Suka atau tidak, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Organisasi Masyarakat bertujuan untuk membubarkan Hizbut Tahrir yang dianggap ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain, yaitu "ideologi Khilafah".
Pemerintah berdalih, terbitnya Perppu yang akan menggantikan UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak hanya ditujukan kepada Hizbut Tahrir semata, tetapi kepada semua ormas lainnya yang tidak mengakui Pancasila sebagai ideologi bangsa dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
Karena Hizbut Tahrir yang pertama terkena Perppu ini, maka terbuka peluang organisasi Hizbut Tahrir diusung sebagai "martir" atas inisiatif pemerintah itu.
Perppu sudah bergulir dengan segala pro-kontranya itu kini sudah masuk ke DPR untuk segera disahkan. Jika DPR tidak setuju, maka Undang undang yang lama tetap berlaku. Tugas pemerintah adalah melobi koalisi partai yang ada di parlemen untuk memuluskan jalan bagi diberlakukannya Perppu itu.
Parlemen pastilah terbelah atas disodorkannya Perppu ini. Partai politik koalisi pendukung pemerintah, tentu saja setuju atas Perppu yang dianggap mendesak ini, meski salah satu anggota koalisi pemerintah, yaitu Partai Amanat Nasional (PAN), sudah menyatakan menolak. Ada suara dari anggota koalisi agar Presiden Jokowi "menendang" PAN dari koalisi. PAN tentunya akan "berkongsi" dengan Gerindra dan PKS yang juga menolak Perppu.
Ada perbedaan mendasar pada Perppu ini dibanding Undang-undang sebelumnya, yakni tidak dimasukkannya kata "anti-Pancasila" sehingga sulit bagi pemerintah untuk membubarkan ormas radikal yang ingin mengganti ideologi Pancasila jika sekadar mencantumkan ormas tidak boleh mengusung ideologi Ateisme, Komunisme, dan Marxisme/Leninisme. Padahal, ideologi yang membahayakan dan berpotensi mengubah falsafah dan dasar negara tidak hanya Ateisme, Komunisme, Marxisme/Leninisme.
Pemerintah tentu saja "malu-malu" atau tidak berani memasukkan kata "Khilafah" sebagai ideologi yang membahayakan itu, meski lahirnya Perppu untuk alasan ini, yakni membubarkan ormas radikal yang menentang Pancasila sebagai ideologi negara karena terindikasi ingin mengganti ideologi Pancasila dengan "ideologi Khilafah". Pemerintah hanya memasukkan istilah "ideologi lain" yang membahayakan.
Baik pemerintah maupun Hizbut Tahrir akan sama sama berkilah. Pemerintah berkilah lahirnya Perppu bukan hanya ditunjukan pada Hizbut Tahrir semata, tetapi untuk ormas lainnya yang terindikasi radikal. Hizbut Tahrir juga berkilah keberadaannya bukan untuk mengubah ideologi Pancasila dengan "ideologi Khilafah", melainkan semata-mata organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang kemaslahatan umat Islam.
Pemerintah sebagaimana dikatakan Wiranto selaku Menteri Polhukam, menghendaki keajegan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. "Apa salahnya menyelamatkan bangsa dari ancaman ideologi?" kata Wiranto saat memberi keterangan pers mengenai telah ditandatanganinya Perppu ini oleh Presiden Jokowi.
Hizbut Tahrir sendiri menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi, sebab jika DPR menerima Perppu ini, pemerintah bisa membubarkan begitu saja Ormas yang terindikasi radikal tanpa harus melalui pengadilan. Namun jika DPR menolak, aturan pembubaran Ormas kembali ke Undang-undang lama, yaitu harus melalui pengadilan.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews