Di web berbagi pengalaman, pengetahuan, dan wawasan Selasar.com dalam format tanya-jawab yang saya buat, saya mendapat pertanyaan, "Apakah Daoed Joesoef itu menteri pendidikan yang setara dengan Ki Hadjar Dewantara?" Tentu saja tantangan ini menggoda karena disampaikan langsung kepada saya melalui fitur Ask to Answer. Jawaban saya antara pengalaman dan pengetahuan mengenai sosok Daoed Joesoef.
Sulit mengatakan setara atau tidak setara antara Ki Hadjar Dewantara dengan Daoed Joesoef, sebab kedua orang ini hidup pada zaman berbeda. Benar bahwa keduanya bergerak di bidang pendidikan. Akan tetapi Ki Hadjar lebih dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia, sedangkan Daoed Joesoef "hanya" dikenal sebagai menteri di zaman Presiden Soeharto berkuasa, yakni dalam Kabinet Pembangunan III dari tahun 1978 hingga 1983, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Seingat saya yang sudah mengenal Daoed Joesoef pada masa ia menjabat sebagai menteri itu, ia terkenal atau tepatnya lebih dikenal dengan kebijakan NKK/BKK, yaitu Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk "memaksa" mahasiswa "pulang kandang" alias belajar kembali di kampus, jangan main politik-politikan di jalanan.
Kebijakan NKK/BKK yang dianggap represif karena berbau pemberangusan terselubung gerakan mahasiswa ini tidak lepas dari keinginan petinggi militer negeri saat itu untuk membuat Indonesia lebih tenang tanpa gejolak, tanpa ada demonstrasi, sebagaimana dikehendaki Soeharto. Presiden ke-2 RI ini ingin kekuasaannya tidak terganggu karena potensi tumbangnya pemerintahan dan kekuasaan bisa datang dari gerakan mahasiswa.
Tentu saja Soeharto naik pun secara tidak langsung berkat Gerakan Mahasiswa angkatan 1966 juga, yang pada masa pemerintahannya para menteri dan orang dekatnya diisi oleh Pentolan Gerakan 1966 ini sebagai balas budi. Namun tatkala Soeharto sudah berkuasa, ia tidak ingin kekuasaannya jatuh gara-gara gerakan mahasiswa yang pada masa itu sudah mulai muncul, dimulai dari protes pembangunan TMII yang diprakarsai Nyonya Tien Soeharto pada tahun 1975, Peristiwa Malari pada tahun yang sama, dan gerakan mahasiswa tahun 1978. Sekitar tahun 1979, Daoed Joesoef juga memperpanjang masa sekolah selama 6 bulan. Akibatnya, masa sekolah SMP/SMA yang seharusnya 3 tahun, harus ditempuh selama 3,5 tahun!
Boleh jadi Daoed Joesoef hanya "ketiban" sial saja, terpaksa harus memberangus gerakan mahasiswa dan memaksanya "pulang kandang", bahkan puncaknya membubarkan Dewan Mahasiswa yang menjadi inti kekuatan politik mahasiswa di manapun kampus berada.
Sejatinya, cara penerapan NKK/BKK tentu tidak sejalan dengan pikirannya yang bebas. Harap diingat, Daoed Joesoef adalah lulusan universitas terkemuka di Perancis, Sorbonne, untuk studi keuangan dan hubungan Internasional serta ilmu ekonomi, yang tentu saja sangat mengagung-agungkan kebebasan berpikir.
Daoed Joesoef, pria kelahiran Medan 90 tahun lalu itu sampai saat ini aktif menulis opini di Harian Kompas. Tulisannya masih tajam dan tentu saja seputar pendidikan dan karakter bangsa. Saya tidak melewatkan opini-opininya yang bernas dan sungguh menambah wawasan berpikir. Tentu saja saya tidak lagi bisa menikmati buah pikir Ki Hadjar Dewantara yang tidak sezaman dengan saya, sehingga saya tidak bisa mengatakan setara atau tidak setara tadi. Adapun Soeharto yang saya ceritakan di atas akhirnya jatuh juga akibat gerakan mahasiswa reformis di tahun 1998.
Pada masa saya duduk di bangku SMA di awal tahun 1983, yang berarti masa-masa berakhirnya Daoed Joesoef sebagai Mendikbud, ia pernah singgah ke desa kami, desa Ciawi, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya. Ia shalat Jumat di Masjid Agung Ciawi dan menjadi ma'mum saat shalat Jumat. Saya berada persis di belakang Pak Menteri dan kala usai shalat Jumat, saya memberanikan diri untuk mengajaknya bersalaman.
Itulah jabat tangan saya untuk pertama kalinya dengan seorang menteri dan menteri itu adalah Daoed Joesoef!
***
Artikel lengkap di sini.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews