Ternyata, Bung Tomo Keturunan Ulama dari Putri Harisbaya

Senin, 2 Oktober 2017 | 21:57 WIB
0
1368
Ternyata, Bung Tomo Keturunan Ulama dari Putri Harisbaya

Ada yang istimewa saat Haul RKH Amin Imron dan RKH Makmun Imron yang ke-19 pada Jum’at, 29 September 2017, di kediaman RKH Fuad Amin Imron di Bangkalan. Ini karena dihadiri oleh Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo.

Bambang Sulistomo, merasa senang bisa berkumpul kembali di tengah-tengah keluarga besar Syaichona Cholil bin Abdul Latif, ulama besar Bangkalan, yang menjadi guru sebagian besar ulama seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.

“Bapak sering cerita, kalau saya ini ternyata masih keturunan Putri Harisbaya yang dikenal sebagai istri Raja Sumedang,” ujar Bambang Sulistomo dalam sambutannya. Ia mengingat berbagai cerita ihwal nasab ayahnya, Bung Tomo.

Sebab, beberapa kali Bung Tomo menceritakan, dirinya adalah keturunan orang Sumedang dan Madura. “Jadi, saya ini pulang ke rumah sendiri. Bung Tomo ini adalah keturunan ulama Sumedang dengan istrinya dari Madura,” katanya.

“Makanya kami semua terheran-heran dan selalu ingin mencari tahu kepastiannya,” ungkap Bambang Sulistomo di depan jamaah pada malam itu di Bangkalan. Ketika ke Sumedang, ia bertanya kepada seorang tukang becak di Sumedang.

Yakni, tukang becak yang mangkal di depan warung tahu Sumedang, tentang letak makam leluhur yang tertua di Sumedang. Tukang becak itu memberi informasi ada dua tempat. Salah satunya adalah makam Pangeran Sumedang Larang.

Dan makam satunya yang paling tua, yaitu Prabu Geusan Ulun yang dalam silsilah keluarga Sumedang adalah putra Pangeran Santri alias Pangeran Kusumahdinata I sebagai Pangeran Sumedang Larang itu. Ia memilih makam paling tua.

Setelah perjalanan melalui yang cukup sulit, akhirnya Bambang Sulistomo tiba di kawasan makam tua tersebut. Kawasan makam tua tersebut sangat indah, hampir menyerupai kawasan makam Imogiri, komplek makam para raja Jawa.

Saat akan menghampiri makam itu, ia mengaku melihat salah satu makam yang terlihat beda. Ternyata, makam itu adalah makam istri Prabu Gesan Ulun yang berasal dari Pulau Madura yang dikenal dengan sebutan Putri Harisbaya atau Putri Arosbaya.

“Saya benar-benar terkejut bercampur gembira, karena saya teringat beberapa kali cerita yang Bapak sampaikan tentang asal muasal nasabnya,” ungkap Bambang Sulistomo mengisahkan di hadapan undangan yang dihadiri para ulama itu.

Akhirnya, ia mengaku berziarah di dua makam ini sembari mengirimkan doa kepada kakek dan neneknya itu. Bambang Sulistomo juga tidak menyangka, kunjungan yang tidak sengaja ini akan menemukan makam kakek dan neneknya itu.

Dalam kesempatan lain, Bung Tomo pernah berkali-kali cerita bahwa semasa pertempuran 10 November 1945 dan bergerilya sesudah itu, ada pasukan gerilyawan yang mengaku berasal dari Sumedang, Jawa Barat.

Mereka menyatakan siap bergabung untuk mengawal khusus keselamatan Bung Tomo. Dan, ”Pasukan ini pun menyerahkan sebuah “Pusaka Sumedang” kepada Bapak,” ujar Bambang Sulistomo mengenang cerita dari ayahnya itu.

Namun, untuk mencari tambahan “kebenaran” tentang cerita Bung Tomo itu, ia mengaku secara khusus berkunjung ke Museum Kasepuhan Sumedang mencari “silsilah” eyang Prabu Geusan Ulun.

Kebetulan, kata Bambang Sulistomo, saat itu bertemu Ir. Lukman sebagai Kepala Sekretariat Kasepuhan Sumedang. “Saya hanya bercerita ingin tahu silsilahnya, tapi sama sekali tidak memberi tahu siapa saya sebenarnya,” katanya.

Jadi, “Saya ini masih keturunan Madura dan Sumedang, sehingga saya sekarang merasa ada di rumah keluarga sendiri,” tuturnya yang berkali-kali menyatakan ucapan terima kasihnya kepada kaluarga Mbah Cholil yang telah menerimanya ini.

Menurut Bambang Sulistomo, ketika pertempuran 10 November 1945, orang-orang Madura itu banyak yang ikut bertempur melawan Tentara Sekutu. Jadi, “Berbanggalah bahwa orang-orang Madura itu memang keturunan para pejuang Republik Indonesia.”

Saat Resolusi Jihad, banyak rakyat Madura yang ikut perang berjuang menjaga kedaulatan negara. “Bapak-bapak harus bangga dengan Madura. Mereka berjuang untuk kemerdekaan,” tegasnya. Sekarang ini bagaimana mengisi kemerdekaan itu.

Menurutnya, dalam Pembukaan UUD 1945, kata Merdeka, disebut sebanyak 6 kali. Setelah kita merdeka dari penjajahan, kita harus merdeka dari kemiskinan. “Sekarang orang-orang Madura banyak yang doktor,” ungkap Bambang Sulistomo.

Kata kedua yang banyak di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah 5 kata Keadilan. Artinya, bahwa para pendiri bangsa melihat kemerdekaan itu untuk keadilan. Keadilan untuk mengisi kemerdekaan.

Gak mungkin orang Madura bisa bersatu dengan orang Medan, Jogjakarta, dan sebagainya, bisa saling menghormati, menjaga, kalau tidak ada keadilan. “Kemerdekaan dan keadilan itu untuk mengusir penjajah. Kita berperang juga melawan ketidak-adilan,” ujarnya.

Ia sempat menyitir, orang yang sudah divonis masih dikorek-korek lagi. Kita butuh hukum yang adil, karena untuk mempersatukan bangsa ini. Tanpa itu, kita tidak mungkin bersatu. Jadi,”Kemerdekaan dan keadilan harus jadi satu. Itu nilai-nilai keadilan.”

Jaman Belanda itu, bangsa kita pribumi selalu tertinggal. Ini harus diubah. Jika begitu terus, bangsa ini akan tetap tidak akan maju. “Kemerdekaan ini untuk bangsa, yang mengakui satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa,” tegas Bambang Sulistomo.

Ia mengatakan, acara haul ini kita saling mengingatkan, bahwa perjuangan itu memang perlu pengorbanan. Kita ini ada kiai-santri, harus bersatu. Mengatur bangsa ini tidak sulit jika ada keadilan. Siapapun pemimpinnya harus bisa membuat keadilan.

Madura punya potensi besar SDA, garam terbesar di Indonesia. Kalau ada yang jadi bupati di sini atau gubernur, harus bisa mengangkat kehidupan masyarakat Madura. Orang Madura di Jakarta sangat terkenal. Saya punya kiai di Jakarta dari Madura,” ujarnya.

***