Sejarah dan Masa Depan Alexis

Rabu, 1 November 2017 | 08:54 WIB
0
680
Sejarah dan Masa Depan Alexis

Walau saya bukan termasuk "konsumen atau peminat" -mana ada penulis independen seperti saya yang kuat bayar- tetapi tetap menarik untuk mengetahui duduk masalah hotel yang sedang jadi trending topic saat ini. Tidak bank yang mengetahui, Hotel Alexis pada mulanya bernama Hotel Grand Ancol yang dibangun pada awal 1990-an.

Berlokasi tidak jauh dari tempat wisata Ancol, menjadikan hotel ini sebagai tujuan banyak aktivitas negatif baik prostitusi, narkoba, perselingkuhan, dan lain-lain. Intinya hotel ini menjadi tempat favorit untuk "pesta dunia", karena nyaris tanpa pengawasan yang ketat.

Namun akibatnya sungguh di luar dugaan, banyak kematian terjadi di hotel ini, baik akibat overdosis narkoba, bunuh diri, atau pembunuhan. Akibatnya pelan tapi pasti, citra hotel ini adalah hotel yang berhantu dan berubah menyeramkan. Akibatnya, ia ditinggalkan oleh konsumennya, konon anekdotnya: biar mabok, kalau sama hantu mah tetap saja jiper!

Hingga menjelang kebangkrutannya, hotel ini dijual kepada seorang pengusaha bernama Alex Tirta, karena itulah kemudian diubah namanya menjadi Hotel Alexis.

Letaknya yang strategis, di pelataran Ancol membuat sang pengusaha serius menata ulang hotel ini. Konon untuk mengusir para hantu itu, ia menjadikan tempat ini sebagai "one stop entertainment". Sekalipun demikian, ia tetap menggunakan nama dan izin perhotelan, karena sebagai hotel ia tetap bisa buka tanpa kendala Bulan Ramadhan atau yang lainnya. Cerdik!

Walau di dalamnya menyediakan berbagai fasilitas seperti jacuzzi, diskotik, pijat, lounge, dan lain-lain, resep ampuh yang mereka gunakan adalah untuk mengusir hantu sekaligus mendatangkan dengan menghadirkan wajah-wajah bidadari. Karena itulah, hotel ini dikenal sebagai salah satu pelopor import wanita dari Uzbekistan, negara pecahan Uni Soviet yang memang terkenal memiliki wajah-wajah yang cantik dan aduhai.

Dari sinilah pamor Alexis menjadi melejit, dan bahkan mendapat izin dan restu secara "tersamar" ketika Gubernur DKI Jakarta di bawah Sutiyoso dan Wagubnya Fauzi Bowo. Atas nama, bahwa Jakarta sebagai kota metropolitan harus punya fasilitas "entertaintment" kelas global, khususnya ekspatriat bagi warga asing dan wisatawan mancanegara.

Namun realitasnya, Alexis justru mencapai puncak kejayaannya ketika bisnis batubara di Kalimantan sedang mengalami booming. Para "horang kayah baroe" untuk menyebut OKB itu menghabiskan banyak uangnya di tempat ini. Mereka saling beradu gengsi di tempat ini dengan cara menghambur-hamburkan uangnya. Di sinilah sindikasi antara pengusaha, pejabat, militer, dan sebagainya bertemu jadi satu.

Dan, disini pulalah salah satu keunggulan Alexis, yakni mampu menyediakan "privacy" yang sangat terjamin. Setiap orang, siapa pun dia, akan merasa terjamin kerahasiaan identitas maupun keamanan pribadinya. Hal ini yang membuat Alexis sering dianggap "untouchable" alias tidak tersentuh. Tentu saja, karena setorannya konon nyaris merata dan cukup besar.

Nyaris sampai saat itu, tak ada ormas keagamaan yang berani mempermasalahkannya. Syukurlah harga batubara kemudian jatuh, bukan saja itu menghambat perusakan lingkungan yang makin parah. Namun juga, mulai diutak-atiknya kegiatan yang disederhanakan sebagai prostistusi di tempat ini. Bahkan puncaknya dijadikan salah satu janji kampanye oleh salah satu pasangan, yang kemudian terbukti manjur sebagai sebuah isue politik!

Minggu ini, secara resmi Gubernur DKI yang baru menolak perpanjangan izin hotel ini, alasannya atas dasar informasi yang diperoleh dari masyarakat. Dengan bahasa birokratis: izin perpanjangan izinnya belum dapat diproses.

Ada suatu kejanggalan yang serius dari keputusan ini bila dibandingkan dengan kebijakan Ahok, gubernur sebelumnya, saat penutupan Diskotik Stadium, yang terbukti sebagai tempat peredaran narkoba. Ahok menyatakan bahwa tempat tersebut ditutup selamanya, bahkan terlarang untuk jenis kegiatan apapun. Dan, ia menandatanganinya langsung. Coba bandingkan dengan kasus Alexis yang hanya ditandatangani sekelas Kepala Dinas!

Makna sebenarnya, sedang ada sebuah "kompromi politik dan bargaining bisnis" antarkedua belah pihak untuk cooling down sementara waktu yang saling menguntungkan. Karena kalau mau bisa saja pihak Alexis mempermasalahkan kasus ini ke PTUN, karena tidak ada bukti dan dasar kuat secara juridis untuk menutupnya.

Konon pengelola hotel memilih akan merenovasi hotel dan melakukan facelift. Untuk sementara memindahkan bisnisnya ke lain tempat, karena disebut-sebut di Jakarta saat ini ada 300 tempat sejenis sebagai tempat tumpang sari.

Tentang kelanjutan core bisnis aslinya, mereka bahkan sudah menyiapkan jargon baru, yaitu "Alexis Always Exist".

Huh sial!

***