Saya dan Seruan Boikot Starbucks, Yang Beginian Kok Dibawa Serius!

Minggu, 2 Juli 2017 | 08:26 WIB
0
749
Saya dan Seruan Boikot Starbucks, Yang Beginian Kok Dibawa Serius!

Saya penyuka kopi, tapi ga juga tergila-gila Starbucks. Jika ada waktu luang, saya lebih memilih bikin kopi sendiri, milih biji kopi, giling sendiri, seduh sendiri, dan nikmati sendiri, kadang kawan nimbrung kopi bikinan saya. Lebih asyik, tau!

Minum kopi Starbucks sesekali saja. Toh tidak wajib seperti puasa ramadan yang baru saja lewat. Saya cuma butuh suasananya, bukan kopinya.

Kalau soal rasa kopinya sih lebih top bikinan saya. Suasana gerai ini memang enak untuk ngetik atau sekadar ngobrol berdua saja hahaha... Jadi, saya beli suasananya, bukan kopinya. Ya salahnya sendiri. Sejak Starbucks melakukan "pivot" (meminjam istilah anak-anak Startup) dengan ideologi "menjual suasana bukan sekadar kopi", maka tujuan saya datang ke gerai Starbucks salah satunya untuk membeli suasananya.

Ada banyak tujuan orang datang dan duduk di gerai Starbucks di manapun dia berada, termasuk saya, di dalam maupun luar negeri saat saya melancong. Memang unik, harga secangkir kopi Starbucks di Moskow, Seatle, sampai di rest-rest area yang pernah saya beli, nyaris sama. Maka saya melihat "mata uang global" terwakili dalam secangkir kopi.

Starbucks menjual suasana guyubnya alias tempat orang bersosial, "hangout", "meet and greet", dan semacamnya. Tetapi orang biasa datang sendiri dan duduk mojok di sudut gerai. Entah untuk sekadar berpikir reflektif atau memang dia sedang jomblo. Di sini warung global itu menjelma semacam tempat pelarian.

Jadi ketika ada seruan boikot Starbucks yang dikeluarkan oleh salah satu ormas besar keagamaan dan individu tertentu yang kesalehan spiritualnya sudah demikian tinggi, saya mah asyik-asyik saja. Ga juga terpengaruh seruan heroik boikot. Bahkan saat pulang mudik, di rest area KM 98, kami berbelok untuk "nyetarbak" secara drive through. Dalam situasi seperti ini, saya tidak butuh suasana, tetapi memang sedang ingin nyeruput hot caramel cappucino biar semangat nyetir di balik kemudi mobil lebih bergairah lagi.

 

Saya "nyetarbak" bukan berarti dukung "ideologi" CEO perusahaan gerai kopi terbesar se-Galaksi Bima Sakti (belum terverifikasi, tetapi insya Allah bukan hoax) ini yang konon mendukung LGBT. Pun saat saya tidak "nyetarbak" bukan berarti dukung boikot. Saya sedang tidak ingin saja. Saya mah asyik-asyik aja orangnya.

 

Tetapi memang omong-omong soal karakter dan sifat orang, jelas beda-beda. Macam big boss Starbucks Howard Schultz (saya baca bukunya yang membuat saya tahu sejarah Starbucks) dan CEO Kevin Johnson yang sombongnya menyamai setan (hehehe.... jangan tersinggung ya). Bayangkan, sudah sejak taon jebot mereka memaksa orang lain harus seiya-sekata dengan pandangan mereka. Ini menjijikkan, sama menjijikkannya dengan orang-orang yang memaksakan pendapat sipiritualnya paling benar sedunia-seakhirat!

[irp]

Bahkan sebagaimana terbaca di medsos yang mengutip Majalah Fortune edisi april 2017, mereka, maksud saya para boss Starbucks itu, kira-kira bilang begini, "kalo lo-lo pade ga dukung pernikahan sejenis, gua ga butuh kamuh!" Nah, sombong bin songong banget, kan? Jangankan membenturkan para pemegang saham yang pro-kontra dengan pernyataan ini, mereka bahkan menihilkan orang macam saya yang sudah sejak saya mampu membayar Starbucks dan tetap nyeruput kopinya sampai sekarang, tetapi tidak dianggap sebagai pelanggan. Gusarlah saya.

Sungguh mereka tidak menaruh respek terhadap para pemegang saham, para pelanggan, termasuk saya satu dari sekian miliar penduduk kolong langit peminum Starbucks. Mereka kelihatannya "antimainstream", yakni tidak lagi mengusung jargon bisnis lama "pembeli adalah raja", tetapi memaksa pembeli tidak membeli Starbucks kalau tidak dukung LGBT. Kok dukung tidak dukung LGBT "dipolitisir" sedemikian jahat sehingga merepotkan pelanggan dan pemegang saham. Orang londo bilang, "te ereg" atau sering dikutip Bang Haji Rhoma dengan satu kata... "terlalu....!"

Kalau saya termasuk golongan orang bersumbu pendek, saya akan bilang, "Ya sutralah, lo-gue end!" Bagusnya sumbu saya agak panjangan dikit, jadi agak lama untuk sampai meledak... dhuaarrr!!! Saya masih bisa menakar sesuai kebutuhan dan situasi saja. Kalau kalian memergoki saya mojok berdua bersama makhluk manis di pojokan gerai Starbucks, bukan berarti saya mendukung LGBT. Itu karena saya lagi kepengen berduaan saja. Ingat, bukan kopinya yang saya beli, tapi suasananya.

Sebaliknya kalau saya tidak membeli Starbucks, bukan berarti saya seiya-sekata dengan imbauan boikot Starbucks dari ormas besar keagamaan dan orang-orang yang sudah mencapai kesalehan spiritual macam perempuan senator itu. Lebih karena saya keasyikan bikin kopi sendiri atau teman-teman mengajak saya memilih tempat "hangout" di tempat lain.

Jadi dapat disimpulkan; sikap saya ga jelas, kan? Ya biarin aja, repot amat sih!?

[irp]

Bagi saya kalau mau kaffah memboikot produk-produk global yang mendukung LGBT ya jangan setengah-setengah, sekalian tuh boikot Twitter, Facebook, Instagram, Whatsapp, Apple, Google, Microsoft, Nike, Mc Donald dan lain-lain, bukan sekadar kampanye boikot Starbucks.

Boleh jadi ada pertanyaan, loh kan CEO atau pemilik perusahaan global lainnya tidak sesongong Starbucks? Perusahaan global lainnya juga dukung LGBT hanya saja tidak sefrontal Starbucks, jadi terhindarlah mereka dari ajakan boikot yang di sini dibesut oleh ormas besar keagamaan dan senator perempuan solehah.

Benar bahwa membeli secangkir Starbucks artinya ada sumbangan dana dari kocek pelanggan yang mengalir untuk kegiatan dukungan terhadap LGBT. Begitu asumsinya. Jadi kenapa boikot harus menyasar Facebook, Instagram, Whatsapp, Twitter atau Google di mana penggunanya tidak harus mengeluarkan kocek sehingga tidak dipakai untuk mendukung LGBT.

Ah, siapa bilang, Ncang? Akun ente berisi data-data pribadi di WA, FB, IG, Twitter, Google adalah kekayaan mereka juga. Ente berkilah, bayar internet 'kan ga bayar langsung ke perusahaan-perusahaan digital raksasa itu, jadi beda dong kasusnya sama Starbucks? Ya sama saja, keberadaan ente yang berlama-lama fesbukan, misalnya, tetap bikin FB jadi kaya raya. Makin banyak akuisisi users (pengguna) dengan lama kunjungan (length of visit) yang konon sekarang sudah mencapai 2 miliar kepala, makin kayalah FB.

Gini aja deh, Ncang, coba itu dua miliar kepala boikot FB atau Twitter, potong telinga ente, dijamin FB bangkrut. Jadi menurut saya yang kaffah, holistik atau menyeluruh itu boikot semua perusahaan pendukung LGBT, jangan cuma boikot Starbucks doang. Nah, sekarang ente malah terkesan bela Starbucks, jangan-jangan ente diem-diem dukung LGBT hehehe....

Sekarang gantian cek itu orang-orang ormas besar keagamaan dan perempuan senator yang solehah, apakah ponsel mereka masih iPhone, apakah PC-nya masih MacBook Air atau iPad, apakah masih fesbukan, twitteran atau instagraman? Kalau mereka masih pakai semua produk pendukung LGBT, ya seruan boikot mereka pun cuma "half liver" alias setengah hati, meminjam istilah Vicky. Salah-salah malah kena plintir, diam-diam mereka juga sebenarnya dukung LGBT hahaha.....

Mendingan dukung sikap saya yang jelas dan tegas, yakni ketidakjelasan dan ketidaktegasan dalam bersikap soal boikot Starbucks. Habiiiis.... yang beginian dipikirin kayak mikirin negara saja, mending cari tempat asyik untuk bersosial.... tuh di pojokan Starbucks, yuk!

***