannya dan ingin digarap olehnya. Kecenderungan yang muncul adalah dia mencari kesalahan pemimpin sebelumnya tanpa menunjukkan jalan keluar yang lebih baik yang bisa diterapkannya.

Ah, itu hanya penghakiman saya saja. Anda yang memberikan suara untuknya tak perlu marah. Toh masih panjang waktu untuk dia bekerja. Yang perlu Anda khawatirkan hanya satu, yakni jika makin lama berkuasa maka makin banyak janji manis, sementara Anda sebagai warga DKI memaksa diri tersenyum ketika yang terjadi adalah kenyataan pahit.

Jika yang pahit terjadi, saya hanya mengingatkan, agar tak ada dari kita yang meng-alay di media sosial dengan menulis status, "K4u m3NabuR j4nJ1, k@u Ju94 y4n9 m3ng!ngk4r!".

Jika telanjur, sudahlah buka MP3 Anda dan kita nikmati sama-sama alunan suara Bang Rhoma Irama, "Manisnya madu tak semanis senyummu..." Apa hubungannya? Ya, tak ada sama sekali.

Lalu yang ada, ya soal buaya di awal tulisan ini. Apakah Anies dapat menjadi buaya yang setia pada janji-janjinya, atau ia menjadi buaya yang hanya ingin menenangkan permukaan air agar leluasa menerkam?

Kalaupun yang terjadi adalah yang terakhir, kita yang punya potensi menjadi buaya kelak bisa menahbiskan Anies sebagai guru.

Tetap ada manfaatnya bukan?

***