Prabowo Lagi, Prabowo Lagi, Sekali Ini Saja Lagi...

Senin, 24 Juli 2017 | 06:00 WIB
0
802
Prabowo Lagi, Prabowo Lagi, Sekali Ini Saja Lagi...

Politisi Partai Gerindra Fadli Zon tempo hari berteriak ada upaya menjegal Prabowo Subianto pada Pilpres 2019 terkait melenggangnya enam partai pendukung pemerintah yang mengusung paket A, yakni 20-25 persen presidential threshold, melalui mekanisme voting Sidang Paripurna DPR lalu. Fahri Hamzah meyakinkan bahwa kemenangan itu bukan untuk menjegal siapapun.

Belakangan Fadli seperti meralat pernyataannya sendiri. Wakil Ketua DPR itu menegaskan bahwa Prabowo sudah bisa mengantongi tiket ke Pilpres 2019 dengan menggandeng Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Perolehan kursi Gerindra di DPR yang 13,04 persen plus PKS 7,14 persen yang menghasilkan 20,18 persen kursi sudah cukup untuk mendukung Prabowo sebagai calon presiden pada Pilpres 2019.

Di sisi lain,  Presiden RI Joko Widodo yang biasa dipanggil Jokowi dipastikan mengantongi tiket menuju Pilpres 2019 setelah resmi mendapat dukungan dari Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Itupun jika Jokowi bersedia mencalonkan diri  lagi. Total jenderal perolehan kursi ketiga partai tersebut di DPR mencapai 29,46 persen yang berarti melebihi ambang batas pencapresan yakni 20 persen presidential threshold.

Jika yang terjadi hanya Gerindra dan PKS yang akan "bertunangan" untuk kepentingan Pilpres 2019, maka sudah dapat dipastikan calon wakil presidennya yang akan mendampingi Prabowo akan berasal dari PKS atau sosok yang disodorkan PKS.

Menurut Fadli sebagaimana diberitakan Detik.com, kemungkinan "pertunangan" antara Gerindra dengan PKS belum dipastikan.

Namun Fadli mengingatkan, sejak Pilpres 2014 hingga saat ini Gerindra dan PKS sudah menjalin ikatan dalam sejumlah kerjasama politik seperti dalam Pilkada DKI Jakarta. Melalui "ikatan suci" itu, duo Gerindra-PKS dengan dukungan partai lain, sukses mengantarkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saeful Hidayat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Ini kan masih lama. Mungkin tahun depan (ada kepastian)," kata Fadli seraya menambahkan, "Insya Allah Pak Prabowo siap maju Pilpres 2019."

Soal ajang Pilpres bagi mantan Danjen Kopassus ini sudah tidak asing lagi, bahkan boleh dibilang ia sudah sangat berpengalaman. Persoalan Dewi Fortuna yang belum bersedia mendekat sajalah yang membuatnya kandas dari Pilpres ke Pilpres.

Dimulai pada 2004 seusai dia rehat dari bisnis dan kembali ke Indonesia dari Yordania untuk terjun ke dunia politik, ia mengikuti Konvensi Partai Golkar, konvensi pertama yang dilakukan partai politik untuk menjaring bakal calon presiden. Namun pada putaran akhir, Prabowo kalah suara dari Jenderal Wiranto.

Pada Pilpres 2009 dengan sistem pemilihan langsung ini Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung partai yang didirikannya, Partai Demokrat, berhasil menjadi Presiden RI setelah menggulingkan rival beratnya pada putaran kedua, Megawati Soekarnoputri.

Tentu kekecewaan kalah pada konvensi Partai Golkar saat belum memiliki kendaraan sendiri berupa partai politik "memaksa" Prabowo untuk membuat partai sendiri. Maka empat tahun kemudian, tepatnya 6 Februari 2008, ia bersama rekan-rekannya mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya yang biasa disingkat Gerindra. Pada Pemilu Legislatif 2009, Partai Gerindra sukses menempatkan 26 wakilnya di DPR karena berhasil meraup 4,46 persen suara.

Bermodalkan "portfolio" keberhasilan inilah pada pada Pilpres 2009 ia "menjalin" kerjasama politik dengan Ketua PDIP Megawati Soekarnoputri. Saat itu Prabowo "rela" menjadi calon wakil presiden dengan calon presiden Megawati asalkan, sebagaimana tertulis dalam perjanjian Batu Tulis, pada Pilpres 2014 Megawati mengusung pencalonannya sebagai calon presiden pada Pilpres 2014.

Sejarah kemudian mencatat, yang terjadi adalah pasangan Megawati-Prabowo kalah pada Pilpres 2009 sedang pada Pilpres 2014 Megawati "lupa" adanya perjanjian Batu Tulis yang seharusnya ia dan PDI Perjuangan mengusung Prabowo pada Pilpres 2014.

Bukan hanya kecewa tentu saja, Prabowo marah bukan kepalang diperlakukan tidak adil seperti itu oleh "senior"-nya. Di-"PHP"-in habis, kata anak-anak alay sekarang. Ia tahu, calon potensial yang populis saat itu tidak lain Joko Widodo yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, yang ironisnya justru didorong Megawati lewat kendaraan PDI Perjuangan.

Prabowo yang menjadi calon presiden kemudian menggandeng politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa sebagai wakil calon presiden, "head to head" melawan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.

Lagi-lagi sejarah mencatat, Dewi Fortuna yang sudah hampir mendekat belum menjadikan Prabowo Subianto sebagai Presiden RI pada Pilpres 2014 yang "membelah" kedua simpatisan sampai sekarang. Jokowi yang berpenampilan "ndeso" namun populis itu berhasil menghentikan langkah alias memupus harapan Prabowo-Hatta lewat pertarungan yang mengharu-biru dan bahkan sampai berakhir di Mahkamah Konsititusi.

Kini Prabowo Subianto berusaha bangkit lagi, setidak-tidaknya sebagaimana tercermin dalam optimisme Fadli Zon, bahwa lewat "pertunangan" dua partai saja, Gerindra dan PKS, sudah cukup mengantarkan kembali Prabowo untuk bertarung di palagan Pilpres 2019.

Entah melawan siapa!

***