Dalam cerita ala Hans Christian Andersen, putera mahkota selalu disebut sebagai pewaris sah kursi kerajaan. Setelah sistem kerajaan berguguran diganti model pemerintahan demokratis bahkan totaliter, model "Raja turun tahta diganti putera mahkota" itu ternyata masih ada.
Tidak ada yang keliru dengan upaya ini, sebab bagaimanapun seorang Raja harus selalu menjaga kelangsungan hidup kerajaan dan memastikan kerajaan berada di tangan yang tepat di bawah kendali putera mahkota.
Perumpamaan ini boleh jadi pas untuk menggambarkan suasana batin yang sedang terjadi di tubuh Partai Demokrat di mana Susilo Bambang Yudhoyono, selaku pendiri partai dan pernah menjabat dua kali Presiden RI, menyiapkan anak sulungnya, Agus Harimurti yang biasa disapa AHY sebagai penggantinya kelak.
Tentu tidak sekadar menggantikan posisinya selaku ketua partai, melainkan mendorong AHY berusaha lebih keras lagi, yakni merebut jabatan Presiden RI yang pernah digenggamnya selama dua periode.
AHY boleh dibilang "anak kemarin sore" dalam soal politik. Sekali dimunculkan, langsung terpental di pusaran Pilkada DKI Jakarta. Ia bahkan "dipaksa" ayahnya untuk "pensiun terlalu dini" dari dinas militer yang prestisius.
Tapi jangan salah, tidak ada seorang bapak yang tega menjurumuskan anaknya. Seorang bapak akan mengantarkan anaknya ke gerbang kesuksesan sebagaimana yang diangankannya. Bahwa AHY pernah gagal, di mata sang ayah, itu bukan akhir sebuah cerita, melainkan titik awal usaha yang akan dilakukan lebih keras lagi.
Menjadikan anaknya Presiden RI, itulah upaya yang akan terus dilakukannya.
Kegagalan AHY di awal kemunculannya membuatnya kian matang, setidaknya tidak canggung lagi untuk bertemu dengan Wapres Jusuf Kalla, dengan kandidat presiden yang dua kali gagal Prabowo Subianto, meski memang tidak sempat bertemu Presiden Jokowi yang diwakilkan kepada anak sulungnya.
Kawah candradimuka di bidang militer membekalinya ilmu memimpin, kegagalannya adalah ujian perang politik berikutnya yang lebih dahsyat. SBY, ayahanda AHY, memberi kesempatan "putera mahkota"-nya itu mulai manggung, aktif hadir di kerumunan dan menyapa para pengendali negeri. Sementara para pasukan menyiapkannya diri menuju kepemimpinan baru, Demokrat dipastikan sudah ada yang punya.
AHY, putera pertama Presiden Ke-6 Republik Indonesia dan Kristiani Herawati lahir di Bandung, 10 Agustus 1978. Seperti ayahnya, ia masuk militer dan selama 16 tahun, sejak tahun 2000 sampai 2016 mengabdi di Tentara Nasional Indonesia.
Atas nama pengabdian sebagai anak kepada ayahanda, AHY meninggalkan kehidupan militer untuk masuk ke dunia politik. Tidak tanggung-tanggung, panggung pertama yang harus ditaklukkan adalah Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Semua orang tahu, AHY gagal saat berpasangan dengan Sylviana Murni. Pasangan AHY dan Sylviana ini didukung Koalisi Cikeas, yaitu Partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN.
Pasangan serasi karena terdiri dari putera dan puteri dengan banyak yel-yel ini tidak mampu meraup suara mayoritas pemilih Jakarta, meski aksi lompat dari panggung ke tengah-tengah pendukung sempat viral di media sosial.
Mengenalkan "Putra Mahkota"
Pascapilgub DKI Jakarta, AHY langsung menyiapkan pelbagai hal untuk mempersiapkan diri memimpin Partai Demokrat. Sang Pemilik, SBY pun membentuk lembaga Tink Tank untuk memuluskan langkah putra mahkota mendapatkan panggung-panggung politik, yaitu The Yudhoyono Institute.
The Yudhoyono Institute, dari namanya kita sudah tahu bahwa lembaga Tink Tank ini milik SBY. Lembaga sejenis milik Mantan Presiden lain yang mendirikan Institute seperti Megawati Institute, Habibie Institute, Wahid Foundation. Sekarang, The Yudhoyono Institute mencari jalan baru demi mempersiapkan pertempuran politik AHY sang putra mahkota.
Dengan berbekal posisi Direktur The Yudhoyono Institute, AHY berkeliling nusantara. Mulai dari Padang Sumatera Barat, Makasar Sulawesi Selasatan dan Pekanbaru Riau. AHY hadir sebagai narasumber diskusi, seminar workshop dan sebagainya. Setiap sesi, mahasiswi hsiteris melihat AHY seakan-akan melihat aktor film layar lebar terkenal.
Apakah AHY hanya sekedar wisata intelektual? Bukan, AHY sedang melihat tingkat penerimaan masyarakat atas kehadirannya di suatu daerah. AHY sedang membaca, apakah dirinya hadir sebagai AHY atau masih terlihat sebagai anak pertama SBY?
Demi membaca potensi penerimaan rakyat, maka The Yudhoyono Institute harus menyediakan panggung di 33 Provinsi. Kerjasama dengan kader Partai Demokrat yang menjabat sebagai kepala daerah harus diefektifkan. Sehingga, semua panggung terasa alamiah tanpa ada rasa politik pencitraan putra mahkota. Keberhasilan The Yudhoyono Institute bersama kader partai di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Riau menjadi dasar penilaian awal sebelum mengunjungi 30 provinsi lain.
Lalu, langkah apa yang harus disiapkan untuk menyambut putra mahkota? ada beberapa langkah persiapan penyambutan:
Pertama, seluruh kader se-Indonesia menyebarluaskan foto AHY berisi pesan-pesan motivasi di media sosial. Cara ini pernah dilakukan saat kampanye Pilgub DKI Jakarta. Dengan mengisi medsos berkonten nasehat, motovasi berlatar belakang foto ganteng AHY, The Yudhoyono Institute mampu melihat seberapa besar pengguna medsos suatu daerah mengenal dan terpengaruh akan pesan-pesan AHY.
Kedua, pengurus wilayah dan kabupaten/kota Partai Demokrat menjalankan aksi kerjasama, seperti diskusi dan lain-lain. Tetapi, syarat utama adalah menghimpun seluruh kader partai pada saat acara berlangsung. Tentu saja kader mengenakan pakaian yang umum, bukan mengenakan baju partai sehingga kesan ramai terbentuk alami.
Saat acara berlangsung, pantia mengadakan lomba selfie yang harus dikirim ke Instagram dan Twitter dengan men-tag akun The Yudhoyono Institute. Nah, Program lomba seperti ini menambah daya tarik pengunjung acara dengan narasumber utama putra mahkota Partai Demokrat.
Ketiga, The Yudhoyono Institute penting melakukan kajian terhadap suatu budaya lokal daerah yang akan dikunjungi. jadi, saat AHY berpidato, penggunaan kutipan bahasa daerah akan menambah kemesraan antara narasumber dengan pendengar/peserta diskusi. Penguasaan budaya lokal memiliki peran penting demi menyentuh relung hati para pemuka adat dan tokoh lokal daerah.
Di lain sisi, antisipasi pertanyaan kedaerahan perlu dikaji dengan mencari potensi-potensi sumber daya daerah. AHY seakan-akan menjadi tokoh muda serba tahu penuh solusi dengan menjawab masalah daerah dengan cepat dan tepat. Bayangkan saja bagaimana reaksi para tamu undangan melihat alumni militer paham masalah daerah se-Indonesia.
Apabila semua langkah sudah direncanakan dan disiapkan dengan matang, AHY tinggal memetik hasilnya sambil beristirahat di dalam mobil, pesawat atau kendaraan transportasi lainnya. Tugasnya hanya berbicara di depan rakyat, meraih simpatik massa, dan terus bergerak ke sudut-sudut Nusantara.
Sampai tiba waktunya AHY menerima panggilan "mendadak" untuk kembali ke Jakarta, menyiapan diri setidak-tidaknya menjadi bakal calon wakil presiden pada Pilpres 2019 mendatang.
Mengapa tidak kalau ayahanda yang memintanya di ujung telepon.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews