Megawati Pilih Kader Sendiri, Nasib Gus Ipul di Ujung Tanduk

Minggu, 15 Oktober 2017 | 05:12 WIB
0
464
Megawati Pilih Kader Sendiri, Nasib Gus Ipul di Ujung Tanduk

Nasib Syaifullah Yusuf alias Gus Ipul bakal ditentukan pada Minggu, 15 Oktober 2018. Jika PDIP menetapkan Wakil Gubernur Jawa Timur ini sebagai bakal calon gubernur (bacagub) yang diusung PDIP, maka langkah Gus Ipul akan “aman”.

Namun, jika akhirnya PDIP lebih memilih kadernya sendiri untuk bertarung dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jatim 2018, maka langkah Gus Ipul bakal lebih sulit dalam meraih kembali kursi kekuasaan di Jatim sebagai Gubernur Jatim.

Gus Ipul sendiri sebenarnya sudah ditetapkan sebagai bacagub Jatim 2018 oleh PKB pada 5 Oktober 2018. Dari kelima parpol yang didatangi Gus Ipul, baru PKB yang menetapkannya sebagai bacagub dalam gelaran Pilkada Jatim 2018 nanti.

Kelima parpol tersebut adalah PKB, PDIP, Demokrat, Golkar, dan PPP. PPP adalah parpol terakhir yang didatangi Gus Ipul selama ini. Harapan dari parpol lainnya, setelah PKB yang mengusung adalah mendapatkan dukungan dari PDIP.

Mungkinkah Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum DPP PDIP tetap mengeluarkan SK Penetapan Gus Ipul sebagai bacagub PDIP pada Minggu, 15 Oktober 2018? Jika benar, berarti skenario pertama tetap dijalankan oleh PDIP.

Yakni, Gus Ipul tetap dipasangkan dengan Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, yang dijadikan sebagai bacawagubnya. Sehingga dengan demikian, secara politis Gus Ipul - Anas sudah bisa berlaga dalam Pilkada Jatim 2018 nanti.

Karena, perolehan suara PDIP dalam pemilu legislatif 2014 di Jatim sebesar 18,92 persen (19 kursi) dan PKB 19,10 persen (20 kursi). Dengan dukungan dua parpol ini saja, syarat untuk bisa maju dalam Pilkada Jatim 2018 sudah terpenuhi.

Yang paling dikhawatirkan adalah jika ternyata PDIP pada akhirnya lebih memilih kaderanya sendiri sebagai bacagubnya. Sehingga, meski PKB dengan 20 kursi bisa mengusung Gus Ipul dan Anas, langkah Gus Ipul selanjutnya bakal “sulit”.

Apalaji, jika kemudian PDIP tetap memasangkan Anas dengan kader PDIP sendiri. Beberapa nama petinggi PDIP bisa saja maju sebagai bacagub menggantikan Gus Ipul. Seperti, Djarot Syaiful Hidayat, Bambang DH, dan Pramono Anung.

Selepas Djarot menjabat Gubernur DKI Jakarta, bisa saja ditugaskan untuk menjadi bacagub Jatim 2018. Jika kemudian tidak bisa karena ditarik menjadi salah satu menteri, Bambang DH atau Pramono Anung masih punya nilai jual bacagub.

Djarot punya banyak prestasi saat menjabat Walikota Blitar dalam dua periode. Bambang DH juga demikian ketika menjabat Walikota Surabaya. Begitu pula Pramono Anung yang punya banyak jasa dalam membesarkan nama PDIP sendiri.

Jelas, ketiga kader PDIP ini sangat piawai dalam menggarap pemilih di kawasan Mataraman bila dibandingkan dengan Gus Ipul yang basis massanya cuma di kawasan Madura dan Tapal Kuda serta Pendalungan yang sudah jelas itu basis Anas.

Jika PDIP mengusung kadernya sendiri, pertarungan Pilkada Jatim 2018 bakal diikuti oleh 3 pasangan. Dan, Anas akan menjadi rebutan sebagai bacawagub Gus Ipul atau PDIP sendiri. Tentu saja Anas berhak menentukan siapa yang dipilihnya.

Pasalnya, yang namanya komitmen politik itu setiap saat bisa berubah. Seperti halnya, ketika PDIP akhirnya memilih untuk mengusung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta lalu yang sempat menghebohkan jagat politik.

Bukan tidak mungkin peta politik pilkada di Jakarta juga bisa terjadi di Jatim. Tiga pasangan bacagub-bacawagub akan mengikuti pertarungan dalam Pilkada Jatim 2018. Calon dari PDIP, calon dari PKB, dan calon dari Golkar. Jadi semakin seru!

Atau, jika PDIP tak ingin mengulangi kekalahan seperti di Jakarta, tentunya PDIP akan tetap mempertahankan Gus Ipul sebagai satu-satunya bacagubnya, meski Gus Ipul bukan kadernya sendiri. Sehingga, akan terjadi pertarungan head to head.

Yakni, antara Gus Ipul – Anas yang berbasis massa Nahdlatul Ulama (NU) berlatar- belakang politikus, melawan Khofifah Indar Parawansa dengan basis massa sama, yang perlu disokong cawagub berlatar-belakang seorang birokrat non porpol.

Dari beberapa nama yang sedang digodok di internal DPD Demokrat Jatim ada 2 nama, yaitu Saiful Rachman yang kini menjabat Kepala Dinas Pendidikan Jatim dan Harsono, pensiunan Kepala Dinas Kesehatan Jatim, Plt Direktur RSUD dr. Soetomo.

Meski pensiun, Harsono sejak Agustus 2016 diangkat Gubernur Jatim Soekarwo yang juga Ketua DPD Demokrat Jatim sebagai Kepala Badan Layanan Usaha Daerah (BLUD) RSU dr. Soetomo Surabaya. Pengangkatan ini jelas melanggar peraturan.

Pertama, ketika dilantik menjadi Kadinkes Jatim pada 25 Februari 2013 oleh Gubernur Jatim Soekarwo. Pasalnya, Harsono adalah eks Bupati Ngawi dua periode (1999-2010) yang secara struktural sebenarnya bukan Aparatur Sipil Negara (ASN) lagi.

Karena, sejak tercatat sebagai peserta Pilkada Ngawi, otomatis dia bukan lagi ASN, tapi jadi seorang politisi yang diusung oleh parpol peserta Pilkada Ngawi. Namun, anehnya Gubernur Soekarwo masih mengangkat dan melantiknya menjadi Kadinkes.

Kedua, meski sudah pensiun sebagai Kadinkes Jatim dan Plt Direktur RSUD dr. Soetomo, ia tetap diangkat Gubernur Soekarwo sebagai Kepala Badan Layanan Usaha Daerah (BLUD) RSUD dr. Soetomo Surabaya. Harsono pensiun pada Agustus 2016.

Alasan pengangkatan sesuai dengan pasal 68 ayat 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal, jelas-jelas Harsono dinyatakan sudah pensiun dari ASN sejak ia mengikuti tahapan Pilkada Ngawi pada 1999.

Pasal 68 ayat 4 itu jelas tertulis: PNS dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja.

Jika menyimak pasal tersebut, sudah jelas bahwa pasal ini hanya untuk ASN ansich, bukan non PNS seperti politisi. Dan perlu dicatat, jabatan Bupati, Walikota, atau Gubernur adalah jabatan politis yang dipegang bukan ASN, tetapi politisi!

Kalau sejak dini saja Harsono sudah melanggar perundangan yang berlaku, dikhawatirkan setelah dia jadi pejabat seperti Wakil Gubenur, bukan tidak mungkin dia akan melakukan pelanggaran dan melabrak perundangan yang berlaku juga.

Jika Soekarwo selaku Ketua DPD Demokrat Jatim masih cermat, masih ada nama birokrat yang pernah disebut-sebutnya layak “dijodohkan” dengan Khofifah. Yaitu, Saiful Rachman tadi. Saiful ini dikenal sebagai orang lapangannya Soekarwo.

Saiful tahu persis pemikiran-pimikiran Soekarwo selama ini. Sehingga, dengan mudah bisa melanjutkan program pembangunan Gubernur Soekarwo. Dibandingkan Harsono, untuk penataan birokrasi di Pemprov Jatim, Saiful lebih menguasai.

Karena Saiful pernah menjabat Kepala Biro Kesra Pemprov Jatim, Kepala Biro Kerjasama Pemprov Jatim, serta Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jatim.  Jadi, jika ia dipasangkan dengan Khofifah tentunya tidak ada salahnya.

Ini akan mengikuti jejak Soekarwo sebelumnya yang birokrat tulen dengan Gus Ipul yang politisi. Cuma, dalam hal ini sekarang dibalik: Khofifah politisi, Saiful birokrat murni!

***