Ditunggu Kiprah GNPF-MUI Mengawal Fatwa MUI soal Dana Haji

Selasa, 1 Agustus 2017 | 08:00 WIB
0
495
Ditunggu Kiprah GNPF-MUI Mengawal Fatwa MUI soal Dana Haji

Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia atau GNPF-MUI beberapa waktu lalu sukses mengawal fatwa MUI soal pemimpin non-Muslim, menggerakkan massa yang sedemikian masif untuk membendung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kini kiprah GNPF-MUI ditunggu untuk mengawal fatwa MUI lainnya, yaitu soal dana haji.

Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin sendiri tidak mempermasalahkan apabila pemerintah menggunakan dana haji untuk pembangunan infrastruktur. Dana haji pun boleh diinvestasikan. Ma'ruf mengungkapkan, sekarang ini pun sudah ada sekitar Rp35 triliun sudah digunakan untuk Sukuk alias Surat Berharga Syariah Negara.

"Sukuk itu sudah mendapatkan fatwa dari dewan syariah nasional majelis fatwa MUI dan saya juga tandatangani itu untuk kepentingan infrastruktur untuk lain-lain," kata Ma'ruf, Senin 31 Juli 2017 sebagaimana diberitakan Kompas.com.

Pada tahun 2009 di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dana haji dan Dana Abadi Umat (DAU) yang dikelola Departemen Agama juga diinvestasikan ke Sukuk ini. Penempatan dana haji dan DAU yang ditempatkan di Sukuk mencapai Rp9 triliun sepanjang tahun 2009. Proses penjualan dilakukan oleh Departemen Keuangan yang merupakan penerbit Sukuk bersama Departemen Agama.

[caption id="attachment_2671" align="alignright" width="300"] Ma'ruf Amin[/caption]

Ma'ruf  menambahkan, dana tersebut akan diinvestasikan ke proyek pemerintah yang memiliki risiko kecil dengan skema syariah yang mengatur hal tersebut. Bahkan ia menjamin tidak bakal ada celah penyalahgunaan dana haji yang dikelola oleh pemerintah. Alasannya, ada jaminan dana haji yang dipinjam untuk keperluan pembangunan infrastukur akan diganti oleh pemerintah.

Pernyataan Ma'ruf seolah-olah menjawab pertanyaan berbagai pihak yang meragukan penggunaan dana haji untuk membiayai infrastruktur, sebagaimana diharapkan Presiden RI Joko Widodo.

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, misalnya, menilai penggunaan dana haji untuk membangun infrastruktur yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan jemaah haji sebagai kurang tepat. Menurut Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini, dana haji bisa saja digunakan untuk membangun infrastuktur, tetapi yang jelas berkaitan dengan kepentingan jemaah haji.

Kepentingan jemaah yang dimaksud Agus seperti membeli atau menyewa pesawat untuk ibadah haji, membangun asrama haji, atau membangun hotel di Mekah dan Madinah bagi para jemaah asal Indonesia. "Kalau (dana haji untuk) infrastruktur, ini untuk kepentingan jemaah atau tidak? Kan bisa bias. Tetapi kalau untuk membangun jalan tol, menurut saya ini kurang tepat," ujar Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu.

Fatwa MUI

 

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) alias dana haji boleh dikelola untuk hal-hal yang produktif, termasuk pembangunan infrastruktur. Hal ini bukan hanya mengacu pada konstitusi, tetapi juga aturan fiqih.

Selama memenuhi prinsip-prinsip syariah, kata Lukman, dana haji boleh digunakan untuk investasi infrastruktur selama dilakukan dengan penuh kehati-hatian, jelas menghasilkan nilai manfaat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan demi untuk kemaslahatan jamaah haji dan masyarakat luas. Ia mengutip hasil Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV Tahun 2012 tentang Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH Yang Masuk Daftar Tunggu (waiting list).

Dalam keputusan Ijtima' itu disebutkan, dana setoran BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu dalam rekening Menteri Agama boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yang produktif (memberikan keuntungan), antara lain penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk Sukuk.

Hasil investasi itu menjadi milik calon jemaah haji, sedangkan pengelola berhak mendapatkan imbalan yang wajar atau tidak berlebihan. Namun demikian, dana BPIH tidak boleh digunakan untuk keperluan apa pun, kecuali untuk membiayai keperluan yang bersangkutan.

Fatwa itu dikatakan Lukman dalam laman Sekretariat Kabinet, juga sejalan dengan aturan perundangan terkait pengelolaan dana haji. Undang-Undang Nomor 34 tahun 2014 mengatur bahwa BPKH selaku Wakil akan menerima mandat dari calon jemaah haji selaku Muwakkil untuk menerima dan mengelola dana setoran BPIH.

Mandat itu merupakan pelaksanaan dari akad wakalah yang diatur dalam Perjanjian Kerja Sama antara Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama, dan Bank Penerima Setoran BPIH tentang penerimaan dan pembayaran BPIH.

Akad wakalah ditandatangani setiap calon jemaah haji ketika membayar setoran awal BPIH. Melalui akad wakalah, calon jemaah haji selaku Muwakkil memberikan kuasa kepada Kementerian Agama selaku Wakil untuk menerima dan mengelola dana setoran awal BPIH yang telah disetorkan melalui Bank Penerima Setoran BPIH sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 mengamanatkan pengelolaan keuangan haji dilaksanakan Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Badan ini berwenang menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya. Nilai manfaat (imbal hasil) atas hasil pengelolaan keuangan haji ini dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kepentingan jemaah haji.

Namun, investasi yang dilakukan BPKH juga harus mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas, serta kesesuaian dengan prinsip syariah. Hal ini mengingat dana haji adalah dana titipan masyarakat yang akan melaksanakan ibadah haji. Badan pelaksana maupun dewan pengawas BPKH bertanggung jawab secara tanggung renteng jika ada kerugian investasi yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolanya.

Pandangan Lukman Hakim Saifudin didukung Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh. Niam merujuk pada Forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV yang diselenggarakan di Cipasung Jawa Barat tahun 2012 yang juga dihadiri Ma'ruf Amin, di mana forum telah membahas permasalahan investasi dana haji tersebut.

“Forum Ijtima’ Ulama menyepakati bolehnya memproduktifkan dana haji yang disetorkan jama’ah untuk investasi sepanjang dilakukan sesuai syariah dan ada kemaslahatan,” kata Niam sebagaimana diberitakan NU Online.

Kiprah GNPF-MUI

 

Karena MUI telah mengeluarkan fatwa soal pemanfaatan dana haji, sudah sewajarnya GNPF-MUI juga bisa mengawal fatwa tersebut untuk kepentingan dan kemaslhatan umat, sebagaimana gerakan ini berhasil membendung laju Ahok yang dianggap menista agama agar tidak menjadi Gubernur DKI Jakarta. Publik paham, GNPF-MUI selama ini sering melancarkan kritik keras kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Joko Widodo.

Untuk kemaslahatan umat yang lebih besar, GNPF-MUI yang antara lain domotori Ketua Bachtiar Nasir, Wakil Ketua Zaitun Rusmin, juru bicara Kapitra Ampera, Dewan Pengawas Yusuf Muhammad Martak, pengurus Habib Muchsin dan Muhammad Lutfi Hakim, sudah seharusnya berkiprah lagi untuk mengawal fatwa MUI ini, termasuk fatwa MUI soal dana haji. Apalagi saat Idul Fitri lalu para pimpinan gerakan ini telah bertemu Presiden Joko Widodo.

Keinginan menginvestasikan dana haji ke sektor infrastruktur disampaikan Joko Widodo usai melantik anggota Dewan Pengawas dan anggota BPKH di Istana Negara, Rabu 26 Juli 2017 lalu. Keuntungan dari investasi tersebut menurut Presiden bisa dipakai untuk menyubsidi ongkos dan biaya haji sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat, seperti yang dilakukan negera jiran Malaysia.

Anggota BPKH Anggito Abimanyu mennyatakan siap menjalankan instruksi Presiden tersebut, karena menurut dia ada sekitar Rp80 triliun dana haji yang siap diinvestasikan.

***