Ketika Peserta BPJS Kesehatan Terbebani Tagihan yang Membengkak

Senin, 16 Oktober 2017 | 07:56 WIB
0
1313
Ketika Peserta BPJS Kesehatan Terbebani Tagihan yang Membengkak

Seorang peserta BPJS mengaku terkena palak di RSUD H.A. Basoeni, Kabupaten Mojokerto.  Ternyata, biaya perawatan peserta BPJS yang harus dikeluarkan lebih mahal daripada pasien umum non peserta BPJS. Pasien BPJS masih harus membayar lebih dari dua juta rupiah.

Padahal, jika tidak menggunakan layanan BPJS alias pasien umum, ternyata Cuma bayar satu setengah juta rupiah saja. “Mbak Mila, ini yang saya alami barusan,” ujar seorang keluarga pasien kepada pegiat sosial Mila Machmudah Djamhari. Pasien atas nama Ny. Endang A.

Ny. Endang terkena penyakit gula sudah 10 tahun lamanya. Ia sudah sangat paham dengan kondisi tubuhnya, sehingga senantiasa prepare dengan obat-obat yang biasa diberikan dokter.“Ibu tipikal orang yang disiplin untuk kontrol dokter,” ungkap anaknya itu.

Sehingga, setiap bulan wajib hukumnya untuk bertandang ke RS hanya sekedar konsultasi. Pada 25 September 2017, Ny. Endang kontrol ke RSUD H.A. Basoeni yang lebih dengan sebutan RS Gedeg Mojokerto karena terletak di Jl. Raya Gedeg, Mojokerto.

Dan, saat antri, tiba-tiba Ny. Endang lemas dan dibawalah ke UGD, dan langsung rawat inap. Ternyata gula darahnya drop hingga 57, yang dirasakannya lemas dan sedikit vertigo. Setelah diinfus dan diberikan obat vertigo, kondisi Ny. Endang merasa lebih baik.

Malam harinya sudah merasa lebih enak. Keesokan pagi harinya Ny. Endang meminta untuk pulang, meski sebenarnya tak diijinkan pihak RS. “Tapi ibu memaksa pulang. Kami keluarga mengikuti kehendak ibu karena ibu sangat sensitif,” ungkap keluarganya.

Karena juga pengaruh psikologis sangat kuat terhadap kesehatan ibunya itu. “Sehingga kami yakin kalau ibu maunya pulang insyaa Allah akan semakin membaik di rumah,” lanjut salah seorang keluarga Ny. Endang. Urusan berlanjut ke masalah administrasi.

Setelah lebih dari 3 jam menunggu urusan administrasi, ketika di kasir keluarga Ny. Endang diminta untuk membayar tambahan sebesar Rp 2.331.400,- untuk semalam rawat inap (masuk 25 September, keluar 26 September) tanpa rincian karena pasien BPJS.

Uang sebesar Rp 2.331.400,- bagi suami Ny. Endang yang pensiunan PNS (selama 40 tahun masa kerja) tentunya sangatlah berarti. Namun, pihak RS hanya menjelaskan bahwa regulasi BPJS yang baru tersebut merupakan sistem paket.

Jadi, untuk penyakit Ny. Endang itu paketnya maksimal Rp 5.000.000,- , dan karena naik kelas dari klas 1 ke VIP ada tambahan sebesar maksimal 75 persen dari paketnya. Dan, di RS ini Ny. Endang dikenakan biaya tambahan 50 persen.

“Akhirnya kami selesaikan supaya ibu cepat istirahat di rumah. Tapi, saya masih penasaran dengan sistem BPJS. Akhirnya, selang beberapa hari saya minta diprintkan rincian biaya ibu seumpama tidak menggunakan BPJS,” ungkapnya.

Lahhh, saya melongo saat melihat angkanya cuma Rp 1.473.700,-. Kalau tahu begini kenapa saya tidak disarankan pakai umum saja? Pakai BPJS malah lebih mahal dari pasien umum,” ujar keluarganya itu.

Cerita lain dialami warga Kota Medan. Rumah Sakit Martha Friska menolak membayar tunggakan iuran BPJS Kesehatan pasien bernama Ros Intan Boru Keliat yang telah meninggal 1,5 tahun yang lalu. Staf rumah sakit justru membebankan tagihan itu kepada keluarga mendiang.

Staf rumah sakit diduga lupa menonaktifkan BPJS milik Ros Intan Boru Keliat yang sudah meninggal Mei 2015 silam. Sehingga terakumulasi tagihan iuran BPJS Rp 919.380,- Padahal sejak Ros meninggal, staf rumah sakit sudah meminta kartu itu.

“Pihak rumah sakit Martha Friska lepas tangan dengan permasalahan ini. Mereka justru seakan membebankan kesalahan administrasi yang mereka lakukan kepada saya," kata putra almarhum, Jefry Tarigan kepada Tribun-Medan.com, Jumat 7 Otober 2016.

Jefry menduga munculnya tunggakan tersebut dikarenakan pihak Rumah Sakit martha Friska yang berada di Jl. Yos Sudarso, Brayan Medan yang memegang kartu BPJS tidak melaporkan dan menyerahkan kartu itu kepada pihak BPJS di rumah sakit tersebut.

Jefry menjelaskan, masalah ini berawal ketika dirinya akan membayar iuran BPJS. Di mana saat itu muncul tagihan kartu BPJS milik ibundanya yang telah meninggal. Karena, peraturan baru BPJS sekarang satu keluarga harus bayar secara kolektif.

“Baru ketahuan ada tagihan yang nunggak sejumlah hampir Rp 1 juta. Kalau itu gak dibayar enggak bisa bayar kami,” kata Jefry. Merasa heran, ia lantas mendatangi RS Martha Friska untuk menanyakan status dan keberadaan kartu BPJS milik ibunya.

Sesampainya di rumah sakit tersebut, petugas rumah sakit sempat mengatakan bahwa kartu itu tidak ada di rumah sakit lagi, sudah setahun lalu pasien keluar dari rumah sakit. Ternyata kartu itu masih di tempat penyimpanan kartu BPJS di Martha Friska.

Itulah beberapa kasus di antaranya terkait pelayanan BPJS di daerah. Selain layanan BPJS, sekarang ini yang dikeluhkan masyarakat adalah kenaikan tarif premi BPJS Kesehatan yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2016 lalu.

Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan yang dalam salah satu poinnya memuat tentang kenaikan tarif premi BPJS Kesehatan. Kenaikan tarif tersebut mulai berlaku pada 1 April 2016.

Dalam Perpres tersebut, khususnya dalam Pasal 16 huruf F ayat (1), dijelaskan tarif terendah yaitu Kelas III naik menjadi Rp30.000 dari yang awalnya Rp 25.500. Kemudian untuk Kelas II naik menjadi Rp 51.000 dari sebelumnya, Rp42.500.

Sedangkan Kelas I naik menjadi Rp 80.000 dari sebelumnya Rp 59.500. Kenaikan ini sendiri mendapat kritikan dari anggota Komisi IX Irma Suryani. Menurutnya, kenaikan tarif premi BPJS ini akan membebani rakyat.

Irma Suryani menilai, kenaikan tarif ini dilakukan pada saat yang tidak tepat, yaitu saat daya beli masyarakat turun dan di sisi lain, harga kebutuhan pokok meningkat.Kenaikan tarif BPJS Kesehatan ini dikhawatirkan akan semakin mencekik rakyat.

Menurut Irma Suryani, ketimbang menaikkan tarif, sebaiknya pemerintah mengembalikan pendapatan dari cukai rokok, sebesar 50 persen untuk dialokasikan menjadi dana kesehatan bagi masyarakat. Dana ini dianggarkan untuk yang  Kelas II dan III.

Sedangkan yang Kelas I wajib bayar iurannya. Apa yang disampaikan Irma Suryani sangatlah logis. “Bila kita bisa mengalokasikan cukai rokok ini, 50 persen dianggarkan untuk kesehatan masyarakat, yang Kelas II dan III tidak usah iuran,” ujarnya.

***